Memfasilitasi ECOFeminism di Mubes Perempuan Aceh
Suatu undangan penting langsung oleh kak Azriana Manalu, kakak kece mantan ketua Komnas Perempuan RI itu, aktivis perempuan Aceh senior yang masih aku hormati pada tanggal 23 Februari 2022. Kak Nana meminta kesediaanku untuk mau bergabung pada agenda besar yang akan dilaksanakan oleh Balai Syura Ureung Inong Aceh (BSUIA) dan seluruh lembaga jejaringnya. Mereka hendak mengadakan sebuah Musyawarah Besar Perempuan Aceh dengan menjadikan momentum rancangan Rencana Pembangunan Aceh (RPA) untuk melihat apakah kebutuhan perempuan diakomodir di sana, apakah RPA yang dirancang responsif gender atau tidak. Mereka lantas menetapkan ada 7 isu krusial yang akan dianalisa dalam Musyawarah Besar ini. BTW, musyawarah ini dihelat dengan dua agenda utama: Seminar yang terbuka untuk publik, membahas RPA dan masalah perempuan secara umum; serta Lokakarya yang bersifat tertutup dimana terdapat 7 isu spesifik yang akan dibahas secara mendalam oleh 7 kelompok dimana setiap kelompok akan terdiri dari Fasilitator, Pemantik Diskusi dan 20 perempuan peserta dari akar rumput sebagai narasumber utama dengan tujuan merumuskan masalah dan rekomendasi.
Aku diundang untuk menjadi salah satu fasilitator lokakarya, dan aku memilih isu Optimalisasi Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pelestarian Hutan dan Penanganan Bencana. Isu ini lebih ke isu Ekofeminisme gitu sih: keterkaitan isu gender dan lingkungan. Sebenernya aku belom pernah secara official bicara tentang isu ini di publik. Aku terlalu nekat sih. Tapi di sisi lain, aku merasa sangat akrab dengan isu ini dibanding tawaran isu lain. Why? Pertama, aku akrab dengan isu ekonomi politik SDA sejak di organ Solidaritas Mahasiswa Untuk Rakyat (SMUR) dulu, aku juga sering membahas isu ini di kelas-kelas dengan para siswa,aku juga sangat akrab dengan isu ini sejak in-group dengan LBH dimana isu ini adalah salah satu isu krusial yang sangat sering mereka advokasi. Kedua, dua mantan terakhir ku adalah teman dan guru intensif ku di isu bencana dan lingkungan. Mantan terakhir ku yang aktivis lingkungan bahkan ngajarin tentang ‘bangunan keilmuan’ ekologi kritis, critical ecopedagogy, bahkan ecofeminism lho, sustainable livelihood, permaculture, solar punk, etc. Mereka berhasil converting dan upgrading aku yang awalnya hanya seorang penganut socio critical pedagogy, menjadi lebih ke eco-socio critical pedagogy. Makanya sejak di 16 HAKTP, sebagai PIC Pewacanaan dan PIC diskusi publik, aku udah memulai menulis dan menganalisa soal EcoFem dan isu bencana ini. Dan aku bertambah pede sejak kerja di Yayasan Geutanyoe yang selama ini fokus di isu anak, bencana dan penanganan pengungsi. Jadinya aku beranikan diri mengambil isu ini, selain aku merasa fasilitator lain juga ga bakal se-cabaple aku juga sih sepertinya (I know them ya hehe..), dan aku agak kurang terima kalo ini ntar ga dibahas secara baik. Yes, I have kinda centiment kali ya sama isu ini. Dan karena ini perdana aku tampil di publik untuk isu ini, aku jadi belajar serius juga. Baca sana sini, ajak dikusi temen-temen yang pakar sana sini. A good chance kan, aku jadi dipaksa untuk upgrade diri hehe..
![]() |
| salah satu bahan bacaan kuuuh :D |
Musyawarah besar ini awalnya diagendakan untuk memperingati International Woman Day (IWD) pada bulan maret, tapi setelah waktu persiapan berjalan ternyata kegiatan tidak mungkin dilaksanakan utk peringatan IWD, sehingga akhirnya kegiatan dilaksanakan pada bulan mei pada momen hari Kebangkitan Nasional. So, kali ini perempuan Acehnya yang bangkit (chaiyooo ! :D)
Ada dua hal yang membuat aku dipaksa untuk belajar lebih serius dan meng-upgrade diri demi kesuksesan acara ini. Pertama soal pendalaman isu ecofeminism yang aku bahas di atas. Kedua soal kapasitas sebagai fasilitator. Fasilitator adalah skill khusus, jauh lebih sulit dari pada sekedar menjadi narsum sih, bagi aku paling ga ya. Soalnya jam terbang ku sebagai fasilitator belom tinggi. Walau aku punya bekal pede sejak aku merasa berhasil memfasilitasi kegiatan pelatihan Pendidikan Kritis Antikorupsi yang dilaksanakan di Dinas Pendidikan Aceh. Untungnya aku punya guru fasilitator level nasional, sekaligus guru filsafat dan guru ilmu sosial ku (nama dirahasiain yah, hihi..). Dia bukan hanya membekali aku secara intens dan serius, juga membantu aku meyusun alur fasilitasi. Saat rapat panitia, fasilitator dan pemantik diskusi dan kami harus mempresentasikan bahan yang akan kami pakai untuk fasilitasi, kak Nana menjadikan bahan ku sebagai bahan yang harus dijadikan rujukan oleh semua fasilitator. Waaaaaaaaaaaaaaaaah… bangga banget sih. Aku menyusun alur fasilitasi dengan baik, saat fasil lain masih bingung mau buat alur gimana. Aku juga menyusun sejumlah pertanyaan sebanyak mungkin untuk persiapan jika peserta harus dipantik; dan pertanyaan hanya bisa dibuat dengan banyak, baik dan mendalam jika kita mendalami isu dengan baik juga kan.
Aku ditandemkan dengan kak Suraiya Kamaruzzaman yang bertugas sebagai pemantik diskusi. Kami juga intens dikusi tentang bahan apa yang akan kami sajikan nanti. Saat kak Aya mengirimkan bahan yang akan beliau presentasikan dan meminta masukan, maka aku dengan tidak segan-segannya mengkritik bahan beliau. BTW aku mau lokakarya yang aku fasilitasi berjalan dengan sebaik-baiknya lho ya. Saat bahan kak Aya lebih banyak menampilkan data-data bahkan yang bersifat kuantitatif, aku meminta kak Aya memformat ulang dan merombak isi bahan presentasinya menjadi pemaparan contoh nyata sejumlah masalah lingkungan yang dihadapi spesifik oleh perempuan sebanyak mungkin, agar dapat memantik para peserta menyampaikan sejumlah pengalaman personal dan komunal yang ternyata mereka hadapi, tapi mungkin mereka ga ngeh, dan menjadi terbantu dengan contoh paparan yang kita sajikan. Dan yep, kak Aya mengubah isi presentasinya sesuai saranku, dan bahkan pada saat beliau menyampaikan permasalahan-permasalahan perempuan terkait lingkungan dan bencana, ada banyak informasi mengagetkan yang buat aku cukup mind blowing karena aku ga pernah mengetahui itu sebelumnya.
Selama kegiatan lokakarya berlangsung, aku jadi jauh lebih terkaget-kaget. Para perempuan akar rumput secara antusias menyampaikan berbagai permasalahan yang mereka hadapi. Aku pribadi mencatat ada sangat banyak hal krusial dari diskusi ini. Banyak kritik dan pemaparan, mulai dari perempuan dengan basis darat: hutan, gunung dan agraria, sampai ke perempuan pesisir, mulai dari bencana banjir hingga kekeringan. Semua permasalahan diungkap. Mulai dari permasalahan, rekomendasi, hingga praktik-praktik keren perempuan mempertahankan wilayah dan menjaga lingkungan. Demi Tuhan aku bahagia sekali bisa jadi bagian dari diskusi ini, bener-bener jadi pengalaman penting dan pembelajaran bermakna banget. Makasi untuk kak Aya, kakak-kakak peserta diskusi dari akar rumput dan berbagai NGO.
Oya, kalau mau akses rekaman diskusinya, silakan klik di sini yaa : Link Zoom Recording
Nah, dalam waktu singkat, seluruh point permasalahan dan rekomendasi harus bisa disusun untuk dipresentasikan di akhir saat seluruh kelompok tergabung di satu forum dan saling memberikan feedback. Ini ya hasil analisa masalah dan rekomendasi yang berhasil kami rumuskan.




.jpg)





Komentar
Posting Komentar