16 HAKTP "TULAK BALA" Diary

 


Suatu waktu saat aku datang ke LBH Banda Aceh, kawan-kawan menyatakan ingin memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) tahun ini. Awalnya aku merasa flat, toh ini memang peringtan tahunan, karena tanggal 25 November – 10 Desember memang diperingati secara Internasional sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), tapi selama ini kan ga ada yang pay attention banget sampe mau memperingati secara serius juga. Yah ketika mereka minta support dan back-up, tentu saja akan ku berikan.

Namun semuanya berubah ketika rapat pertama digelar. Pertama, kampanye 16HAKTP ini akan diselenggarakan oleh LBH bersama seluruh jejaringnya selama 16 hari penuh tanpa jeda, dan ini akan menjadi ajang pembuktian paling prestisius bahwa peringatan HAKTP kali ini bukan hanya formalitas belaka. Kedua, kampanye 16HAKTP ini dibuat dengan semangat gerakan sosial dan politik untuk memback-up gerakan LBH Banda Aceh yang tengah memimpin advokasi sosial dan politik Kekerasan Seksual, jadi ini bukan diperingati sebagai ritual tahunan tanpa makna dan output yang jelas. Ketiga, kampanye 16HAKTP ini juga akan menjadi gerakan deligitimasi terhadap kelompok mainstream yang selama ini mengklaim diri sebagai gerakan perempuan Aceh padahal dalam perilaku hariannya mereka feudal, zalim, pragmatis dan broker, bahkan menjadi 'musuh dalam selimut' dalam gerakan advoksi kekerasan seksual yang tengah dibangun, secara kapasitas intelektual juga sudah tertinggal tapi tetap ingin mendominasi panggung, so it will be 'gerakan anti orang tua kuno dan jahat. Keempat, 16HAKTP ini akan dibuat dalam format paling canggih: kolaborasi pertunjukan seni, rangkaian diskusi publik dan berbagai peristiwa hebat lainnya.

Di rapat pertama, terjadi perdebatan super sengit. Aku pribadi mendekontruksi total draft wacana feminisme yang ditawarkan dan disusun. Jelas lah aku greget, ku sampaikan bahwa pertama, yang diletakkan di draft awal wacana ini hanyalah kekerasan seksual sedangkan basis utama acara ini adalah segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Kedua, kajian yang menjadi basis pewacanaan dalam draft awal yang ditawarkan ini adalah level kajian feminisme gelombang pertama, sedangkan sekarang sudah masuk feminisme gelombang keempat yang kajian dan alat analisanya udah canggih udah jauh lebih canggih. Ketiga, peringatan HAKTP ini harus dibangun atas perspektif lokalitas, dimana kajian gender dan feminismenya harus sesuai konteks unik Aceh seperti kekerasan terhadap perempuan menyangkut Perang Aceh, Bencana Tsunami dan penerapan Syariat Islam. Keempat, wacana kekerasan terhadap perempuan kita tidak disandarkan pada dramatisasi dan keterpurukan luka korban, tapi pada semangat perjuangan perempuan Aceh yang selalu bangkit melawan penindasan. Dan resiko yang harus aku tanggung akibat kritik keras itu adalah: ditunjuk menjadi PIC Pewacanaan dan PIC Diskusi Publik, donk hahaha. Seluruh acara ini, terutama karya-karya yang akan dihasilkan untuk pameran seni rupa dan diskusi publik akan bergantung pada pewacanaan yang aku buat. Kawan-kawan seniman adalah parte Komunitas Kanot Bu dan rekananya yang selama ini  melakukan kegiatan seni sebagai bentuk aktivisme dan pewacanaan adalah ruh utama dari karya. (BTW, di acaranya ini aku diposisikan mewakili diri personal dan Komunitas Pendar yang dihitung sebagai salah satu Komunitas yang diajak berkolaborasi dalam kegiatan kece ini, hahaha...)

