Melawan Legalitas Korupsi di Indonesia






Dimuat di Aceh Journal National Network (AJNN) pada tanggal 9 Desember 2015 (Memperingati Hari Anti Korupsi)

Anda tidak perlu mengangkat senjata atau menyabung nyawa seperti para pejuang kemerdekaan kita dulu; cukup JANGAN KORUPSI saja, itu sudah menolong negara kita” ~Basuki Cahaya Purnama (Ahok)

Terlepas dari berbagai kontroversi sang pemimpin ibu kota yang satu ini, apa yang beliau nyatakan seperti yang tertera di atas merupakan suatu seruan gamblang sekaligus pecut yang amat menyakitkan, harusnya, bagi siapa saja pihak yag merasa punya kekuasaan dan kedudukan serta memiliki potensi untuk melakukan penyelewengan kekuasaan. Menjadi seorang ‘super hero’ di sebuah pemerintahan pun sudah tereduksi, dari orang yang harusnya melakukan real action demi menumpas segala bentuk masalah di berbagai bidang, menjadi sekedar tidak korupsi. Namun pernyataan di atas bukannya tanpa sebab pastinya. Indonesia dengan posisi sebagai salah satu negara terkorup di dunia sudah menunjukkan dengan sangat terang-terangan bahwa korupsi merupakan momok yang sangat mengerikan yang pernah ada di negeri ini. Indonesia sebagai negara yang di juluki surganya dunia dengan kekayaan alam paling melimpah di dunia, pada akhirnya tetap saja menunjukkan diri sebagai negara berkembang dengan segudang persoalan yang nyatanya disebabkan oleh perilaku korup di berbagai lini.  Sudah banyak pihak yang berteriak dengan sangat lantang tentang penegakan hukum yang kurang ‘menggigit’ sehingga perilaku korup di Indonesia pun seolah diamini. Namun jika pun ada yang harus diperbaiki, apakah yang sebenarnya harus diperbaiki, dirombak dan ditata ulang?

Hukum sebagai alat yang digunakan negara untuk menertibkan siapapun warga negaranya yang melakukan penyimpangan dan penyelewengan—terutama ketika tindakannya membahayakan kemaslahatan masyarakat—ternyata memiliki berbagai komponen yang memiliki peran dan fungsi, saling terkait dan bergantung menjadi suatu kesatuan membentuk sebuah sistem. Oleh karenanya, dalam suatu sistem hukum setiap komponen diharuskan menjalankan peran dan fungsi secara efektif, karena kegagalan pada satu komponen dapat berdampak pada kegagalan sistem. Terdapat tiga komponen kunci dalam sistem hukum, yakni: (1) produk hukum (2) lembaga hukum (3) budaya hukum. Ketiga hal tersebut dapat pula kita aplikasikan untuk menganalisa dan mencari solusi menyangkut permasalahan korupsi di Indonesia yang hingga kini tidak kunjung reda. Karena jika ingin menggeledah permasalahan korupsi yang disinyalir ikut menjadi imbas dari buruknya penegakan hukum, maka kini kita dapat menganalisa untuk membenahi bagian yang kira-kira kita anggap masih dalam polemik. 

Komponen yang pertama yakni produk hukum. Sekilas, banyak pihak yang sepertinya luput dari perhatian terhadap komponen yang satu ini. Indonesia memang merupakan salah satu negara yang memiliki  sangat banyak perangkat hukum tertulis dan terkodifikasi. Ini merupakan salah satu hal yang perlu kita banggakan. Dengan dibuatnya berbagai hukum tertulis, paling tidak, ada instrumen yang melegitimasi tindakan-tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran. Namun ternyata, produk hukum juga dapat menjadi alat legitimasi kejahatan dan pelanggaran ketika di dalam muatannya justru terdapat hal yang menghalalkan kejahatan.

