Menyoal Kepedulian Terhadap Perempuan
Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 12 Maret 2016
Bangsa kita suka sekali menggadang-gadangkan diri sebagai bangsa dan
wilayah yang paling syariat. Namun preseden terburuk dari hal ini adalah,
ketika kita gagal melakukan hal-hal yang seharusnya kita lakukan atas nam
syariat, nama ita akan tercoreng sepuluh kali lebih buruk, lebih merasa malu dibanding masyarakat atau
wilayah lain yang tidak menggadang-gadangkan jargon syariat, namun lebih mampu
menjalankan syariat secara lebih esensial.
Kali ini, izinkan saya sedikit memaparkan kondsi mengenai salah satu kelompok
masyarakat yang menurut sebagian pihak kondisi hidupnya berada pada posisi yang
cenderung terdiskriminasi, Bahkan di wilayah yang katanya paling syariat:
perempuan. ini adalah bukan tentang mempolitisasi identitas sebagai perempuan
atau posisi meminta agar peremuan mendapat perlakuan istimewa dalam masyarakat.
Karena istimewa cenderung bermakna meminta sesuatu di atas adar yang
semestinya. Ini hanya sekedar untuk menuntut agar perempuan benar-benar
dianggap selayaknya manusia dnegan mengakomodir hak-hak dasarnya sebagai
manusia.
karena, jika kita sudah sepakat mengenai hal ini, kita tidak perlu
terlalu melarutkan diri pada perdebatan mengenai, konsep siapa yang paling
benar dalam melihat perempuan. ada kalaya saya bingung melihat banyak sekali
perdebatan konsep antara kaum feminis vs konservatif-religius misalnya.
Padahal, secara esensial, kaum feminis, gender, emansipatoris hanya ingin
memperjuagkan keadilan atas hak-hak perempuan. di sisi lain, atas dasar sudut
pandang agama dan budaya yang sudah
mendarah daging, sebagian masyarakat juga sering menyatakan bahwa agama
sendiri, seperti Islam juga memuliakan perempuan.
yang harus dipahami, ini bukan hanya sekedar konsep, tapi mengenai
pemahaman akan kondisi objektif perempuan saat ini. dalam ajaran Islam sendiri,
memang benar ada terdapat banyak hal yang meyatakan tentang bagaimana Islam
memuliakan perempuan. tapi, apakah kita paham bahwa dalam tataran praktik,
negara-negara, wilayah-wilayah, kelompok-kelomok bahkan orang-orang yang
mengaku paling religius dan paling islami justru gagal memuliakan perempuan. sekali
lagi, gagal.
salah siapa? Bukan ajarannya, bukan agamanya. Setidaknya sebagai
manusia yang percaya bahwa Tuhan itu maha Adil, saya masih meyakini bahwa Tuhan
itu maha aAdil, oleh karenanya, ajarannya pun (yang terlepas dari kontaminasi
kepentingan politik, kepentingan dominasi dan pencampurbauran agama dan budaya)
tidak mungkin tidak adil. Tapi ini
adalah masalah manusianya, penafsiran-penafsiran agamanya, sistem ekonom,
sosial, politik, hukum, keamanannya.
Lihat saja, Aceh yang selama ini
menyatakan diri sebagai yang paling menegakkan nilai-nilai syariat Isam
idealnya dalama tataran praktik mampu menjadi salah satu wilayah yang mampu
menjamin hak0hak dasr perempuan. Namun Aceh berada di salah satu posisi
tertinggi atas angka diskriminasi terhadap perempuan. Undang-undang
mengamanatkan bahwa pemerintah harus mengaanggarkan sedikitnya 1 persen dari
total anggaran pemberdayaan perempuan dan anak, tapi faktanya Aceh termasuk
salah satu provinsi yang tidak mematuhi ketentuan tersebut, dalam APBA 2015
saja seharusnya ada sekitar Rp 12,7 triliun yang dianggarkan untuk pemberdayaan
perempuan, dan Rp 127 miliar untuk perlindungan anak.Tapi kenyataanya yang
dianggarkan tidak sampai 0,2 persen, bahkan tidak sampai setengah (.
Catatan Balai Syura Ureung Inong Aceh
(BSUIA) memperlihatkan peningkatan kasus kekerasan seksual dari tahun ke tahun.
Jika pada 2013 di Aceh terdapat 42 kasus kekerasan seksual maka pada 2014
meningkat menjadi 52 kasus. Aceh bahkan masuk peringkat pertama rawan pelecehan
seksual berdasarkan hasil riset media yang dilakukan oleh The Foundation Kita
dan Buah Hati
Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak (BP3A) juga menyatakan bahwa berdasarkan data tahun 2011-2013
angka kekersan terhadap perempuan dan anak masih sangat tinggi, yaitu sekitar
1.169 baik dan sepanjang 2012 angka traficking dan KDRT terus meningkat.