Ini dia narasi pewacanaan yang berhasil aku buat untuk Kampanye 16HAKTP kali ini :

 

Draft Narasi Kampanye 16 Hari HAKTP – LBH Banda Aceh

Sekitar 1 dari 3 (35%) perempuan di seluruh dunia telah mengalami kekerasan (WHO, 2018) dan setiap jam, 3 orang perempuan mengalami kekerasan seksual (Komnas Perempuan, 2020).  Data tersebut menunjukkan kondisi dimana perempuan merupakan kelompok yang rentan mengalami kekerasan, terutama kekerasan berbasis gender.
Apa itu kekerasan berbasis gender?

Secara definitif, penindasan berbasis gender terhadap perempuan adalah jenis penindasan yang dialami oleh sekelompok masyarakat diakibatkan identitasnya sebagai perempuan dan dikarenakan adanya relasi kuasa yang menindas terhadap mereka. Ruang Lingkup kekerasan berbasis gender tersebut dapat terjadi dalam ranah personal dan domestik, maupun ranah publik.
Mengapa hal tersebut dapat terjadi?

Secara universal, perempuan mengalami kekerasan berbasis gender yang disebabkan oleh dua basis kekerasan: kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Kekerasan struktural adalah kekerasan yang dilakukan oleh struktur kekuasan negara secara paksa ke rakyat. Tindakan-tindakan yang dihasilkan oleh kekerasan struktural dihasilkan oleh segenap perangkat kekuasaan dan struktur yang dimiliki negara. Kekerasan Berbasis struktural ini dihadapi oleh semua rakyat tertindas, hanya saja perempuan mengalami kekerasan spesifik lebih berat dan kondisi ini lebih parah dialami oleh perempuan di masyarakat paska kolonial.

Ada banyak kebijakan publik dari tingkat lokal hingga nasional yang menjadi basis kekerasan politik dan hukum struktural terhadap perempuan. Beberapa diantaranya adalah aturan diskriminatif yang terdapat pada UU Perkawinan, KUHP, Qanun jinayat, dan sebagainya yang berdampak pada pelanggengan kekerasan fisik, psikologis, seksual, dan penelantaran, baik di ruang publik maupun domestik. Tidak disahkannya RUU PKS juga menyebabkan perempuan tidak mendapatkan payung hukum yang jelas atas kasus kekerasan yang menimpanya dan sulit bagi korban mengakses layanan pemulihan. Selain itu, tak jarang korban kembali mendapatkan kekerasan yang dilakukan oleh institusi negara, sehingga belakangan ini marak tagar #percumalaporpolisi muncul sebagai bentuk kritik terhadap kinerja lembaga negara dalam memberikan keadilan kepada korban.

Ada banyak kekerasan ekonomi politik struktural berbasis gender yang terjadi akibat praktik sistem kapitalisme seperti pada kasus-kasus konflik agraria, perampasan lahan, eksploitasi wilayah  laut dan pengrusakan lingkungan sistemik. Kapitalisme menindas alam dan manusia, namun kapitalisme yang berkongsi dengan sistem patriarki menghisap perempuan dua kali lebih parah. Perampasan lahan dan SDA mengakibatkan masyarakat kehilangan basis produksi akibat akumulasi primitif oleh kapitalisme. Perempuan dalam kondisi konflik agraria tak hanya berpotensi berhadapan secara fisik dengan aparat keamanan atau pihak swasta, namun terkadang kehilangan sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan dan ekonomi keluarga. Dampaknya, beban perempuan meningkat sehingga mereka terpaksa bekerja serabutan, sambil tetap mengerjakan urusan domestik. Tak jarang perempuan kemudian dimobilisasi untuk dipekerjakan di perusahaan-perusahaan tambang dan sawit serta diberi upah lebih murah. Dalam kajian ekofeminisme, pengrusakan lingkungan akibat dampak kapitalisme membawa kekerasan dan dampak yang lebih parah terhadap perempuan karena perempuan secara biologis mengalami menstruasi, hamil, menyusui, dan secara sosiokultural dibebani peran domestik dan kerja-kerja pengasuhan dan perawatan.