Buktinya, tidak sedikit Undang-Undang yang ternyata menjadi alat legal bagi koruptor yang ada di Indonesia dan hal ini belum tentu diketahui secara massif oleh publik. Sebut saja Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H) yang dinilai cenderung menyelamatkan para pelaku korupsi khususnya yang terkait dengan sektor kehutanan (Republika Online); UU No. 13 tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji yang ternyata selama ini menjadi celah korupsi departemen agama RI (gresnews.com); UU No. 17 tahun 2014 pengganti UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau UU MD3 yang dinilai menghadang langkah KPK untuk memberantas korupsi yang melibatkan anggota wakil rakyat di parlemen; RUU KUHP dan KUHAP bahkan UU KPK yang dianggap mengebiri kewenangan para penegak hukum termasuk KPK. Demikian juga dengan UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas dan seperti dinyatakan oleh Pakar Hukum Tata Negara Margarito bahwa lemahnya UU Migas tersebut karena di dalamnya banyak pasal dan ayat yang menggunakan kata-kata yang kurang jelas, bahkan tersamarkan dan yang lebih parah lagi bahasa yang dipakai dalam UU ini tidak spesifik dan terlalu banyak penggunaan istilah-istilah teknis yang sulit dimengerti banyak orang. Lalu, di dalam UU Migas terlalu banyak ketentuan yang mendelegasikan Kementerian untuk membuat Peraturan Menteri dan Edaran Dirjen. Sehingga, UU Migas ini memunculkan celah yang bisa dimanfaatkan oknum untuk mengeruk keuntungan pribadi maupun golongan.

UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian bahkan mengizinkan diangkatnya kembali pelaku korupsi sebagai pejabat dan mantan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin menilai pasal tersebut menjadi celah bagi advokat membela kepentingan klien yang melakukan tindak pidana korupsi untuk tetap bisa diangkat sebagai pejabat struktural. RUU pemilihan kepala daerah (pilkada), RUU administrasi pemerintahan (adpem), dan RUU pemerintahan daerah (pemda) yang didalamnya terdapat banyak poin yang memperkuat posisi pejabat birokrasi dalam undang-undang baru itu. Birokrat diberi kebebasan lebih besar dalam berinovasi. Mereka juga diberi perlindungan lebih kuat bila tersangkut perkara hukum. Dalam inovasi yang gagal, misalnya, inovator di pemda tak bisa dipidana, dilindungi pasal 269 RUU Pemda (Jati Diri Jawa Pos). Serta berbagai undang-undang lainnya yang belum tersaring. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa bahkan produk hukum kita masih cacat untuk memastikan korupsi dapat dibumihanguskan dari Indonesia.

Dalam hal ini jelas, perombakan terhadap berbagai atau bahkan seluruh produk hukum yang secara langsung ataupun tidak telah melegalkan perilaku korup menjadi sebuah tindakan urgent. Dari sejak awal, seluruh komponen masyarakat dan pemerintah harus aware terhadap segala produk hukum yang akan dibuat, adanya check and recheck sebelum produk-produk hukum tersebut diketok palu. Demikian juga dengan produk hukum yang sudah sah. Undang-undang yang ada dapat diuji materi ke Mahkamah Konstitusi, sedangkan peraturan di bawah perundang-undangan dapat di-judicial review oleh Mahkamah Agung. Tanpa hal ini, mustahil bicara tentang pemberantasan korupsi. Jangankan dapat menerapkan tindakan hukum bagi para koruptor, produk hukum justru melegakan dan membuat celah bagi perilaku korup di Indonesia. Di samping itu, perlu adanya penegasan hukum terhadap para pelaku koruptor. Jika China berani menerapkan hukuman mati, Arab Saudi bahkan menerapkan hukuman potong tangan bagi para pencuri, sangat disayangkan jika di Indonesia para koruptor hanya dihukum beberapa tahun saja, bahkan mendapat revisi. Dalam hal ini, fungsi hukum sebagai pemberi efek jera patut dipertanyakan.

