Siswa kelas XII IPS dan Perkembangan Keilmuan


 

























Kali ini siswa belajar tentang materi Ketimpangan Sosial. Mereka sudah bersama saya sejak kelas X, kelas XI dan kini kelas XII. Kalau cuma masalah ketimpangan sosial, dari kelas X pun mereka sudah bersinggungan dengan ini. Video Dhandy Dwi Laksono dari Watchdoc dan Ekspedisi Indonesia Biru sudah hampir mereka tonton semua, mulai dari masalah ketimpangan sistemik dan struktural terhadap buruh, tani, nelayan, masyarakat miskin kota, masyarakat adat, dll lalu menganalisa menggunakan Teori Kelas. Mereka juga sudah menonton berbagai film tentang perubahan sosial dan revolusi, mulai dari konflik Aceh dan pergolakan 98, perjuangan demokrasi Suu Kyi di Burma, Revolusi menuju Republik di China, perjuangan kulit hitam di Afrika, perjuangan Perempuan pejuang hak-hak perempuan di Eropa dll. Mereka juga sudah sering turun ke lapangan untuk observasi. Mulai dari belajar Adat Berdaulat ke Pemerintahan Mukim Lampuuk, mengobservasi kelompok masyarakat yang didiskriminasi di Banda Aceh lalu mempresentasikannya lewat Monolog dan Sosio Drama dll.

Saya bingung harus menginstal perspektif apa lagi ke mereka dalam membicarakan ketimpangan sosial. Mereka sudah tau betul bagaimana bobroknya Kapitalisme dan Feodalisme dalam melihat realitas sosial yang ada. Dan akhirnya, minggu lalu, saya menghadirkan materi Poskolonial untuk melihat masalah-masalah sosial di Aceh. Kerennya, mereka bisa meresap itu dengan baik. Memang, dengan materi ini mereka harus menelan satu pil pahit. Seperti pengungkapan realitas tentang sistem pendidikan kita yang masik menerapkan sistem pendidikan ala Kolonial yang hanya menghasilkan orang-orang untuk menjadi pekerja birokrasi dan perusahaan yang masih menggunakan sistem eksploitatif, menghasilkan orang-orang dengan watak inferior, jauh dari realitas, dan sistem yang diterapkan sangat menyiksa siswa.

Setelahnya, siswa-siswa sempat blank karena shock dengan kenyataan ini. Setelah kelihatan telah berpikir keras, seorang siswi langsung bertanya, “Bu, jadi nanti ketika dewasa, saya harus berbuat apa? Saya punya passion di bidang ekonomi. Saya harus bagaimana?”

Saya sampaikan, bahwa apa yang saya lakukan selama ini juga melawan sistem dengan cara yang soft. Apa yang saya ajarkan, pola belajar mengajar selama ini juga bertentangan dengan sistem. Saya mempelajari studi pendidikan alternatif. Saya ini murtad sebagai guru Kewarganegaraan. Saya bahkan menggugat nasionalisme, Bela Negara dan doktrin-doktrin omong kosong lainnya. “Kalau saya bisa, kalian juga bisa. Kamu pelajari diskursus-diskursus ekonomi untuk membongkar doktrin-doktrin dan kebohongan-kebohongan tentang masalah ekonomi ke publik. Kamu belajar sampai orang tidak bisa meremehkan kapasitas intelektual kamu meskipun apa yang kamu sampaikan bertentangan dengan sistem, bertentangan dengan pemahaman banyak orang. Meski hanya dengan menulis, kamu sudah membantu banyak orang untuk menemukan kesadarannya.”























Tadi pagi, seorang siswa dari kelas yang sama menghampiri saya saat saya baru masuk kelas, menyampaikan, “Bu, saya suka pelajaran ibu karena terhubung juga dengan pilihan saya ke depan. Saya mau masuk IPDN. Saya mau mengubah sistem pemerintahan, bu”. Ah, saya meledak haru. Sebagai cita-cita, tentu itu jauh lebih baik dari sekedar jadi insinyur, dokter, politisi atau apapun yang tidak jelas orintasinya, apa lagi kalau hanya jadi penindas juga.

Hal yang paling saya risaukan, setelah mereka saya beri kesadaran kritis lalu masuk kuliah, nantinya mereka malah justru 'dirusak' oleh kampus. Mereka menjadi mahasiswa yang menelan dan menghapal teks2, diajarkan dan dipaksa untuk menjadi orang2 yang patuh, pasif dan pasrah, tak paham realitas, bahkan berorganisasi saja dicemooh, cuma jadi orang2 yang ngejar IPK dan ijazah. Ga lebih.. 

BTW, katanya diskursus tentang poskolonial bahkan belum masuk ke kampus-kampus kita ya, kalaupun ada dia belum jadi studi mainstream? Bahkan termasuk kampus-kampus raksasa di Jawa sana? Apa kita bahkan ga tau kalau meski Kolonial sudah pergi tapi narasi dan wataknya dalam teks-teks bacaan serta sistem nya (entah itu ekonomi, politik, hukum , pendiidkan, dll) masih kita warisi sampai sekarang? Trus 72 tahun itu kalian merayakan apa? 

Oya, makasih banyak untuk yang sudah memproduksi teks tersebut..

 


 

Komentar

Postingan Populer