Zetizen dan Transformasi Sosial




 
“Kamu belum menjadi manusia berpendidikan sampai kamu memiliki kesadaran dan usaha yang sungguh-sungguh untuk berkontribusi dalam transformasi sosiall”

Kita semua mengetahui bahwa tugas manusia-manusia terdidik bukannya pada pemenuhan hasrat-hasrat individual menyangkut tentang bagaimana manusia mampu mencapai cita-cita untuk membahagiakan diri sendiri semata, namun lebih dari itu, kita dituntut untuk memiliki kesadaran dan kontribusi signifikan terhadap masyarakat luas. Terutama di tengah banyak krisis dan masalah yang menimpa masyarakat dan bangsa kita, manusia-manusia yang telah dibekali berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan sejak dini hingga kini harusnya menyadari bahwa kita menanggung dosa-dosa sosial yang sangat besar akan kebodohan, apatisme dan besarnya egosentrisme dalam penerapan ilmu pengetahuan yang telah kita miliki yang harusnya dapa berguna untuk membantu dan mendobrak masyarakat keluar dari jurang kemiskinan, ketidakadilan di berbagai bidang, diskriminasi atas dasar identitas-identitas tertentu, dsb.

Salah satu upaya penting dan krusial dalam upaya melakukan transformasi sosial adalah penyebar-luasan gagasan dan pengetahuan yang dimiliki manusia-manusia terdidik terhadap khalayak luas. Y.B. Mangunwijaya menyatakan dengan sangat tajam, “...apa guna kita memiliki sekian ratus ribu alumni sekolah yang cerdas, tapi massa rakyat dibiarkan bodoh? Segeralah kaum yang sekolah itu akan menjadi penjajah rakyat dengan modal kepintaran mereka”. Kondisi di lapangan membuktikan ini dengan sangat jelas dimana orang bodoh dan apatis menjadi korban orang-orang pintar yang tidak bermoral. Kita lantas tidak heran jika banyak koruptor, dokter yang mengabaikan pasien miskin, pelanggar HAM, politisi dan birokrasi busuk, pengusaha penindas rakyat bertebaran, sedangkan masyarakat kita seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa.

Upaya-upaya melakukan transformasi sosial ini sudah harus dibiasakan sejak dini, paling tidak sejak kita duduk di bangku sekolahan. Oleh karenanya, ketika suatu ketika salah seorang siswa saya, Hafiz Adinata Putra menyampaikan bahwa dirinya bergabung di salah satu komunitas berbasis minat dan bakat di bidang jurnalistik bernama Zetizen, saya merasa sangat antusias. Zetizen adalah generasi yang lahir setelah 1995. Mereka merupakan generasi yang lahir ketika penggunaan teknologi informasi dan internet telah meluas di masyarakat (Jawa Pos, 7 Maret 2016). Komunitas ini merupakan asuhan Jawa Pos dan Rakyat Aceh (untuk region Aceh) dimana para anggota komunitas diharapkan untuk mampu memanfaatkan informasi dan pengetahuan yang diperoleh dari teknologi informasi dan internet untuk menghasilkan gagasan dan transformasi di bidang jurnalistik. Jawa Pos dan Rakyat Aceh bahkan memberikan halaman khusus bagi Zetizen.

Hafiz sendiri menujukkan beberapa aktivitasnya pada saya sebagai anggita komunitas Zetizen dimana beberapa minggu lalu ia dinyatakan lolos seleksi untuk mengikuti kegiatan Zetizen di Jakarta karena berhasil mengangkat isu tentang masalah lingkungan berupa kondisi satwa Sumatra yang hidupnya terancam punah. Dan hampir setiap minggu belakangan saya melihat liputan Hafiz di laman Zetizen yang kemudian ia sematkan di mading sekolah. Saya sangat bangga, bahwa Hafiz dan teman-teman Zetizen ternyata telah bergerak selangkah lebih maju dari siswa kebanyakan dalam aktivitas sosialnya. Beberapa kali diskusi dengan Hafiz mengenai masalah ini, saya menyatakan sangat berharap agar Hafiz mau konsisten dan mau mengangkat masalah-masalah sosial di masyarakat yang selama ini jarang diberitakan oleh media, mau menyuarakan kepentingan dan aspirasi masyarakat yang suaranya selama ini jarang didengar, mau menghasilkan tulisan-tulisan yang mampu menyadarkan masyarakat luas dan generasinya untuk tau dan peduli terhadap isu-isu sosial. Karena kita semua tau, menulis di media yang dapat dijangkau oleh banyak orang merupakan salah satu aktivitas krusial dalam upaya penyebaran gagasan dan peningkatan kesadaran sosial. Jangan bicara tentang perubahan sosial tanpa masyarakat yang cerdas dan sadar. Ini menjadi sangat penting, karena jika bukan pada kita, pada siapa lagi masyarakat dan bangsa ini berharap? Semoga kita tidak menjadi ‘angakatan-angkatan gagap’ –mengutip istilah W.S Rendra dalam puisi Sajak Anak Muda— yang terus mereproduksi pengetahuan namun kita justru lebih menikmati masa bodoh dan santai.
****

 

Komentar

Postingan Populer