Guru yang Berjuang, Guru yang Diperjuangkan
Dimuat di Mojok.co, 26 November 2016
Kemarin, saat bangun tidur, sebagai manusia era
milenium yang sebelum minum air dan sarapan pagi pasti mantengin lini masa
media sosial dan mendapati ada banyak ucapan selamat Hari Guru, saya baru sadar, saya masuk
waktu Indonesia bagian peringatan Hari Guru se-Indonesia.
Setahu saya, tidak banyak yang berubah dan berbeda
dari peringatan Hari Guru sebelumnya. Masih di seputaran acara-acara
seremonial, ngasih-ngasih penghargaan untuk para guru dengan kategori:
terfavorit, tersegani, ter-stylist, terjudes, dan terlucu sambil potong
kue dan melepas balon ke udara.
Lha, memangnya saya harus berharap apa di peringatan
Hari Guru kemarin? Memangnya saya bisa berharap dengan sepenuh-penuhnya
pengharapan bahwa pemerintah kita mau memikirkan nasib guru di Indonesia yang
kesejahteraan dan kualitasnya belum merata? Memangnya saya bisa berharap
pemerintah mau membuat suatu terobosan sistemik dalam sistem pendidikan
menyangkut peran guru dalam melakukan transformasi sosial? Takutnya saya
dianggap masih belum terbangun dari tidur.
Masalahnya, apa urusannya guru sama transformasi
sosial? Waktu di kampus keguruan dulu dan di berbagai pelatihan selama jadi
guru, saya tidak pernah mendapatkan pencerahan bahwa
guru harus mampu menjadi juru kunci atas segala problem yang ada di masyarakat.
Padahal, guru harusnya mampu saling belajar dengan
para peserta didiknya untuk memahami realitas-realitas yang ada. Atau dalam
konteks kita: memahami realitas penindasan dan segala bentuk krisis, mencari
akar masalah, dan membantu siswa menemukan kesadaran kritis, semangat,
keberanian, dan solusi untuk melakukan transformasi dan perubahan sistemik atas
masalah yang ditemukan. Masalah apa saja. Kemiskinan, eksploitasi,
ketidakadilan, diskriminasi. Jangan sampailah ketika negara lain sudah berhasil
menumbangkan pemerintahannya yang korup, siswa kita masih menganggap kemiskinan
itu ada karena takdir Tuhan yang tidak bisa diubah.
Yang terjadi adalah, boro-boro melakukan transformasi
sosial, sampai kemarin guru-guru kita masih diarahkan untuk memenuhi capaian
utama pendidikan kita: melakukan segala upaya demi mendongkrak nilai UN siswa
(yang baru saja dinyatakan dihapus) agar nanti bisa lulus SNMPTN dan
masuk kampus favorit, dapet IPK tinggi lalu jadi dokter, insiyur, pengusaha,
dan lain-lain, kemudian hidup bahagia dan masuk surga. Sistem yang ada ternyata
belum mampu mengubah paradigma para guru, meski kebijakan tentang kelulusan
sudah diubah.
Dengan capaian sistem pendidikan Indonesia yang
sedangkal ini, bagaimana bisa guru-guru diharap bisa jadi agen perubahan sosial?
Mimpi, ya, nggak segitu-gitunya juga kan. Masalah petani dirampas lahannya,
buruh dieksploitasi, pelanggaran HAM dalam skala besar, penguasa yang
memanipulasi sistem sesuai kepentingannya, tingginya angka kekerasan dan
diskriminasi atas nama gender, etnis, agama, ya manalah jadi urusan para guru
dan sistem pendidikan. Itu nasib rakyat.
Walaupun sistem pendidikan kita setiap harinya
mencetak para sarjana sampai level profesor, sejak kapan sistem pendidikan kita
memberikan kesadaran agar kepintaran yang mereka miliki dipergunakan semasif
mungkin untuk membantu rakyat mengatasi masalahnya secara mengakar, melakukan
pergerakan bersama rakyat melakukan perlawanan?
