Dunia Baru: Pekerja Kemanusiaan

 


10 tahun sudah aku habiskan menjalani profesi sebagai seorang guru di berbagai sekolah menengah di Banda Aceh, terutama di SMA LAbschool Unsyiah. Akhirnya aku bosan, ingin keluar dari zona nyaman dan ingin mencoba pengalaman baru. Aku memutuskan untuk masuk secara professional ke dunia NGO. Selama ini aku sudah in-group di berbagai NGO, baik untuk melakukan kerja-kerja sukarela, melaksanakan agenda bersama, bahkan kerja sama berbagai project. Hanya saja, selama ini aktivitas ke-NGO-an tersebut dilaksanakan secara conditional. Saat aku ditawarkan oleh Yayasan Geutanyoe untuk menjadi Education Officer of Emergency Team, aku langsung bersedia. Aku resign dari lembaga sebelumnya, dan pada hari yang sama aku langsung berangka ke Lhokseumawe untuk menjalankan tugas baru. Baidewei, Yayasan Geutanyoe(YG) ini adalah lembaga yang berpusat di Aceh dan memiliki berbagai kantor di beberapa kota di luar Aceh, serta jaringan komunitas di Asia Tenggara. YG memiliki spesifik isu dan sangat popular di isu penanganan pengungsi.

  


Yayasan Geutanyoe melakukan restrukturisasi terhadap bidang pendidikan begitu aku masuk.  Jika sebelumnya bidang pendidikan hanya terdiri dari satu orang saja yakni officer pendidikan, sejak bulan maret 2022 struktur bidang pendidikan berubah menjadi adanya Officer, yaitu aku dan ditambah dengan adanya staf pengajar. Dikarenakan adanya pelaksanaan kebijakan baru tersebut, maka tahap awal kerja tim bidang pendidikan yang aku lakukan adalah adalah melakukan upaya adaptasi, perbaikan dan pemrograman ulang kerja-kerja bidang pendidikan.

Hal yang aku ga sangka-sangka adalah bahwa ternyata vocal point untuk sektor edukasi di Camp Pengungsi BLK Lhokseumawe itu adalah Yayasan Geutanyoe. Dalam hal ini, officer pendidikan Yayasan Geutanyoe secara otomatis menjadi  koordinator dan leader sektor pendidikan di Camp BLK dan berfungsi mengkoordinir seluruh kegiatan dan lembaga yang beraktivitas di Camp BLK Lhokseumawe. Di tahap awal, salah satu fungsi krusial yang harus aku jalankan untuk bidang pendidikan adalah menjalankan fungsi sebagai Koordinator Pendidikan di Camp BLK Lhokseumawe. Dalam bulan maret ini,aku menemukan adanya beberapa masalah antar-lembaga di bidang pendidikan, seperti adanya lembaga yang masuk tanpa koordinasi yang baik, banyaknya lembaga yang sudah lama vakum sehingga terjadi kekosongan jadwal, tidak updatenya schedula bidang pendidikan, fungsi koordinator sektor pendidikan sebelumnya yang tidak berjalan begitu efektif, macetnya sarana komunikasi untuk saling berkoordinkasi antar lembaga, mekanisme koordinasi yang sempat tidak berjalan dalam beberapa waktu dikarenakan beberapa kondisi seperti pergantian struktur lembaga dan masa non-aktif semua lembaga karena masa karantina camp. So, hal pertama yang aku lakukan menyangkut hal ini adalah memimpin mekanisme koordinasi antar lembaga dengan menjalankan rapat koordinasi antar lembaga untuk menyelesaikan masalah-masalah sektor pendidikan camp.


