Generasi Apolitis





*Dimuat di Harian Aceh, 28 Oktober 2015

Suatu ketika Plato pernah mengingatkan, “Salah satu konsekuensi akhir akibat menolak berpartisipasi dalam politik adalah, kalian pada akhirnya dikuasai oleh orang-orang yang bodoh.” Dengan ini, bahwa masih rendahnya tingkat kesadaran dan partisipasi warga negara di bidang politik dituding merupakan salah satu penyebab sebagaian besar negara di dunia belum mampu mencapai demokrasi dan pemerintahan yang ideal. Padahal, sistem demokrasi sesungguhnya mengajukan tuntutan yang besar kepada seluruh elemen masyarakat untuk aktif berpartisipasi dalam politik, karena politik merupakan aktivitas negara yang menyangkut hajat hidup seluruh warga negara, sesederhana apapun aktivitas politik tersebut. Tanpa partispasi warga negara dan menyerahkan aktivitas politik seluruhnya kepada pihak elit, politik hanya akan menjadi alat bagi elit politik dan pemerintah untuk melakukan manipulasi dan penyelewengan kekuasaan demi kepentingan pribadi seperti yang saat ini terjadi di Indonesia.


Namun, hal yang lebih ironis menyangkut hal tersebut yakni tingkat apatis dan buta politik yang tinggi di kalangan pemuda. Sebagian pemuda mungkin beranggapan bahwa politik adalah hal kotor dan mereka tidak ingin terjerumus ke dalamnya. Padahal, berbagai negara di dunia bahkan Indonesia sendiri menunjukkan bahwa perjalanan perjuangan untuk memerdekakan dan melalakukan perubahan-perubahan fundamental terhadap situasi bangsa justru dipelopori dan dilakukan oleh para pemuda yang aktif dalam bidang politik, bahkan oleh mereka yang masih tergolong remaja. Kontribusi pemuda dalam hal ini tidak main-main.  

Sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia dengan sangat tajam menyoroti kepeloporan pemuda-pemuda Indonesia yang berkat memperoleh pendidikan, memiliki kesadaran politik untuk lepas dari belenggu penjajahan. Mereka aktif menyumbangkan ide-ide, membangkitkan kesadaran massa, serta berorganisasi demi memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Pemuda Indonesia hingga mampu menyatukan kekuatan untuk merdeka melalui Sumpah Pemuda. Bahkan di saat kaum tua ingin menunggu hadiah kemerdekaan oleh pihak penjajah, pemuda Indonesia tak segan-segan mengasingkan Soekarno-Hatta agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Mereka berhasil. Pemuda Indonesia tak berhenti mengawal jalannya kehidupan Negara hingga saat terjadinya ketidakstabilan politik di akhir pemerintahan Orde Lama dengan melakukan berbagai pergerakan politik seperti gerakan Tritura yang terkenal pada masa itu, dan di level yang paling dikenang oleh sejarah yakni peristiwa kejatuhan Orde Baru dimana pemuda dan mahasiswa mempelopori pergerakan massa demi menuntut reformasi yang hasilnya dirasakan hingga kini. Hal ini yang seolah sering luput dalam benak generasi muda Indonesia saat ini. 

Setabu apa sebenarnya aktivitas politik bagi generasi muda saat ini sehingga terkesan alergi bersentuhan dengan dunia politik? Benar bahwa aktivitas dan partisipasi politik para pemuda Indonesia bukannya tanpa hambatan. Setidaknya sejak masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto berupaya dengan berbagai cara untuk menghambat kesadaran dan aktivitas politik pemuda, baik indoktrinisasi melalui sistem pendidikan, pemberlakukan kebijakan NKK (Normalisasi Kehidupan Kampus), hingga melakukan ‘pemberantasan’ terhadap para pemuda yang dianggap terlalu kritis terhadap pemerintah. Pemerintah Orde Baru berhasil membuat pemuda dan masyarakat luas menjadi massa mengambang, menjauhkan politik dari kehidupan massa demi mempertahankan kekuasaaan. 