Berbeda dengan kekerasan struktural, kekerasan kultural adalah jenis kekerasan yang menggunakan unsur-unsur kebudayaan sehingga menghasilkan penundukan-penundukan secara sukarela terhadap objek yang ditindas. Kekerasan kultural dilakukan dengan mempengaruhi nilai, pikiran, mental, dan sistem sosial sehingga penindasan dan kekerasan yang dialami dapat diterima, dianggap normal, bahkan diapresiasi secara sosial. Nilai-nilai patriarki yang ada di dalam budaya, menyebabkan perempuan mengalami kekerasan kultural. Akibatnya, berbagai jenis  kekerasan terhadap perempuan dianggap normal dan wajar secara kebudayaan, misalnya kekerasan fisik dan seksual, penelantaran, kawin paksa, pemaksaan alat kontrasepsi, aborsi dan pelacuran; pembatasan akses pendidikan, pembatasan dan diskriminasi kerja, akses-akses ekonomi dan property; pengabaian di bidang kesehatan perempuan dengan salah satu dampaknya tingginya angka kematian ibu; pembatasan akses pengambilan kebijakan publik dan akses-akses jabatan publik; dsb. Perempuan dengan kondisi khusus seperti transpuan, perempuan dari kelompok minoritas, dan perempuan disabilitas juga memiliki kerentanan berkali lipat dalam kebudayaan patriarki. Kekerasan budaya ini berjalan dengan baik akibat kekerasan narasi dan hegemoni yang dilakukan oleh media, lembaga pendidikan, tafsir agama, dan seni.

Secara kontekstual, perempuan Aceh mengalami jenis kekerasan-kekerasan lebih parah akibat perang, bencana tsunami, dan penerapan syariat Islam. Perang Aceh melawan Indonesia yang berkepanjangan mengakibatkan perempuan Aceh mengalami berbagai KBG seperti menjadi korban pemerkosaan dan pelecehan seksual, kekerasan fisik dan mental yang dampaknya masih dirasakan hingga saat ini. Pasca perang dan memasuki fase transitional justice (keadilan transisi), perempuan mengalami kekerasan politik struktural seperti tidak terpenuhinya hak-hak mereka atas rekonstruksi, reparasi dan rehabilitas atas kekerasan perang yang dialami dalam posisinya sebagai perempuan. Paska kemerdekaan, perempuan mantan kombatan (inong balee) bahkan tidak diakui sebagai pihak yang ikut berjuang sehingga berdampak pada pengabaian hak seperti yang tercantum dalam MoU Helsinki pada tahun 2005 lalu.

Perempuan Aceh juga mengalami berbagai kekerasan akibat dampak bencana gempa dan tsunami. Konstruksi sosial di aceh yang mengkerdilkan peran perempuan hanya di ranah domestik menempatkan perempuan dalam posisi kekerasan budaya yang ‘merumahkan’ perempuan dan membuat perempuan yang paling bertanggung jawab terhadap anak ternyata membuat perempuan menjadi lebih rentan dalam kondisi bencana, sehingga tak heran rasio perbandingan korban meninggal pada bencana 2004 silam antara laki-laki dan perempuan adalah 1:4. Pasca bencana pada masa recovery, perempuan juga mengalami kondisi kekerasan struktural dan kultural. Kondisi perempuan di camp dan shelter pengungsian menghasilkan kondisi yang lebih rentan bagi perempuan sehingga banyak perempuan yang mengalami kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Juga ada banyak kebijakan atas pemenuhan kebutuhan masa recovery yang mengabaikan kondisi dan kebutuhan khusus perempuan, termasuk kebutuhan-kebutuhan khusus dalam posisinya yang bereproduksi dan dibebankan lebih dalam mengurus anak.