Kabid Kesehatan Ibu dan Anak Donas
Kesehatan Provinsi Aceh juga pernah mengungkapkan bahwa anga kematian ibu AKI
di Aceh cukup tinggi, pada 2013 lalu AKI itu mencapai 121 ornag, dan kematian
bayi mencapai 1.240 orang. Pada 2014 saja, trend angka kematian bayi karena
gizi buruk tiap tajun kian meningkat. Jumlah bayi meninggal dunia sejak januari
hingga 11 April 2014 mncapai 348 orang. Kondisi ini cenderung diakibatkan oleh
faktor ekonomi, akses terhadap pelayanan kesehatan yang belum merata, kualitas
pelayanan kesehatan yang belum memadai, serta kesadaran dan pemehaman perempuan
tentang proses persalinan yang layak dimana harusnya sosialisasi benar-benar
digalakkan secara serius untuk ini.
Belum lagi, apa kabar para janda dan
yatim korban konflik, serta inong balee yang diyakini dulu ikut berjuang?
Bukankah kita semua tau bahwa kondisi hidup mereka masih banyak yang belum
diperhatikan secara baik dan merata? Padahal pemerintah Aceh saat ini
kebanyakan diisi oleh mereka yang merasa dirinya dulu adalah para pejuang.
Dan ketika saya memaparkan tentang
tingginya angka kekerasan dan AKI terhadap perempuan, mungkin Anda isa sekalian
memvisualisasikan dalam perempuan tentang betapa banyaknya perempuan-perempuan
di Aceh yang mengalami berbagai bentuk kekerasan, baik secara fisik, mental,
ekonomi dan seksual serta bagaimana perempuan-perempuan Aceh yang berjuang
dalam kondisi hamil namun ia atau bayinya harus meninggal yang diakibatkan
kondisi yang saya sebutkan di atas. Dan kita juga harus ikut membayangkan bahwa
kondisi ini juga mungkin dialami oleh nenek, ibu, bibi, kakak, anak, kerabat
lainnya dan teman-teman kita sendiri.
Dan sekali lagi, ini bukanlah tetang
mengkotak-kotakkan manusia atau masyarakat atas dasar identitas tertentu. Namun
kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa perempuan dan laki-laki ternyata tidak
diposisikan sama dalam sosial, politik, bahkan hukum, ekonomi dan akses-akses
kesejahteraan lainnya. Karena berbagai data dan fenomena dengan sangat gamblang
memerlihatkan ini. Dalam kondisi yang lebih kompleks, selian masalah kekerasan,
AKI, dan perempuan-perempuan korban konflik, perempuan juga rentan mengalami
diskriminasi di dunia kerja yang bahkan berposisi sebagai tulang punggung
keluarga, dikomersilkan tubuhnya dan upahnya lebih rendah dari-pada laki-laki,
penerapan hukum yang masih sangat banyak merugikan kaum perempuan serta hak-hak
politik politik yang masih timpang juga kesenjangan akses perempuan terutama di
daerah-daerah pedesaan dan tertinggal. Dan posisi yang demikian juga bukannya
tidak terjadi di Aceh. hanya saja, saya merasa kesulitan mendapati data-data
terbaru dan kongkrit mengenai hal ini. dan mungin ini juga bisa menjadi masukan
penting agar LSM, pihak pemerintah dan lembaga penelitian manapun untuk mau
melakukan penelitian-penelitian dengan mengakomodir kebutuhan-kebutuhan hidup
perempuan dan kelompok sosial lainnya yang sering terpinggirkan dalam
penelitian.
Nah, ini bagaimana bapak-ibu yang
duduk di kursi legislatif dan eksekutif Aceh serta dinas-dinas terkait
menyangkut permasalahan ini? bukankah hal ini adalah tanggung jawab bapak-ibu
sekalian? Mulai dari Millenium Developmant Goals (MDGs) skala dunia bahkan
peraturan-peraturan nasional secara normatif dengan jelas mengamanahkan
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah untuk memperhatikan kondisi
hidup perempuan. Pemerintah itu punya kekuasaan, untuk membuat kebijakan,
melaksanakan kebijakan, menganggarkan dana, memiliki support system dan
aparatur pelaksana di berbagai lini dan tingkatann, yang saya sebagai
masyarakat biasa ini tidak punya. Dan menyangkut hal ini, ktida usah banyak
berdebat lagi. Kalau ada yang menyatakan bahwa Islam itu adalah agama yang
sangat memuliakan perempuan, saya sendiri setuju. Tapi, praktiknya. Sekali
lagi, pratiknya.
Selamat Hari Perempuan Internasional.
Link Online Serambi Indonesia - Menyoal Kepedulian terhadap Perempuan



Komentar
Posting Komentar