Anehnya, pihak-pihak yang masih beranggapan bahwa para pemuda tak layak atau tak perlu berurusan dengan politik seolah lupa bahwa sosok dan tokoh-tokoh politik yang diangung-agungkan oleh sejarah hingga kini, sesungguhnya mampu mencapai prestasi politik dan hasil perjuangan maksimal dikarenakan aktivitas aktif di bidang politik yang mereka pupuk sejak muda. Semua masyarakat Indonesia mengapresiasi hingga kini sosok Soekarno dan Hatta sebagai sosok yang layak diteladani menyangkut kapasitas dan perjuangan politiknya, mereka telah berkiprah dan mampu menunjukkan kekritisan serta kapasitas politik mereka sejak mereka masih sangat muda. Mereka yang sungguh-sungguh ingin terjun ke dunia politik setidaknya harus mampu mempersiapkan kapasitas dan kualitas sejak dini, daripada sekedar menjadi kader instan tanpa kapasitas dan integritas yang jelas atau sekedar mengandalkan popularitas, status, kekayaan dan simbol-simbol tertentu lainnya.  

Namun, pada dasarnya bersentuhan dengan politik yang sesungguhnya diharapkan pada generasi muda tidak sesempit untuk sekedar menjadi politisi atau terjun ke politik praktis semata. Ada banyak kontribusi dalam bidang politik yang justru memegang peranan lebih urgen dan krusial. Menjadi agen perubahan, kontrol sosial politik dan kekuatan moral adalah peran penting yang seharusnya mampu diemban oleh sebagian besar generasi muda Indonesia, melalui berbagai bentuk partisipasi politik, tidak hanya sekedar melalui demonstrasi, tapi juga melalui keikutsertaan dan melakukan upaya penyadaran massa, berorganisasi dan menjadi bagian dari civil society yang menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah, mengkampanyekan isu-isu kerakyatan melalui berbagi sarana dan media, dan selemah-lemahnya iman mampu menjadi pemilih yang cerdas pada setiap kontestasi politik. 

Namun bukan berarti peran pemuda dalam politik praktis tidaklah perlu. Tidakkah kita semua saat ini merasa resah dikarenakan aktivitas dalam sistem politik Indonesia mulai dari tingkat paling bawah hingga yang paling puncak diduduki oleh orang-orang yang sama sejak dahulu? Bagimana mungkin perubahan dalam politik dapat terlaksana dalam situasi yang demikian? Struktur dan pimpinan partai, birokrasi, eksekutif, legislatif dan yudikatif dari tingkat daerah hingga pusat, sampai pada calon presiden mendatang pun masih didominasi oleh wajah-wajah yang sama. Alasan bahwa Indonesia saat ini sedang mengalami krisis regenerasi politik pun sering mewacana. Lantas, siapa yang salah? Apakah generasi muda yang apatis ataukah para orang dewasa yang tidak mempercayakan urusan politik pada kaum muda? 

Persoalan minimnya kapasitas bisa jadi merupakan salah satu persoalan terbesar. Jika memang para orang dewasa tidak mempercayakan urusan politik kepada kaum muda, maka selayaknya semua pihak berkontribusi untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas meraka di bidang politik. Pendidikan politik sesungguhnya bukan isu baru yang dilontarkan dalam menanggapi persoalan ini. Hanya saja, para agen sosialisasi politik terkesan belum mampu mencapai efektifitas maksimal dalam menjalankan tugasnnya. Pendidikan politik idealnya sudah menjadi konsumsi setiap orang di kehidupan sehari-hari dalam keluarga. Jika pun para orang tua belum mampu menjadi pihak yang memberikan pencerahan politik kepada para anaknya, setidaknya mereka mampu sekedar mengarahkan anak-anak untuk memperoleh perkembangan mengenai situasi politik dan pemerintahan melalui berbagai media massa yang sering terdapat di rumah. Di sekolah maupun perguruan tinggi, pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan yang pasca reformasi memiliki muatan kompleks bidang ilmu politik, hukum, pemerintahan bahkan hubungan internasional dapat menjadi sarana yang sangat ampuh dalam memberikan kesadaran kritis bagi remaja dan pemuda. Dan sebagai tindak lanjut, hendaknya para pemuda juga diberi kesempatan seluas mungkin untuk aktif berpartisipasi dalam berbagai organisasi yang dapat menjadi wadah bagi mereka untuk memperoleh informasi, mengasah kekritisan, mengaktualisasikan diri, dan memperoleh keterampilan-ketrampilan tertentu di bidang politik seperti kepemimpinan, manajerial, bersosialisasi, komunikasi, dsb. 

Semoga apatisme terhadap politik dan ketidakpercayaan terhadap Generasi Muda Indonesia di bidang politik dapat menemui jalan terang. Seperti yang pernah dinyatakan oleh Soe Hok Gie, “Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat di mana kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah.”

 Link Online Harian Aceh - Generasi Apolitis

 

Komentar

Postingan Populer