Memangnya banyak guru yang bilang ke kalian, “Nak,
belajar yang rajin, biar nanti ilmu yang kalian pakai bisa digunakan untuk
melawan narasi penguasa yang suka memanipulasi kesadaran rakyat.”
Atau, “Nak, nilai UN itu nggak penting-penting amat.
Masyarakat itu nggak mau tahu berapa nilai UN kalian, yang penting nanti kalau
sudah besar, hiduplah bersama rakyat, bersama tani, nelayan, buruh, kaum miskin
kota, dan gunakan ilmu dan kekuatan yang kalian punya untuk merangkul kekuatan
seluas-luasnya bersama kaum intelektual lain dan massa rakyat sendiri membantu
mereka keluar dari ketertindasannya. Minimal jangan biarkan tanah di kampungmu
dijarah penguasa-penguasa jahat itu. Jangan biarkan pemerintah di daerahmu
terus-terusan memiskinkan warga kampungmu. Berdosa sosial kamu, Nak, kalau kamu
mendiamkan itu. Kamu jangan seperti watak kaum menengah kebanyakan yang
jangankan membela ketika terdapat relasi eksploitasi, mereka tidak berpihak
bahkan sejak dalam pikiran?”
Aduh, maaf, saya mulai ngalor-ngidul. Ini kan
Indonesia, era milenium lagi. Saya bukan lagi hidup di masa perjuangan
kemerdekaan ketika kaum terdidik mampu mempersatukan diri bersama rakyat
menemukan bersama dan melakukan pergerakan hingga titik darah penghabisan meski
berbekal bambu runcing demi mengusir penjajah. Gimana saya mau ngarep guru bisa
jadi juru kunci perubahan sosial, lha di kampus aja nggak pernah dapet mata
kuliah ekonomi-politik yang analisis dasarnya berbasis relasi kuasa; nggak
pernah dapet perspektif yang harusnya bisa dijadikan fondasi dan pisau analisis
dalam memahami realitas; nggak dapet tentang sejarah perkembangan masyarakat-masyarakat
di dunia yang mampu membuat peserta didik paham bahwa masyarakat itu mampu
memiliki kapasitas mendobrak sistem usang; juga nggak dapet tuh pemahaman
tentang relasi kekuasaan dan pengetahuan.
Mirisnya saya ini, Pak, Buk, konsep-konsep pendidikan
kritis punyanya Freire, Ivan Illich, dan Mazhab Frankfurt saya tidak dapat di
kampus atau pelatihan-pelatihan untuk guru. Saya cuma disuruh hafal-hafalin
teori pendidikan dan ilmu sosial lama, diajarin cara buat RPP (Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran), ngisi rapor, dan metode-metode pembelajaran sekadar
agar guru jangan bisanya ceramah doang. Dengan begitu, Bapak, Ibu, dan hadirin
sekalian berharap saya dan guru-guru lain jadi kunci transformasi sosial
seperti di masyarakat-masyarakat maju? Memangnya Bapak-Ibu sekalian kira, para
penguasa dan manusia-manusia berwatak penindas itu senang kalau masyarakat
pintar dan melawan?
Setelah segala keluh kesah itu, di Hari Guru kemarin
saya justru tak berani menuntut banyak-banyak terhadap para guru di Indonesia
ini. Sebab saya masih melihat berita di TV tentang para guru yang sudah
mengabdi selama belasan tahun, tapi belum juga mendapat kesejahteraan yang
layak. Masih banyak guru honorer yang memperjuangkan sekadar upah layak. Masih
banyak guru yang meminta disediakan fasilitas pendidikan yang layak, namun tak
digubris oleh pemerintah setempat. Masih banyak guru yang dipusingkan dengan
urusan administrasi seabrek-abrek untuk sekadar naik pangkat dan golongan.
Dan sekarang, izinkan saya lanjut tidur lagi. Mana
tahu waktu saya bangun, nasib guru-guru di Indonesia sudah ada perbaikan.



Komentar
Posting Komentar