Masyarakat Minang: Agama Berbasis Kebudayaan
Setelah dua puluh tahun, akhirnya pulang kampung lagi, ke Bukit Tinggi..
Memiliki ayah yang berdarah Aceh patrilineal dan Ibu berdarah Minang
matrilinea membuat saya mewarisi dua garis keturunan sekaligus.
Semua orang tau, SumBar dengan Bukit Tinggi dan kota kota lainnya merupakan
kota wisata yang kaya akan destinasi wisata alam, kuliner dan budaya rakyatnya.
Namun yang paling menjadi perhatian saya adalah aspek Adat dan
Religiusitasnya. Bagi masyarakat Minang, adat bukan hanya menyangkut seni
budaya, ritual, namun juga politis.
Salah seorang sepupu saya menjelaskan bagaimana hutan dan alam di Minang
masih terjaga dengan baik dibanding wilayah lain di sekitarnya krn hal tsb
menjadi naungan Adat secara politis dan massif.
Di sisi lain, suatu ketika saya pernah membaca artikel yang
menginformasikan bahwa Bupati di sini tidak mengizinkan Indomar** dan Alfama**
beroperasi di sini, atas dasar memberikan proteksi bagi ekonomi masyarakat
lokal. Dan setiba di sini, saya mengonfirmasi hal ini. Hebat. Hanya masyarakat
yang memiliki sentimen lokalitas sangat tinggi yang mampu menerapkan ini.
Hal keren lainnya, sejak saya sekolah, saya sudah mengamati betapa
masyarakat Minang merupakan salah satu masyarakat yang religius. Hanya saja,
religiusitas di sini tidak dilakukam dengan mempolitisir agama. Di sini,
pemerintah dan ulama tidak perlu melakukan razia jilbab dan hukum cambuk untuk
menakuti dan memaksa masyarakat untuk menjadi religius. Ya, di sini agama
diserap melaui basis kebudayaan yang humanis. Agama tidak dijalankan dengan
pemaksaan apalagi berbasis kekerasaan. Pelanggaran-pelanggaran tidak ditindak
dengan menyiksa dan mempermalukan.
Aceh kapan begini?



Komentar
Posting Komentar