Kita dan Filsafat






Salah satu hal paling meyenangkan sebagai seorang guru adalah adalah ketika siswa yang dulu kita ajar suddenly sending a message untuk memberitahukan (baca: pamer)  bahwa IP nya yang baru keluar semester ini mendapatkan perolehan yang cukup tinggi . Saya pribadi ngga tau dia itu puas apa ngga, soalnya dia sempat mengeluh di awal semester tentang betapa beratnya beban belajar dan dia sendiri tidak yakin bisa mendapatkan hasil yang maksimal. Oleh karenya,  hal pertama yang paling ingin saya ucapakan kala itu bukanlah selamat, tapi "apa juga dulu bilang berat dan seolah ga kuat".

Ini hanyalah sebuah pembelajaran kecil bahwa manusia terkadang suka merasa kecil hingga akhirnya dia sadar bahwa yang dihadapinya bukan apa-apa.

Sang mantan siswa ini kuliah di Fakultas Filsafat di salah satu kampus terbaik di Indonesia. Walaupun bidang ilmu yang satu itu terkadang masi disepelekan dan akan sulit jika menyandarkannya pada derajat sosial, tapi setidaknya dia tau bahwa filsafat itu ialah induk dari semua ilmu pengetahuan.

Saya jadi ingat tentang suatu ketika kami mendiskusikan tentang filsafat. Saya berbagi informasi (sekaligus curhat) tentang kondisi masyarakat di wilayah kami yang masih berpandangan sempit terhadap filsafat. Berawal dari cerita seorang teman yang memberitahu saya bahwa ternyata filsafat bukan hanya tidak dipelajari dengan tepat, bahkan dianggap sebagai ilmu ‘sesat’. Awalnya saya tidak yakin sampai suatu ketika saya memposting DP BBM berupa foto buku filsafat Karl Marx, dan tiba-tiba saja terdapat seorang teman baru (so, sebenernya kita ngga akrab-akrab bener) yang dengan super reaksioner menjudge dengan kasar dan sembarangan bahwa aku telah mempelajari sesuatu yang sesat dan menentang ajaran Tuhan. Karena salah satu anggapannya, filsafat dapat merusak keyakinan kita pada Tuhan dan agama, dan kacaunya pemahaman itu juga ia peroleh dari dosen-dosennya di kampus. What the..? (pasang poker face)

Siswa saya sempat merespon pemaparan saya dengan beberapa gurauan seperti, “Ibnu Rusyd dan Ibnu Sina saja belajar filsafat demi menyelaraskan agama dan sains. Masa iya sih tokoh Islam terkemuka kita juga sesat? Hehe. Kami juga mempelajari Teodisik kok (teologi dimana kami bisa membuktikan eksistensi Tuhan). Lha kalo masalah sesat atau ngga ya kembali ke orangnya kali, haha.”

Tapi respon paling maknyus yang juga samapi nancep ke bagian otak saya yang paling dalam adalah ketika ia menyatakan, “kalau memang merasa agamamu bisa bener-bener diimani, agamamu agama yang bener, kenapa harus takut ketika dianalisis ketika dibicarakan? Ketika ditantang untuk membuktikan eksistensinya?”

“Karena kita sebagai manusia bisa menjadi rasional dan intuitif. Memang untuk mengimani Zat Tuhan condongnya secara intuitif. Apa lagi agama-agama samawi. Tapi bukan berari kita tidak bisa membicarakannya, kan? Cara kita memandang Tuhan itu terserah. Kalau pun tidak mau ikut-ikutan merasionalisasikanTuhan, ya udah nggak apa-apa, fokus saja sama ibadahmu. Ngga usah diambil pusing, ya kan. Dan saya yakin pernyataan-pernyataan seperti keluar dari golongan ekstrimis yang seoah-olah ahli  bener-bener ahli dalam agama. Sedangkan saya yakin, yang bener-benar baik ilmu agamanya tidak akan sembarangan begitu.

Masalahnya, entah bagaimana pola pikir sebagian masyarakat kiat bahwa ketika kita menggunakan akal super maksimal kok seolah-olah kita mempertanyakan eksistensi Tuhan. Sedangkan Tuhan saja mengatakan dalam firman-Nya bahwa tanda-tanda kekuasan-Nya tersebar di seluruh alam semesta dan hanya dapat dipahami oleh orang-orang yang berpikir. Dan masalahnya juga, bidang-bidang kehidupan ekonomi, sosial, politik, hukum, dan lain sebagainya tidak selamanya dapat dipahami dengan cara pandang yang sifatnya metafisik semata. Dan rancunya lagi, agama dan  ibadah kok cuma dipahami dalam ranah sempit saja. Mereka ahli ibadah, tapi buta akan perosoalan ekosospolhuk, kalau mereka tidak bisa makan sehari-hari dan mati, apa bisa ibadah? Gimana cobaaa..

Sampai hari ini saya bahkan masih mendiskusikan dengan beberap teman tentang: bagaimana cara untuk menangkap suatu kenyataan objektif. Karena beberapa pandangan filsafat sendiri ada yang dianggap gagal dalam memahami realitas. Hal ini hanya dapat dipahami pun dengan terlebih dahulu mempelajari aliran-aliran atau padangan-pandangan filsafat yang bersangkutan, paling tidak pemahaman secara mendasar, bukan main asal judge yah. Dan untuk menumbuhkembangkan pemikiran-pemikiran yang lebih rasional pun tetap saja dilakuka melalui penalaran, dengan berfilsafat. Akan sulit untuk terus meng-upgrade pengetahuan dan pemikiran jika tidak terbuka terhadap kritik dan tidak jujur.

Jangan sampai seperti sebagian dari kita yang langsung main asal banning, langsung labeliing tanpa mengetahui secara objektif salah dan benarnya terlebih dahulu. Kita pada benci bener kalau udah denger kata komunis dan liberal, tapi begitu ditanyain komunis dan liberal apa ngga tau.

Intinya: ayo belajar filsafat.

Komentar

Postingan Populer