‘Ketidakberdayaan’ dalam Politik
Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 27 Agustus 2016
Mungkin sebagian besar dari kita masih sangat asing
dengan istilah yang satu ini, learned
helplessness. Karena saya sendiri mengenal dan menjadi familiar dengan
istilah tersebut setelah membaca beberapa buku psikologi. Ada hal yang menarik
bagi saya ketika mendapati teori psikologi yang satu ini, terutama karena mampu
memberikan gambaran-gambaran tersirat dan analogi atas berbagai fenomena
politik yang dialami banyak manusia saat ini. Learned helplessnes atau kita permudah saja dengan istilah
'ketidakberdayaan yang dipelajari', merupakan sebuah teori psikologi kognitif yang
menjelaskan apa yang menyebabkan seorang individu menjadi sangat pasif bahkan
putus asa terhadap berbagai situasi yang dihadapinya. Premis dasar learned helplessnes dalam psikologi adalah
kepasifan individu serta perasaan tidak mampu bertindak dan mengendalikan
hidupnya terbentuk melalui pengalaman yang tidak menyenangkan atau trauma yang
tidak berhasil dikendalikan oleh individu, menimbulkan rasa tidak berdaya.
Teori ini diperkenalkan oleh Seligman dan Maier (1967)
dari hasil eksperimen laboratorium dengan menggunakan ratusan anjing selama
kurang lebih 4 tahun. Eksperimen tersebut menunjukkan terdapat beberapa
kelompok anjing yang diberi kejutan listrik, dan diantaranya terdapat kelompok
anjing yang tidak memiliki kontrol atas dirinya (tidak dapat menghentikan
kejutan listrik). Namun setelah beberapa kejutan listrik selanjutnya, bahkan
saat mereka memiliki kesempatan untuk melompat pagar dan menghindari kejutan
listrik, anjing-anjing tersebut justru menyerah dan secara pasif menerima
stimulasi yang menyakitkan tersebut, dan malah tidak memberikan respon menghindar
seefisien dan seefektif saat mengalami kejutan listrik di awal. Berdasarkan
observasi tersebut, Seligman (1974) berpendapat bahwa hewan mengembangkan rasa
tidak berdaya ketika dihadapkan pada stimulasi menyakitkan yang tidak dapat dikendalikan.
Selanjutnya rasa tidak berdaya tersebut melemahkan kinerja mereka meski dalam
situasi yang dapat mereka kendalikan. Seperti halnya pada banyak orang yang
putus asa, hewan-hewan tersebut tampak pasif ketika menghadapi tekanan, gagal
melakukan tindakan yang memungkinkan mereka menghadapi tekanan tersebut.
Teori keputusasaan (hopelessness theory) juga menjelaskan bahwa kondisi putus asa
merupakan situasi dimana suatu ekspektasi bahwa hasil yang diinginkan tidak
akan terjadi atau yang tidak diinginkan akan terjadi dan bahwa orang yang
bersangkutan tidak dapat memberikan respon untuk dapat mengubah situasi
tersebut (Gerald C. Davis, dkk dalam Psikologi Abnormal, 385-386:2006).
Satu hal paling urgen yang terlintas di benak saya
kala itu adalah bahwa kondisi learned
helplessness tersebut sangat aplikatif untuk mendekripsikan kondisi
kesadaran dan partisipasi politik masyarakat Indonesia umumnya dan Aceh
khususnya. Saya tidak akan membeberkan bobroknya kualitas pemerintahan dan
buruknya situasi yang harus ditanggung oleh masyarakat Indonesia saat ini,
silahkan tonton saja pemberitaan-pemberitaan memilukan di media masa setiap
harinya. Namun yang selama ini sangat mengganggu pikiran saya adalah bahwa mengapa
bangsa dengan kapasitas masyarakat sedemikian besarnya seperti tidak mampu
berbuat apa-apa atas kondisi yang mereka hadapi. Setiap proses politik dan
kebijakan yang tidak melibatkan dan bahkan merugikan masyarakat, mereka hanya
mampu menghela nafas pasrah. Belum lagi celetukan, “Biarlah para politisi dan
pemerintah itu mau berbuat apa. Memangnya kita bisa berbuat apa?”. Miris.
Padahal, kebijakan-kebijakan publik yang dihasilkan
oleh proses politik merupakan salah satu juru kunci yang sangat menentukan terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Bertolt
Brecht menegaskan, “Buta terburuk adalah buta politik. Orang yang buta politik
tak sadar bahwa biaya hidup, harga makanan, harga rumah, harga obat, semuanya
bergantung pada keputusan politik. Dia membanggakan sikap anti politiknya,
membusungkan dada dan berkoar Aku benci politik!. Sungguh bodoh dia, yang tak
mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya adalah tindakan
pelacuran, anak terlantar, perampokan, dan yang terburuk yakni korupsi dan
perusahaan multinasional yang menguras kekayaan negeri”.