Kekerasan yang dialami perempuan Aceh saat ini diperparah oleh pemberlakuan syariat Islam. Saat formalisasi syariat Islam idealnya menjadi kekuatan moral terhadap penegakan keadilan hak-hak sosial ekonomi politik publik seperti melawan korupsi, kapitalisme dan segala bentuk penindasan sistemik, syariat islam justru dipolitisasi sehingga menjadi instrument kekerasan terutama terhadap perempuan. Berbagai kebijakan seperti Qanun jinayat yang membuat perempuan menjadi lebih rentan mengalami kekerasan fisik, psikologis dan seksual; kekerasan hukum struktural oleh mahkamah syariah yang sering membebaskan pelaku kekerasan seksual, kebijakan dan larangan perempuan berpakaian ketat/tidak sesuai syariat yang berdampak pada berbagai tindakan kekerasan seperti penangkapan, pengejaran, razia, kekerasan verbal dan pemotongan pakaian perempuan di ruang-ruang publik, kebijakan perempuan dilarang duduk ngangkang, kebijakan perempuan dilarang keluar malam, dan berbagai kebijkan diskriminatif lainnya.

Di masa pandemi, perempuan mengalami peningkatan kekerasan berbasis gender berbasis online/cyber. Perempuan berada dalam posisi yang sangat rentan sehingga maraknya terjadi kekerasan seksual dalam bentuk memanipulasi dan mengancam penyebaran materi illegal foto/video agar korban tetap melakukan apa yang dikehendaki pelaku, misalnya tidak melapor ke orang lain, tidak meninggalkan pelaku (dalam hubungan pacaran), dipaksa berhubungan seksual dengan pelaku, dijadikan objek pornografi, dan pemerasan.

Secara statistikal, Komnas Perempuan pada tahun 2020 mengungkapkan jumlah kasus Kekerasan terhadap Perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus. Kasus Kekerasan Berbasis Gender Siber bahkan mengalami kenaikan pada tahun 2020 sebanyak 92%.  Dalam konteks Aceh, berdasarkan data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Aceh, jumlah kekerasan dan bentuk kekerasan terhadap perempuan (Triwulan III) Tahun 2021 ialah sebanyak 357 kasus dari 24 Kabupaten/Kota di Provinsi Aceh, dengan kategori bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan seperti KDRT 213 kasus, Kekerasan Fisik 78 kasus, Kekerasan Psikis 125 Kasus, Penelantaran 106 Kasus, Pemerkosaan 18 Kasus, Seksual 13 kasus, Traffiking 1 kasus, Eksploitasi seksual 0 kasus, dan lain-lain bentuk kekerasan sebanyak 40 kasus. Jumlah keseluruhannya ialah 594 kasus.
 
Meski mengalami bentuk kekerasan dan menjadi kelompok yang lebih rentan sedemikiannya, perempuan Aceh juga memiliki spirit perlawanan yang luar biasa. HC Zentgraaff—seorang kopral marsose veteran Perang Aceh— menuliskan bahwa perempuan Aceh melebihi kaum perempuan bangsa-bangsa lainnya dalam keberanian dan tidak gentar mati bahkan mereka pun melampaui kaum lelaki. Bukan sebagai perempuan yang lemah, menerima hak asasi di medan juang dan melahirkan anak-anak mereka di antara dua serbuan penyergapan. Mereka berjuang bersama-sama suaminya, kadang-kadang di sampingnya atau di depannya dan dalam tangannya yang mungil itu kelewang dan rencong menjadi senjata yang berbahaya. Perempuan Aceh berperang, mereka menolak segala macam kompromi.

Perempuan Aceh tidak ingin dilihat sebagai korban yang lemah tak berdaya. Perempuan Aceh adalah sulthanah pemimpin 4 masa kerajaan, perempuan pejuang, panglima perang dan laksamana, pasukan inong balee, mencari keadilan bahkan dengan jalan senjata, tangguh dalam perang melawan kolonial sambil melantunkan bait-bait dodaidi perlawanan  sejak bayi dalam kandungan, menjadi kepala keluarga saat suami berjuang dan meski anggota keluarga tewas dalam perang. Sehingga perempuan Aceh yang menerima ketertindasan, mudah menyerah, sama dengan mengkhianati darah yang mengalir di tubuhnya.

