Ketidaksetaraan Dalam Kenikmatan Warung Kopi

Ketika hendak membahas tentang warung kopi di Aceh, fokus kebanyakan orang bukanlah hanya pada jenis panganan atau objek wisata kuliner yang mampu dihadirkan olehnya, melainkan juga sebagai fenomena sosial, budaya dan politik yang unik dan sangat populer di Aceh. Wacana ini sudah termasyhur ke tingkat nasional bahkan skala dunia. Sampai-sampai terdapat istilah, jika kategori masuk syurga adalah mereka yang sering minum kopi atau duduk di warung kopi, sudah dapat dipastikan orang Acehlah yang akan mendominasi syurga itu.
Fenomena warung kopi memang sangat menarik minat dan perhatian banyak kalangan. Terutama bagi mereka yang memang sudah kecanduan ‘nongkrong’ di warung kopi, tentu sudah dapat merasakan betapa hebatnya sensasi kenikmatan yang disajikan. Mulai dari kualitas kopi dan panganan yang beragam, variasi dan fasilitas tempat yang dapat dipilih sesuai selera, wifi gratis dsb. Warung kopi di Aceh juga sangat terkenal sebagai tempat berkumpul dan bersosialisasi mengenai berbagai persoalan sosial, politik, pendidikan, dsb. Bahkan, kategori kelompok sosial yang dihadirkan berbeda pula pada masing-masing warung kopi yang ada.
Namun yang menjadi perhatian saya adalah bahwa sayangnya sensasi itu tidak dapat dinikmati dengan senyaman-nyamannya oleh semua kalangan tanpa terkecuali. Masih ada pengkotak-kotakan dan penilaian yang timpang tentang siapa yang layak dan tidak layak untuk mengecap kenikmatannya. Sebut saja perempuan. Meskipun tidak terdapat aturan khusus yang melarang perempuan duduk di warung kopi, namun tetap saja stigma masyarakat terhadap perempuan yang duduk di warung kopi masih saja negatif. Dan tetap saja, yang mendominasi warung kopi masihlah pihak lelaki.
Hal ini diperkuat oleh sebuah penelitian oleh seorang mahasiswa Unsyiah, Rany Permata Sari yang berjudul Perempuan Dan Warung Kopi (Analisis Terhadap Perilaku Perempuan Dan Persepsi Masyarakat di Kota Banda Aceh), yang menunjukkan bahwa keberadaan perempuan di warung kopi, melahirkan persepsi tersendiri dikalangan masyarakat Aceh. Masyarakat memandang keberadaan perempuan di warung kopi merupakan sebuah permasalahan karena tidak sesuai dengan adat dan budaya yang berlaku dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh. Hal ini belum seberapa, karena hal yang paling tidak mengenakkan adalah ketika terdapat beberapa tokoh masyarakat dan akademisi yang dengan sangat tajam dan tidak berperasaan mengeluarkan umpatan di media masa terhadap perempuan yang duduk di warung kopi.
Memang, dalam kontruksi sosial dimana hubungan yang terjalin menunjukkan masih adanya ketimpangan di sana-sini, terdapat berbagai simbol-simbol yang memperkuat dominasi kelompok dan menjadi pengabsah dalam mensubordinat kelompok lainnya. Kopi sendiri merupakan simbol maskulinitas bagi masyarakat timur. Bahkan, segala kenikmatan warung kopi sendiri sesungguhnya hanya dapat dinikmati oleh peremuan kelas menengah ke atas saja, karena kita tidak akan bisa menjumpai perempuan di kedai kopi tradisional. Dikedai kopi jenis ini perempuan hanya datang untuk membungkus kopi untuk dibawa pulang kerumah atau ke ladang untuk suaminya (Hafid Akbar dalam “Perempuan Aceh di Kedai Kopi”).
Yang menjadi pertanyaan mendasar, sesungguhnya dosa besar apa yang telah dibuat oleh perempuan ketika mereka duduk di warung kopi? Memang, senang tidak senang harus diakui bahwa tidak sedikit masyarakat di Aceh yang masih memiliki pola pikir dan perilaku tradisional dan konservatif. Berharap perempuan memperoleh perlakuan yang sama adilnya dengan laki-laki dalam konteks sosial di Aceh saat ini rasanya bagai mimpi di siang bolong. Tanyakan pada mereka tempat apa yang paling layak bagi perempuan? Sebagian besar akan dengan besar hati menjawab: di rumah. Saya bukan tengah ingin memperdebatkan tentang peran domestik perempuan. Hanya saja, jika hal tersebut dijadikan alasan untuk memenjarakan perempuan, mungkin kita harus berpikir ulang atas dasar kebijaksanaan dan keadilan. Karena yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah hanya laki-laki saja yang makhluk sosial? Apakah laki-laki saja yang membutuhkan akses pendidikan (nonformal) dan informasi? Apakah hanya laki-laki saja yang berhak memiliki kesempatan untuk mengembangkan potensi diri dan beraktualisasi selama itu tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan mengenyampingkan peran lain yang telah dibebankan padanya?