Saya terkadang tidak mampu menahan geram ketika
pemberitaan-pemberitaan di media mengenai sikap para oknum pemerintah dan
politisi yang dengan vulgarnya mempermainkan dan memanfaatkan rasa
ketidakberdayaan masyarakat pada taraf yang sudah tidak wajar lagi. Masyarakat
bukan hanya dibodohi dan dibohongi atas segala sesuatu yang mereka setting di balik layar lalu
merasionalisasikannya seolah itu terlihat benar dan nyata. Kondisi kekonyolan
perpolitikan kita sudah melebihi batas itu. Lihat saja ketika kasus Videotron,
Kunjungan Kerja para anggota DPRA dan berbagai kebijakan lainnya yang jika
dikritisi, jelas-jelas sangat tidak tepat guna. Jangankan menguntungkan, justru
sangat membawa kerugian terutama bagi masyarakat yang belum memperoleh hak-hak
dasar secara layak. Namun apa? Para elit politik itu tanpa bersalah mempublikasi
keinginan dan kebijakan-kebijakan tidak masuk akal itu secara terbuka kepada
seluruh masyarakat, seolah-olah dengan gurat tersirat menyatakan, “Kalaupun
dana sebanyak ini saya pakai untuk kepentingan saya atau korupsi, memangnya
kalian bisa berbuat apa?” Di saat anggota parlemen Jepang bunuh diri karena
kedapatan korupsi, anggota parlemen kita berpose sumringah di media seperti
tanpa dosa.
Namun ironisnya, masyarakat Indonesia bukannya semakin
terprovokasi untuk ikut lebih peduli dengan berbagai isu, proses dan kebijakan
politik, malah terlihat semakin pasrah. Jangankan untuk terlibat dan
diperhitungkan dalam berbagai kebijakan, kemampuan menjadi pemilih yang cerdas
saja masih jauh dari harapan. Padahal selemah-lemahnya iman, kapasitas tersebut
harus sudah dimiliki oleh setiap warga negara. Karena sudah barang tentu para
politisi tengik itu tidak akan sembarangan berani menjual produk-produk politik
murahan saat kampanye jika pemiihnya cerdas. Dan mereka tidak akan berani
semena-mena menggunakan kekuasan jika mereka sadar bahwa mereka akan menghadapi
kekuatan massa yang jauh lebih berbahaya, atau paling tidak tidak akan terpilih
lagi pada kontestasi politik berikutnya.
Dalam kondisi kekinian, di samping tingginya tingkat
apatisme dan pragmatisme masyarakat,
paham fanatisme dan primordial yang masih mengakar telah ikut
berkontribusi menghasilkan kualitas pemerintahan yang jauh lebih
memprihatinkan. Masyarakat seolah berada tingkat ketidakpahaman yang sangat
parah bahwa mereka adalah objek sekaligus subjek atas proses sosial-politik
yang menentukan nasib hidup mereka. Andai masyarakat sedikit saja lebih paham
bahwa mereka adalah korban atas berbagai proses sosial-politik yang selama ini
dimanipulasi dan dihegemoni sehingga menyebabkan masyarakat berada pada posisi
tidak sadar akan posisi ketertindasannya; andai mereka tau bahwa mereka dapat
berperan dan mempengaruhi secara signifikan berbagai proses dan kebijakan;
andai mereka memiliki tingkat kesadaran, partisipasi dan persatuan yang jauh
lebih baik dari saat ini, tidak lagi beranggapan bahwa segala situasi yang
terjadi saat ini adalah nasib, kondisi yang tidak dapat diperbaiki dan diluar
kendali, pasrah dan merasa tidak mampu berbuat apa-apa; mereka pasti tidak akan seterlena ini.
Pendidikan politik sesungguhnya bukan isu baru yang
dilontarkan dalam menanggapi permasalah ketidakberdayaan ini. Hanya saja, harus
diakui bahwa para agen sosialisasi politik terkesan belum mampu mencapai
efektifitas maksimal dalam menjalankan tugasnya memberikan perspektif terhadap
masyarakat dalam melakukan transformasi nyata. Semoga suatu saat kita mampu
mencontoh masyarakat politik yang sudah maju dimana masyarakat mampu menjadi pendobrak
untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan revolusioner yang mensejahterakan dan
melakukan pembangunan nyata di berbagai bidang. Jangan lagi menjadi
manusia-manusia yang tidak berdaya dalam politik.
Link Online Serambi Indonesia - ‘Ketidakberdayaan’ dalam Politik



Komentar
Posting Komentar