Sebagai struktur dan personil baru, ada beberapa beberapa hal yang aku lakukan sebagai basis perencanaan bidang pendidikan Yayasan Geutanyoe. Pertama, adaptasi dengan melakukan observasi, mencari informasi menyangkut camp dan pengungsi, mengumpulkan data pengungsi yang menjadi sasaran pembelajaran, mencari informasi menyangkut pembelajaran sebelumnya yang telah dilakukan.Dalam hal tujuan, sasaran dan jadwal pembelajaran, tim baru menyesuaikan dengan pembelajaran sebelumnya yang telah ditetapkan. Kondisi pengungsi Rohingya yang terdapat di Camp BLK merupakan kondisi emergency sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan sejak awal oleh yayasan Geutanyoe adalah pendidikan dan pembelajaran yang bersifat Emergency dalam jangka waktu sasaran yang sangat tentative mengingat pengungsi Rohingya yang terdapat di camp BLK hanya bisa menetap dalam waktu singkat, hanya bersifat transit dan dalam waktu yang tidak ditentukan dapat dipindahkan kapan saja. Tujuan pembelajaran selama masa emergency dan dianggap paling mendesak adalah pembelajaran literasi dan bahasa. Yayasan Geutanyoe menentukan sejak awal bahwa literasi dan kemampuan bahasa yang harus dimiliki oleh pengungsi Rohingya adalah mengenai bahasa Indonesia, bahasa inggris dan membaca Al-Quran (literasi dasar Arab).
 
 
 
 

Basis utama pembelajaran mengenai bahasa dan literasi untuk pengungsi ini adalah bagaimana caranya agar pengungsi, dalam hal ini pengungsi dewasa perempuan Rohingnya dapat menguasai sebanyak dan secepat mungkin kosakata-kosakata dasar bahasa Inggris dan terutama bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikasi dan pemenuhan kebutuhan emergency sehari-hari serta untuk kebutuhan survival dalam jangka waktu yang lebih panjang. Tim bidang pendidikan lantas menetapkan bahwa standar pembelajaran tidak dilakukan dengan mengajarkan sebanyak-banyaknya padahal belum tentu dikuasai dengan baik dan efektif. Pembelajaran bahasa dan literasi dilakukan melalui pengulangan intensif atas kosakata-kosata yang diajarkan hingga memastikan mereka dapat menghapal dan menguasai kosakata tersebut dan dapat diaplikasikan dalam kebutuhan sehari-hari.

Pembelajaran selama ini dilakukan dengan mendatangi kamar para pengungsi perempuan, sehingga kamar-kamar para pengungsi lah yang menjadi tempat bertemu dan belajar para pengungsi. Mereka diberi kebebasan menentukan sendiri di ruang dan kamar mana yang mereka anggap nyaman untuk belajar.

Terdapat beberapa aktivitas pembelajaran di luar jadwal yang direncanakan. Seperti, terkadang beberapa pengungsi perempuan dan anak-anak datang ke kantor Yayasan Geutanyoe di Camp yang bertujuan untuk bermain namun juga sekaligus belajar extra-time di luar jadwal mengajar. Para pengajar selalu tersedia untuk itu.

Yayasan Geutanyoe dalam memberikan pendidikan dan aktivitas pembelajaran lebih bersifat memberikan layanan jasa pendidikan. Meskipun lembaga memiliki output tertentu, namun output tersebut tidak dapat dipaksakan kepada pengungsi, karena pengungsi juga tidak dapat dipaksa untuk mengikuti kegiatan yang dilaksanakan.

Di tahap awal realisasi kegiatan pendidikan adalah dengan mencoba melanjutkan model pembelajaran yang pernah diterapkan selanjutnya, yakni dengan menggunakan basis gambar printed untuk mendeskripsikan kosakata-kosakata. Mereka diminta untuk mendengarkan penyampaian kosakata oleh pengajar, lalu diminta untuk mengulang pelafalan kosakata tersebut, diminta untuk membaca dan mengeja kosakata yang ada serta menuliskannya. Terkadang, selain gambar yang bersifat printed atau digital, sesekali peserta juga belajar kosakata dengan menggunakan video, serta alat peraga berupa orang-orang dan peralatan yang ada di sekitar ruang belajar.

