Seni Apolitis
Salah satu diskusi paling menyenangkan yang pernah ada
adalah diskusi penting dengan Putra Hidayatullah, seorang penulis, anggota
komunitas kebudayaan Tikar Pandan dan salah satu Kurator Jakarta Biennale 2015. Dan yang sering menjadi sorotan antara aku dan dia adalah mengenai
permasalahan seni dan kehidupan sosial. “Pencapaian tertinggi dari kesenian
adalah kemanusiaan”, katanya. I love thats quote. Juga kutipan lain yang kuperoleh dari sebuah artikel:
“karya sastra ditulis, dibaca, diapresiasi untuk menjaga hati nurani dan akal
sehat manusia”.
Bahwa selama ini, seni dan sastra melulu adalah bicara tentang keindahan dan hiburan. Ya, Paska 1965, tepatnya semenjak Orde Baru berkuasa, segala lini kehidupan masyarakat memang diasingkan dari urusan politik, termasuk seni. Dan ternyata banyak seniman yang dibunuh dan diculik karena lidahnya tajam-tajam, kata Putra.
Bahwa selama ini, seni dan sastra melulu adalah bicara tentang keindahan dan hiburan. Ya, Paska 1965, tepatnya semenjak Orde Baru berkuasa, segala lini kehidupan masyarakat memang diasingkan dari urusan politik, termasuk seni. Dan ternyata banyak seniman yang dibunuh dan diculik karena lidahnya tajam-tajam, kata Putra.
Padahal karya sastra dan seni itu harusnya tidak apolitis. Mereka harus mampu menyampaikan nilai-nilai kemanusiaan, mengangkat realitas sosial, bahkan melawan dan menentang rezim tirani melalui karya.
Suatu ketika aku pernah mendiskusikan hal ini dengan W, tentang seni dan persoalan sosial. Aku bernggapan bahwa seniman kekinian seolah ingin bersikap netral terhadap aspek ekonomi, sosial, politik, hukum (ekosospolhuk) dan sebagainya. Lantas W pun menimpali bahwa pada dasarnya seni, sastra dan budaya memang tidak pernah bersikap netral, tidak pernah terlepas dari ekosospolhuk, namun ekosospolhuk yang mana dulu? Selama ini seni, sastra dan budaya kan lebih menjadi representasi dan alat hegemoni elitis, kapitalis dan liberalis. Bahkan jargon ‘seni dan budaya harus netral’ adalah bagian dari hegemoni para pihak berkepentingan agar jangan sampai seni menjadi alat bagi mereka yang pro terhadap rakyat bersuara. Aku lantas mempertanyakan netralitas seni, karena apatisme sendiri adalah representasi dari kondisi ekosospolhuk dan bagian dari sikap politik, bukan?
Aku kembali berdiskusi beberapa hari lalu dengan Putra mengenai hal serupa. Ia menyatakan
kekecewaannya tentang cara pandang yang masih absurd pada sebagian masyarakat
kita. Ketika ia diwawancarai oleh sebuah media besar ibu kota mengenai minimnya
keberanian intelektual para anak muda aceh mengenai isu-isu kemanusiaan dan sejarah,
orang-orang merespon kehadirannya di
berbagai media hanya dalam bentuk kekaguman dalam konteks bahwa ia kini sudah
populer, hebat, bukan pada substansi isi mengenai apa yang ia sampaikan.
Sehingga, seruan-seruannya mengenai keberanian intelektual tiba-tiba seolah jadi
tidak ada arti.
Begitu juga dengan teman-teman dari Aceh yang ikut memamerkan karyanya di Jakarta Biennale. Yang saya lihat dan saya anggap hebat adalah mengenai isi dan kualitas dari karya mereka baik itu mural, lukisan dan hikayat yg tidak asosial, tidak apolitis dan tidak ahistoris. Bahwa dalam karya mereka, seperti mural Idrus Bin Harun seperti yang tertera di atas, dengan ukiran sebesar-besarnya 'Bhoneka Tinggal Luka' mengajak masyarakat untuk tidak lupa (Menolak Jawai) mengenai konflik dan tragedi yg dulu pernah terjadi di Aceh, dan agar ingatan itu harusnya juga dapat selalu menjadi landasan tentang bagaimana membangun sistem ekosospolhukkam yang ideal di Aceh saat ini.
![]() |
| Lukisan mengenai air oleh Iswadi Basri untuk Jakarta Biennale 2015 |
Juga mengenai lukisan-lukisan Iswadi Basri yang dengan
sangat kritis mencoba berbicara tentang komersialisasi air (Seperti di lukisan
'Menjamu Tamu' dan "Konferensi Air" yang mempertanyakan air tanah itu
milik siapa. Juga lukisan "Robot Kapitalis" dimana lukisan itu
merupakan metafora bagi orang-orang yang mengisap hasil alam, termasuk air".
Namun, melihat beberapa kali respon di sosial media, yang diulas berkali-kali tak lebih dari sekedar "Wah, hebat. Orang Aceh sudah sampai ke Jakarta, karya orang Aceh sudah terkenal" tidak lebih dari itu. Sedangkan substansi isi dan pesan penting dari karya-karya tersebut yg harusnya menyentuh nalar dan daya kritis mengenai permasalahan-permasalahn sosial politik seolah tak sampai.
Namun, melihat beberapa kali respon di sosial media, yang diulas berkali-kali tak lebih dari sekedar "Wah, hebat. Orang Aceh sudah sampai ke Jakarta, karya orang Aceh sudah terkenal" tidak lebih dari itu. Sedangkan substansi isi dan pesan penting dari karya-karya tersebut yg harusnya menyentuh nalar dan daya kritis mengenai permasalahan-permasalahn sosial politik seolah tak sampai.
Sangat disayangkan.
Note: Tulisan ini tidak bersifat men-generalisasikan. Saya
yakin, yg cerdas dan kritis masih ada..




Komentar
Posting Komentar