Semangat 16 hari kampanye HAKTP hendaknya dibangun atas dasar semangat pengetahuan untuk mengungkap dan memahami segala bentuk kekerasan terhadap perempuan seluas-luasnya dan sedalam-dalamnya. Namun diiringi semangat perlawanan atas sistem, struktur dan kebudayaan yang menindas sesuai dengan spirit sejarah perempuan Aceh.


 *********

Kami berhasil merumuskan kegiatan ini dengan judul : Kampanye Kolaboratif 16 Hari tanpa Jeda Anti Kekerasan terhadap Perempuan “TULAK BALA”. Judulnya yang Tulak Bala itu lokal banget yak. Karena Bang Aulianda sudah sering menarasikan di publik bahwa Kekerasan Seksual di Aceh terhadap anak dan perempuan telah menjadi Bala dan Musibah Sosial yang terabaikan saat angkanya kian hari kian menanjak ekstrem. Saat judul kegiatannya adalah Tulak Bala, kami ingin agara seluruh masyarakat Aceh merasa memiliki kepentingan yang sama bahwa kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan adalah sebuah Bala yang harus sama-sama kita Tulak.

 

Kegiatan utama dalam 16HAKTP Tulak Bala ini di breakdown ke dalam 3 agenda utama:

Pertunjukan Seni : Pameran Seni Rupa, Pertunjukan Musik, Pemutaran Film, Teater Tubuh, Hikayat, Pantomim, Puisi,  etc

Diskusi Publik : 15 Tema

Kampanye Digital : Flyer, full live streaming youtube 16 hari

 

Salah satu yang aku anggap sangat keren dalam kegiatan ini adalah kemampun kami semua selain berhasil mengumpulkan berbagai lini aksi seni yang bahkan jarang dipertunjukkan di Aceh, kami mampu menghadirkan wacana diskusi kekerasan berbagis gender terhadap perempuan hingga menghasilkan 15 Tema diskusi selama 16 hari tanpa jeda, dimana pewacanaan seluruh diskusi sangat dikawal ketat. Kami tim diskusi (aku, Silfana dan Nana)  harus mempersiapkan ToR wacana hampir keseluruhan tema untuk masing-masing diskusi untuk memastikan mulai dari moderator hingga para pembicara tidak akan bicara random, tapi mengikuti kerangka wacana yang sudah dipersiapkan dengan perspektif semaju mungkin. Lebih dari itu, gimana caranya coba, tim harus mempersiapkan 3 pembicara untuk masing-masing tema diskusi yang jumlah diskusinya sebanyak 15 buah, tentang isu gender dan feminisme, harus pakar, tapi semuanya harus orang dari pihak alternatif bukan dari kelompok gerakan perempuan Aceh. Dan berhasil! Bagi aku, ini salah satu prestasi terhebat sepanjang hidup, mampu menghadirkan sekitaran 43 pembicara alternatif, yang memang sangat pakar di masing-masing tema. Dan kita juga berhasil nunjukin ke publik: ada sangat banyak orang-orang muda, baru, tajam, pakar dan layak bicara isu perempuan, melampaui orang-orang tua renta yang selama ini tak mengizinkan siapapun mengisi panggung itu. 

 

Total diskusi sebenernya ada 15, tapi ada satu tema diskusi yakni Pendidikan untuk Perempuan PAPUA yang ga diletakin di sini karena diagendakan dadakan di tengah jalan.

Actually ada 15 diskusi publik dengan total 43 pembicara yang jumlahnya disesuaikan dengan kebutuhan diskusi selama acara berlangsung


 

BTW, kegiatan berlangsung dengan relatif sangat lancar tanpa ada kendala yang berarti. Sumpah aku bangga banget sama diri sendiri dan seluruh kolektif ku. Ga perna kebayang bahwa aku dan mereka akan semampu ini menggelar kegiatan selama 16 hari tanpa jeda, dengan kualitas yang luar biasa.

Bagi yang pengen lihat ulang dan bagi yang ga sempat ngikutin acaranya, kalian bisa pantengin seluruh kegiatan di Facebook LBH Band Aceh dan Channel Youtube LBH Banda Aceh ya.



We make our own history!


Komentar

Postingan Populer