Saya bukan tengah ingin mengkampanyekan asas-asas liberalisme dimana perempuan selayaknya diizinkan berperilaku bebas apalagi hingga taraf mengabaikan nilai-nilai esensial yang berlaku di masyarakat. Hanya saja, apa yang salah ketika perempuan ikut berdiskusi dengan laki-laki untuk saling bertukar informasi, pengetahuan dan pemikiran apalagi jika itu menyangkut kepentingan sosial? Bukankah di Aceh tidak sedikit perempuan yang juga aktif berperan sebagai aktivis, organisatoris, politisi, anggota LSM, ekonom, akademisi, pekerja pemerintah atau swasta, dsb? Dan apa yang salah dengan kondisi dimana perempuan ikut duduk di warung kopi sekedar mencari bahan kuliah dan mengerjakannya hingga selesai di warung kopi dengan mengunakan fasilitas wifi gratis yang cenderung memberi manfaat secara ekonomis bagi mereka? Apa yang salah dengan perempuan yang sekedar refreshing melepas penat dari aktivitas yang menyita energi, pikiran dan perasaan?
Senang tidak senang, masyarakat Aceh harus menerima kenyataan bahwa kondisi kekinian telah membawa perubahan pola pikir dan perilaku banyak kalangan, terutama mereka yang merupakan generasi baru. Masyarakat Aceh harus menerima kenyataan bahwa perkembangan teknologi dan informasi telah membawa kondisi perkembangan kesadaran akan kebutuhan para perempuan yang ternyata tidak jauh berbeda secara hakiki dengan laki-laki terhadap akses publik, hubungan sosial, pendidikan, politik, pemerintahan, dsb. Masyarakat tidak dapat lagi sepenuhnya memaksakan pemikiran dan keinginan mereka untuk mengurung anak gadisnya, istrinya, adiknya, kakaknya ibunya di rumah selama aktivitas yang dilakukan masih dalam batas yang wajar dan dapat ditoleransi.
Rasa takut semengerikan apa yang dimiliki oleh masyarakat ketika perempuan-perempuan mereka duduk di warung kopi? Memang, bisa saja mekanisme mengenai hal-hal yang dianggap dapat menimbulkan kekhawatiran oleh masyarakat diatur melalui kebijakan-kebijakan terhadap warung kopi maupun melalui pendidikan yang lebih efektif secara formal maupun nonformal? Namun sama saja, bukankah dalam konteks ini, perempuan tetap saja dimaknai sebagai pihak yang aksesnya terhadap warung kopi dibatasi—boleh duduk di warung kopi asalkan memenuhi persayaratan tertentu. Sedangkan pelaku maksiat dan hal-hal negatif bukan saja dapat dilakukan dan menimpa kaum hawa. Menyikapi hal ini, kebijaksanaan yang dimiliki manusia hendaknya dipakai untuk membentuk masyarakat yang berkualitas dengan cara-cara yang pantas dan manusiawi, memperlakukan dengan adil selayaknya sama-sama manusia untuk memperoleh hak dasar yang sama.
Terutama menyangkut warung kopi, tidak sedikit pula pihak yang menyatakan bahwa warung kopi memang merupakan tempat dengan segudang inspirasi. Warung kopi seolah memiliki magicnya tersendiri. Tidak sedikit yang menghasilkan karya, dan malah hanya dapat menghasilkan karya bila sudah duduk di warung kopi. Tidak sedikit lembaga, gerakan, kebijakan, aspirasi, dan hal-hal krusial lainnya yang lahir di warung kopi. Tidak sedikit pula yang tumbuh menjadi sosok yang cerdas, kritis, punya kapasitas sosial politik yang mumpuni melalui warung kopi. Dan ini berlaku baik bagi laki-laki dan perempuan.
Dan sedikit mengutip pernyataan pada tulisan Hafid Akbar, bahwa kedai kopi di Aceh sejatinya menjadi tempat sosialisasi yang merupakan aktualisasi dari kemanusiaan. Namun, identitas dan konstruksinya telah menyekat kemanusiaan, aktualisasi manusia dilihat berdasarkan sekat tersebut, berdasarkan gender dan jenis kelaminnya. Keduanya menutupi sisi kemanusiaan yang berada dibalik identitas tersebut, membangun sekat untuk membangun dominasi, yang terlegitimasi oleh narasi besar keagamaan dan kebudayaan. Semuanya dibentuk dalam relasi kuasa dan pengetahuan, nilai-nilai dibentuk dari serangkaian makna yang diambil dan dikembangkan dalam setting kebudayaan. Kedai kopi harusnya menjadi ruang ekspresi kemanusiaan, tanpa dilucuti oleh pagar gender dan seksualitas yang menyilaukan. Karena kedai kopi akan kehilangan essensinya ketika fungsinya sebagai ruang kontemplasi sosial dilucuti oleh wacana yang menindas. Sudah seharusnya evolusinya dibiarkan berakar dari resistensi masyarakat bukan tarikan dan kontestasi nilai-nilai.
Demikianlah kehebatan yang dimiliki oleh warung-warung kopi yang terdapat di Aceh. Sehingga jika dengan mengecap kehebatan itu saya dicap menjadi hina, sepertinya saya harus menyesal karena telah dilahirkan sebagai seorang perempuan.



Komentar
Posting Komentar