Selanjutnya, adalah tentang lembaga penegak hukum. Jika produk hukum adalah landasan dalam upaya pemberantasan korupsi, maka aparat penegak hukum di segala lini dan tingkatan adalah aktor dan pelaksana sekaligus sebagai instrumen penegak hukum. Ya, di Indonesia situasinya cukup rumit. Karena seperti yang diketahui bahwa budaya korup, nepotisme, suap, dan perilaku korup lainnya justru menjadi perilaku yang juga diadopsi oleh para penegak hukum. Mulai dari pihak kepolisian, jaksa, hakim, dsb. Kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum pun seolah luntur tanpa bekas. Kabar buruknya adalah, perilaku main hakim sendiri dan legitimasi terhadap perilaku korup di masyarakat pun semakin menjadi-jadi. Pernyataan seperti, “Para pejabat dan penegak hukum saja korup, mengapa kita tidak boleh?” telah menjadi doktrin baru bagi masyarakat. Namun, apakah permasalahan ini tanpa solusi sama sekali? Hal utama yang paling dibutuhan di negeri ini adalah para pemimpin yang tegas, yang mampu menjadi pendobrak dan pelopor dalam penerapan sistem hukum yang ideal. Terutama presiden selaku kepala negara sekaligus kepala pemerintahan serta pimpinan parlemen, petinggi-petinggi di lembaga yudikatif dan lembaga-lembaga tinggi lainnya yang dalam hal ini harus mampu menjadi pihak yang berdiri paling depan, paling tegas, paling mengayomi seluruh jajaran di bawah tanggung jawabnya demi dapat memastikan lembaga beserta segala perangkatnya bersih dari penyelewangan jabatan. Siapa yang akan gentar sembarangan melakukan korupsi ketika pemimpin semisal Zhu Rongji (Perdana Menteri RRC) yang dengan garangnya menyatakan “Berikan saya 100 peti mati, 99 akan saya kirim untuk para koruptor dan 1 untuk saya sendiri jika saya pun melakukan hal yang sama.”

Padahal, terdapat berbagai lembaga yang harusnya dapat berfungsi efektif dalam menjalankan pengawasan dan meminimalisir terjadinya korupsi. Selain lembaga-lembaga penegak hukum yang utama seperti POLRI, Kejaksaan dan badan-badan peradilan, kita bahkan memiliki KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), BPK (Badan Pemeriksa Keuangan), dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan). Para hakim sendiri harusnya tidak dapat berlaku bebas dalam berbagai kasus mafia peradilan karena terdapat Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berperan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Ketika para koruptor masih dapat menari bebas di panggungnya, lantas kemana sajakah lembaga-lembaga pengawas ini? Oleh karenanya, penguatan akan kinerja lembaga pengawasan sangat perlu dilakukan. Mustahil para koruptor dapat duduk dengan santainya jika lembaga-lembaga ini dapat bekerja sama, tegas, efektif dan efisien. Di samping itu, masyarakat dan elemen-elemen sipil juga perlu melakukan kontrol ketat terhadap seluruh kinerja pemerintah. Kita memang telah memiliki ICW (Indonesia Corruption Watch) dan organisasi-organisasi sipil sejenis lainnya, namun berharap pada mereka saja tentu tidak cukup. Masyarakat merupakan kekuatan besar yang jika kritis dan bersatu dalam melakukan pengawasan tentu membuat para koruptor akan berpikir ulang dalam bertindak, karena mereka akan dihadapkan pada people power yang kapan saja dapat menerkam mereka jika kemaslahatan hidup mereka diganggu oleh perilaku korup.

Budaya hukum merupakan suatu hal yang harus menjadi titik fokus dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Masyarakat cenderung suka menyalahkan pemerintah, sedangkan kita adalah bangsa dengan masyarakat dimana korupsi sudah menjadi budaya. Jika pun pemerintah dan para pejabat sudah berada pada posisi yang bersih, bebas dari korupsi hanya akan menjadi ilusi karena masyarakat setiap harinya mencetak calon koruptor-koruptor baru di Indonesia. Di rumah,  sesama anggota keluarga bahkan sudah biasa berbohong dan menyelewengkan uang yang dipercayakan padanya, belum lagi karyawan, pegawai administrasi, pengusaha, dan pemangku berbagai profesi lainnya. Hukuman mati pun menjadi tidak ada gunanya karena ternyata hal tersebut tidak mampu memangkas permasalahan korupsi hingga ke akar-akarnya. Pengikisan budaya korupsi harus dimulai sejak dini, di rumah, di sekolah dan di lingkungan masyarakat tempat kita tinggal. Dan hal ini hanya dapat dilakukan jika baik pemerintah, gerakan sipil bersama dengan masyarakat memasifkan pendidikan dan sosialisasi sebagai bentuk upaya merubah pola pikir dan perilaku korup yang sudah membudaya di kalangan masyarakat Indonesia.


Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer