"Melecehkan" Praktik Antikorupsi Naif Kita

 

 

Salah satu tugas yang diberikan kepada saya dalam agenda 16 Hari Anti Kekerasan terhadap perempuan HAKTP adalah, selain menjadi panitia PIC Pewacanaan dan Diskusi Publik, tapi juga harus menjadi Pembicara di isu yang sebenernya aku merasa bukan kepakaran ku. Aku akan merasa percaya diri dan merasa qualified betul jika diminta bicara isu pendidikan (kritis) dan atau isu gender, tapi ini tiba-tiba diminta untuk bicara isu korupsi. Ya emang sih, mereka sendiri ngejebak aku untuk jadi pembicara isu karena aku sendiri alumni Sekolah Antikorupsi Guru (SAKTI) ICW. Ini sih yang buat aku susah ngelak. Padahal aku sendiri ikut SAKTI nya ICW karena mereka membedah pendidikan yang eksploitatif menggunakan pendekatan Pendidikan Kritis, bukan karena aku mau sepenuhnya nyemplung ke isu antikorupsi, guys. Dan temen-temen panitia HAKTPjuga mau ada yang membedah isu antikorupsinya dari sudur pandang gender impact dan aku dipersilahkan untuk membedah isu ini dari sudut pandang pendidikan kritis. Trus aku bisa ngelak gimana lagiii.. hiks..

Masalah selanjutnya adalah, tandem partner pembicara diskusi ku adalah temen-temen aktivis di NGO antikorupsi yang aku pribadi selama ini punya pandangan berseberangan dengan mereka. Sebenernya ga masalah sih, malah bagus karena bisa jadi akan adanya dialektika dalam diskusi. Cuma resikonya panggung bisa jadi chaos, wkwk..

Dalam paparannya, aku mengkritik sudut pandang mayoritas dalam melihat kejahatan korupsi sebagai tindakan pidana dan pendekatannya selalu procedural. Sudut pandang ini mungkin sudah berkali-kali aku sebutkan di berbagai tulisan lainnya soal antikorupsi. Aku kan jadinya harus ngeledekin temen-temen aktivis antikorupsi sendiri menyangkut hal ini, bahwa ketika pendekatan pidana yang dipakai, solusinya ya paling nangkap-nagkapin koruptor kan. Selama ini udah seberapa efektif sih pendekatan pidana itu sebagai upaya pemberantasan korupsi yang radikal? Yang udah ditangkap juga belom tentu udah setengah dari total pelaku korupsi atau kalau harus kita jeboin semua pelaku korupsi di negara ini, mungkin lebih dari setengah orang Indonesia harus dipenjarain. Penjaranya juga ga bakal muat kan haha.. Di sini perdebatan sengit terjadi antara aku dan teman-teman pembicara lain. Ledekan aku soal pendekatan pidana ini membuat mereka berpikir bahwa aku membiarkan pelaku tipikor untuk tidak perlu ditangkap, diproses hukum dan dipenjara. Padahal bukan itu juga yang aku maksud guys L Pelaku tipikor ya tetep aja harus ditangkap, dikasi efek jera (walau belom tentu pasti jera, ada yang abis dipenjara tetep aja korup lagi kan) dan ini tetap harus dilakukan sebagai solusi jangka pendek. Tapi yang aku bahas itu solusi efektif untuk memberantas korupsi secara radikal.  

Dari sejak awal aku menegasan bahwa aku melihat kejahatan keorupsi ini dengan sudut pandang sosiologis, ini juga lebih legitimate karena aku adalah pengajar ilmu sosial ya kan. Dalam makna ini, kita harus melihat bagaimana korupsi di lihat selama ini oleh masyarakat dan pemerintah yang merupakan produk dari masyarakat itu sendiri. Seperti, apakah ketika para pemilik kekuasaan itu mengkorupsi dana, apakah mereka melihat dana dan fasilitas yang dikorup itu sebagai uang rakyat dan harta publik atau dana dan fasilitas negara? Dan pernahkah orang-orang tau bahwa 80% dana publik kita justru habisnya malah untuk belanja aparatur negara, sisanya baru dipakai untuk pembelanjaan sosial publik. Kenapa dana untuk amil zakatnya jauh lebih banyak daripada untuk oemerima zakatnya sendiri? Hiks.. gimana sih coba anggaran negara ini dikelola. Sialnya tindakan begituan ga perna serius dibahas sebagai kekacauan dan perampokan uang rakyat.

Ledekan selanjutnya yang paling parah yang aku lakukan di panggung ini adalah negeledekin upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dilakukan termasuk oleh aktivis antikorupsi sendiri. Bahwa, orang-orang seara naif beranggapan bahwa tindakan korupsi dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi. Padahal enggaaaa guys. Kenyataannyaga begitu. Kita tau kok, para penguasa itu kongkalikong dengan para penegak hukum. Jadi begitu mereka mau korup, ya mereka akan bagi hasil dan kasi persenan dengan para penegak hukum. Aman deh. BTW kita pada tau kalo lembaga penegak hukum kita sendiri juga kacau dan korup banget kan. Lembaga hukum kita juga dikuasai oleh berbagai kelompok politik dan lembaga hukum itu sendiri di setir untuk ngikutin kepentingan kelompok politik tertentu. Trus selama ini koruptor yang ditankap itu apaan donk? Ya kita tinggal mikir aja, di antar banyaknya koruptor di Indonesia ini, kenapa ada yang sial? Percayalah, mereka itu, pertama, kalau bukan lawan politik nya kelompok politik yang menguasai lembaga hukum [bang lembaga aparat lembaga penegak hukum (APH), gw ga seneng sama si bapak A, lu tembak sekali donk pake kasus korup, hihi]. Kedua data korup mereka udah kadung diekspos diungakap ke media dan APH pasti mau gam au dipaksa untuk proses donk, ga bisa pura-pura bego lagi. Ketiga mereka sial karena jadi sasaran APH sejak awal, entah karena mau dijadiin ATM atau ada yang buat masalah sama lembaga APH. APH ini akhirnya kayak meriam tembak,tergantung siapa yang control danmau ditembakin kemana.

Makanya kalau ada pejabat yang ditangkap termasuk karena kasus korupsi, aku biasanya suka nanya: itu orang lagi clash sama penguasa mana?

Dalam berbagai pengalaman, para penguasa yang bersih bahkan diperas oleh para lembaga penegak hukum sendiri. Lemabag penegak hukum ini kalaulagi mau cari duit gampang banget, tinggal datang ke para penguasa sambil bilang: “bang, mau kita jeblosin ke penjara ga, karena kalopun abang kerjanya bersih, kalo kita cari-cari celah di proseduralnya pasti ada ajasalahnya dan bisa buat abang kami jeblosin ke penjara. Kalo gam mau, ntar anggaran dan proyeknya kasi persenan ke kita ya, biar kita amanin abangnya.” Dalam kondisi begini, pejabat justru dipaksa korupsi sebagai korban pemerasan. Ini kisah nyata ya manteman, karena aku sendiri udah berapa kali kerja bareng pemerintahan. Makanya, kalau para aktivis atau siapapun membongkar data korupsi salah satu atau sejumlah orang, para akan bersujud syukur karena doa atas ditambahkannya rezeki telah terkabul. Data korupsi itu bisa dipakai mereka untuk tawar menawar dan memeras para pejabat sial : “lu mau gw lepasin dan bayar, atau lu mau gw proses?” hihi.. data ini juga bisa dimanfaatin lawan politik sebagai manuver.

Tapi mereka emang beneran korup lho, ya bagus donk ditangkap! Bener, harusnya siapapun yang korup ditangkap. Atas dasar moral, tata kelola yang besih, atas dasar mensejahterakan dan tidak ingin menzhalimi rakyat, bukan orang korup yang ditangkap karena jadi lawan politik penguasa (yang korup juga pula) atau karena buat APH kesal. Sedangkan pejabat korup lain yang dilindungi penguasa, punya hubungan baik dan saling menguntungkan dengan APH jadi aman. Ga gitu donk bambaaaaang… L

Untuk gender impact sendiri di bagian isu korupsi menjadi bahasan menarik tersendiri sih, khusus bagian ini akunya harus research dan belajar lagi lebih dalam karena jikapun aku selama ini concern di isu gender tapi belom pernah masuk di bagian ini. BTW, karena akar dalri problem esploitasi dan kekerasan terhadap perempuan adalah patriarki—sistem yang memiliki pola relasi kuasa eksploitatif terhadap perempuan. Dalam hal ini, kekerasan yang terjadi terhadap perempuab adalah kekerasan ekonomi, politik dan budaya. Saking kentalnya sistem patriarki di masyarakat kita, bahkan korupsi pun punya gender impactnya terhadap perempuan. Masyarakat kita secara umum sudah menderita karena kejahatan korupsi, tapi korupsi yang kawin dengan patriarki membawa penderitaan berkali-kali lipat bagi perempuan. Contohnya kayak apa sih? Perempuan yang mendapat beban domestic lebih parah dalam masyarakat kita, yang ditugasi untuk pengelolaan rumah tangga tentu dapat dampak lebih parah dalam kasus korupsi. Perempuan dalam masyarakat tertentu yang sering ditugasi untuk mengurusi administrasi keluarga juga mendapat kesialan lebih saat birokrat kita masih sering korup dan nepotism dalam urusan birokrasi dan administrasi. Kesialan lebih parah dalam kondisi korupsi dana kesehatan dan sumber daya alam. Why? Iyasih, orang-orang ya pada menderita dengan korupsi dana dan fasilitas kesehatan. Tapi korupsi dana kesehatan bisa berdampak buruk pada tingginya angka kematian ibu, kesehatan reproduksi perempuan, perempuan hamil dan menyusi akan mendapat dampak lebih dalam praktek korupsi yang merusak alam dan memberikan dampak kerusakan lebih bagi perempuan. Hal paling konyol yang juga terjadi di masyarakat kita alah, ketika seorang penguasa laki-laki korup anehnya tidak sedikit yang akan menyalahkan : “pasti istrinya yang suruh, pasti istrinya hedon, istrinya kok ga ngingetin suaminya sih, dsb”.

BTW, diskusi ini berlangsung a lot banget gara-gara pembicaranya sendiri berdebat a lot wkwkwk, panitia sampe ngeluh karena efeknya acaranya jadikelar lebih lama dari yang seharusnya hahahaha….

Kalau mau liat diskusi lengkapnya, silahkan nonton video ini aja ya.. 


 

Komentar

Postingan Populer