Jika sebelumnya pembelajaran bahasa terkait penguasaan kosakata hanya dilakukan dengan menggunakan sumber daya yang terbatas, cenderung menggunakan bahan utama berupa printed picture an words (gambar dan teks yang diprint di kertas biasa), di bulan-bulan berikutnya tim edukasi telah memiliki banyak alat bantu dan alat peraga yang diajukan untuk kebutuhan pembelajaran.

 

 


Ada banyak halangan dan hambatan juga lho dalam memberikan pendidikan terhadap pengungsi, terutamapengungsi perempuanyang jadi sasaran utama kami. Halangan utama dalam interaksi dan pembelajaran dengan pengungsi adalah kendala dan hambatan mengenai kendala komunikasi menyangkut bahasa. Yayasan Geutanyoe juga tidak memiliki interpreter tersendiri. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala ini adalah dengan berkomunikasi menggunakan bahas isyarat, mencoba mempelajari sedikit-demi sedikit bahasa Rohingnya, atau meminta bantuan pengungsi lainnya yang sudah lebih menguasai bahasa Indonesia atau bahasa inggris. Juga ada banyak hal yang sangat ingin diajarkan oleh tim bidang pendidikan kepada pengungsi di luar hal literasi, seperti hal-hal menyangkut Gender Based Violence (GBV), penggunaan media komunikasi yang tepat, dan hal-hal lainnya yang dianggap sebagai edukasi penting bagi para pengungsi namun menjadi terhambat sepenuhnya karena tidak tersedianya interpreter.

Sasaran belajar memiliki motivasi belajar yang rendah. Jika mengacu pada pernyataan beberapa pengungsi laki-laki yang dapat berkomunikasi dengan tim bidang pendidikan, mereka menyatakan bahwa budaya belajar di Rohingya memang rendah secara umum dan tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan jenis masyarakat di tempat lain. Di sisi lain, pengungsi Rohingya perempuan memiliki permasalahan tersendiri. Pengungsi perempuan memiliki kemampuan literasi dan bahasa lebih rendah daripada pengungsi laki-laki namun fatalnya mereka memiliki minat belajar dan tingkat antusiasme lebih rendah daripada laki-laki, bahkan lebih rendah daripada anak-anak. Daya tahan belajar pengungsi perempuan dewasa juga dapat dikatakan cenderung rendah. Lebih miris lagi jika mengingat bahwa para pengungsi perempuan bahkan tidak memiliki ambisi belajar bahasa sekedar untuk basis emergency dan survival dalam posisinya yang sangat rentan. Namun hal ini tidak diherankan jika mengacu pada budaya patriarki yang sangat kental dimana perempuan secara otomatis menjadi kelompok yang lebih pasif dalam kebudayaan, diindoktrinasi untuk tidak memiliki capaian dalam pendidikan dan segala situasi, bahkan situasi yang mengancam hidupnya. 
 
Kondisi terburuk terjadi ketika pada tanggal 7 April sangat banyak pengungsi perempuan kabur dari camp BLK Lhokseumawe. Hampir dapat dikatakan hampir seluruh sasaran ajar tim edukasi hilang, dan yang kini tersisa hanya sekitar 7 pengungsi perempuan yang kebanyakan sudah berkeluarga. Hal ini tentu mengakibatkan aktivitas pendidikan bagi pengungsi perempuan mengalami permasalahan yang cukup signifikan, terutama karena pengungsi yang tinggal merupakan mereka yang selama ini enggan mengikuti aktivitas pembelajaran.

 Di awal Mei terdapat keputusan dan kondisi baru yakni, pada tanggal 18-19 Mei seluruh pengungsi Rohingya yang menempati camp transit yang terdapat di Aceh, termasuk yang terdapat camp BLK Lhokseumawe akan dipindahkan secara resmi ke Akomodasi yang tedapat di Pekan Baru, Riau. Maka seluruh kegiatan pendidikan oleh Yayasan Geutanyoe di Lhokseumawe direncanakan sesuai dengan ketersediaan waktu, kebutuhan dan kondisi tersebut. Perencanaan kegiatan pendidikan dilakukan agar para pengungsi menguasai sebanyak dan secepat mungkin kosakata-kosakata dasar bahasa Inggris dan terutama bahasa Indonesia untuk kebutuhan komunikasi dan pemenuhan kebutuhan menyangkut kondisi keberangkatan dan penempatan di tempat baru di Akomodasi Pekan Baru, Riau. Dalam hal ini, bahan ajar dan materi dapat dipertukarkan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi  pembelajaran sasaran didik menjelang keberangkatan.





Terdapat aktivitas lainnya yang dilakukan namun tidak seperti yang terdapat dalam perencanaan yakni aktivitas belajar dengan basis fun learning. Ternyata terdapat kondisi unik di masa menjelang keberangkatan pengungsi ke Pekan Baru yakni para peserta ajar tidak memiliki antusias dan semangat belajar menyangkut bahasa dan literasi seperti biasa. Oleh karenanya tim edukasi mensiasati dengan beberapa aktivitas seperti: Membuat handicraft berupa gantungan kunci, kalung dan gelang dari meronce manik-manikhuruf abjad dan hiasan. Memberikan dan membagikan reward bagi pesera ajar sekaligus kenang-kenangan terakhir dari tim edukasi dan MHPSS karena mereka yang akan berangkat ke Pekan Baru berupa: asesoris rambut perempuan, topi, self care equipment, asesoris bros. Membuat perlombaan sebagai bentuk aktivitas perpisahan bagi seluruh pengungsi di camp BLK berupa perlombaan balap karung, pancing botol, kelereng sendok dimana terdapat pembagian hadiah khusus bagi pemenang lomba dan pemberian cendera mata Aceh untuk seluruh pengungsi sebagai kenang-kenangan dari Yayasan Geutanyoe.

Selain aktivitas menyangkut pembelajaran, tim edukasi juga melaksanakan dan ikut bergabung di beberapa kegiatan sebagai aktivitas, termasuk yang harus dilakukan sebelum pengungsi berangkat ke Pekan Baru, diantaranya: Melaksanakan agenda ‘cooking day’ pada akhir ramadhan yang dihadiri seluruh lembaga yang berkegiatan di camp BLKLhokseumawe (IOM, UNHCR, YSAP, YKMI) bersama dengan para pengungsi. Kami juga melakukan sosialisasi terhadap pengungsi menyangkut informasi dan teknikal keberangkatan ke Pekan Baru bersama dengan pemerintah, IOM dan UNHCR. Serta melakukan pengumpulan data terhadap para pengugsi menyangkut seluruh pengalaman mereka sejak dari Myanmar hingga Camp BLK Lhokseumawe via wawancara untuk kebutuhan pembuatan buku yang akan dibuat oleh Yayasan Geutanyoe.

 




Ini pengalaman unik dan ga biasa sih bagi aku. Aku tiba-tiba harus punya kapasitas mendesain pendidikan dan pembelajaran emergency untuk pengungsi, aku harus membuat kurikulum pendidikan literasi pengungsi, mulai dari membuat daftar materi, metode pembelajaran, menganalisa kebutuhan alat dan bahan ajar literasi yang efektif untuk pengungsi, belajar mengatasi hambatan karena aktivitas pendidikan dengan pengungsi memiliki kondisi khusus yang sangat berbeda dengan masyarakat umum,memimpin tim, memimpin sebuah sektor untuk seluruh camp.

Selain menjalankan fungsi di bidang pendidikan, setiap harinya tim edukasi juga saling bekerja sama dengan tim tim Mental Health Psycho Social Support (MHPSS) yang selama ini melakukan aktivitas terhadap anak-anak. Jadi, di siang hari nya mereka mensupport aktivtas bidang pendidikan. Di sore harinya kami mensupport kegiatan MHPSS. Juga setelah banyak pengungsi dewasa perempuan yang pergia dari camp,  tim edukasi sepenuhnya berkolaborasi dengan tim MHPSS dalam melakukan aktivitas pendidikan terhadap anak-anak.

 

Education Team & MHPSS Team Yayasan Geutanyoe


Komentar

Postingan Populer