Balada Kejahatan Kemanusiaan


 





Dimuat di Harian Serambi Indonesia, 7 November 2015

Ketika pertama kali membaca berita media online mengenai seorang siswi kelas 5 SD di Aceh Barat yang waktu hari lalu melahirkan seorang bayi akibat diperkosa oleh tetangganya sendiri, saya bahkan tidak dapat membayangkan bagaimana rasanya seorang anak sebelia itu harus merasakan sakitnya melahirkan dan menjadi seorang ibu. Juga mengenai kasus-kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual lainnya terhadap anak yang terjadi dalam beberapa minggu belakangan ini, seperti kasus pemerkosaan anak di Pidie, Siswi kelas 4 SD yang dicabuli oleh 4 pria di Aceh Besar, hingga kasus murid kelas 3 SD yang diperkosa oleh Pakcik dan seorang santriwati yang diperkosa oleh seorang teungku yang memimpin balai pengajian di Pidie Jaya. Saya seolah disuguhkan narasi fiktif, berusaha menyanggahnya menjadi sebuah imaji. Namun sayangnya hal demikian adalah nyata, bahkan tidak jauh-jauh, di Aceh. Saya tidak mengetahui dengan pasti apakah berita-berita tersebut telah tersebar luas dan massif di masyarakat kita. Ya, masyarakat kita perlu mengetahui dengan mata terbuka, dengan seterang-terangnya bahwa Aceh sebagai wilayah yang digadang-gadang sebagai masyarakat madani dan bersyariat justru tengah dilanda bencana moral. Masyarakat yang katanya bangsa teulebeh ban saboh donya ternyata adalah masyarakat dengan budaya kekerasan, pelecehan dan kejahatan kemanusiaan terburuk yang pernah ada. Ya, kita. 

Saya bukan hanya tengah ingin menjustifikasi manusia-manusia pelaku utama kejahatannya saja, tapi juga seluruh komponen masyarakat dan pemerintah yang telah yang berkontribusi melahirkan manusi-manusia dengan tingkat moral yang demikian, membantu melembagakan melalui sistem sosial, sistem pendidikan, sistem politik dan sistem hukum serta melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus yang demikian.

Menjadi manusia Aceh ternyata bisa menjadi nasib paling malang. Mengapa, di negri indatu ini, isu-isu kemanusiaan bisa kalah pamor dengan isu-isu politik, kekuasaan dan agama. Isu pergeseran elit, reunian eks kombatan dan aktivitis, aliran agama baru akan jauh lebih meledak dan mendapat respon fantastis dibanding dengan isu-isu kemiskinan, apalagi pelecehan seksual. Bayangkan saja, Aceh bahkan masuk peringkat pertama rawan pelecehan seksual berdasarkan hasil riset media  yang dilakukan oleh The Foundation Kita dan Buah Hati (merdeka.com). 

Pelecehan dan kekerasan seksual jelas-jelas merupakan tindakan yang menujukkan betapa rendahnya penghargaan kita terhadap kemanusiaan. Pelecehan seksual merupakan tindakan tidak beradab yang bukan hanya memberikan derita fisik dan psikis, namun juga sosial bahkan dapat berdampak pada bunuh diri. Dan kita masih berani menyatakan diri sebagai bangsa teuleubeh, masyarakat paling bersyariat. Mana syraiat yang digadang-gadang saban hari itu? Kemana para penguasa, para pemimpin serta pemuka agama yang harusnya bukan hanya bertanggung jawab untuk merespon cepat, namun juga harus mencegah terjadinya hal demikian? Apakah nilai-nilai kemanusiaan di Aceh sedemikian tidak punya harga lagi? 

Sebagian pihak yang sudah tuntas taraf berpikirnya mungkin sudah dengan jelas dapat menilai bahwa konstruksi sosial masyarakat kita saat ini memang kacau. Kita hidup di tengah masyarakat yang masih menganut dengan teguh primordialisme, dominasi dan otoritas absolut kelompok sosial yang satu terhadap yang lain, baik laki-laki terhadap perempuan, yang tua terhadap yang muda dan anak-anak, penguasa terhadap rakyat, mayoritas terhadap minoritas, yang kuat terhadap yang lemah. Oleh karenanya, pada dasarnya menjadi sulit bicara tentang keadilan jika posisi sebagai manusia saja sudah timpang. Penindasan, kejahatan dan adab buruk lainnya seolah legal. Cara berpikir kita yang pada dasarnya cacat, sehingga perilaku sebagai perwujudan nyata alam pikiran pun ikut berantakan. Kita tidak akan pernah terima dinyatakan bersalah karena memang alam pikiran kita tidak pernah menyatakan hal tersebut salah, ditambah lagi dengan pengabsahan perilaku tersebut oleh masyarakat dan sistem pendidikan. 

Dalam masyarakat yang sudah maju peradaban dan penerapan hukumnya, anggota masyarakat yang melakukan pelecehan akan dikenakan sanksi sosial dan efek jera yang tidak main-main. Di Peru saja, bersiul ke perempuan bisa dipenjara hingga 12 tahun, bahkan para pejabat kepolisian mengatakan bahwa petugas sudah dilatih bagaimana caranya menindak berbagai laporan tindakan pelecehan seksual di tempat umum, di samping undang-undang yang baru tersebut memiliki aturan yang lebih rinci dengan tuntutan sanksi yang lebih lengkap (jogja.tribunnews.com). Di masyarakat kita, tidak sedikit pelecehan seksual terjadi di ranah personal dan domestik dimana pelakunya justru pihak-pihak yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, guru—bakan guru mengaji, tetangga dan pihak-pihak terdekat lainnya. 

Bagaimana tidak, kita adalah masyarakat yang setiap harinya mempertontonkan budaya pelecehan dan kekeresan. Kita harus jujur paling tidak pada diri sendiri bahwa kita menganggap wajar jika suami terhadap isteri, orang tua dan guru terhadap anak melakukan tindakan kekerasan dan pelecehan baik secara verbal—melalui makian dan kata-kata tak senonoh, maupun fisik. Sangat sering saya mendengar ketika aturan pendidikan di lembaga formal berubah dimana guru dilarang melakukan tindakan-tindakan yang dianggap melanggar nilai-nilai HAM, mereka justru merespon dengan menyatakan bahwa HAM itu adalah paham barat, kafir, dsb. Perempuan bahkan dianggap layak menerima perlakuan tidak pantas di ruang-ruang publik, di media-media. Parahnya, sebagian pejabat pemerintahan tidak segan-segan menyatakan bahwa perempuan yang tidak mengenakan pakaian sesuai syariat Islam layak diperkosa.

Segala situasi ini justru diperparah dengan absennya negara dan pemerintahnya dalam menangani hal-hal urgen seperti ini. Bayangkan saja, dalam kasus pelecehan siswa SD yang terjadi di Aceh Barat tersebut saja didapati bahwa meski sudah dilaporkan ke polisi namun polisi terkesan lamban dan lalai menanganinya dan meski sudah masuk DPO namun saat diminta surat keterangan penetapan DPO, polisi tidak dapat memperlihatkannya. Ya, apalah yang dapat kita harapkan dari sistem hukum Indonesia saat ini? 

Jika memang syariat yang digadang-gadang itu dapat menjadi penyelamat bagi umat manusia, harusnya kasus-kasus kegagalan penegakan nilai-nilai kemanusiaan sepertinya merebaknya kemiskinan, kekerasan dan pelecehan, terabainya hak-hak untuk hidup layak sebagai manusia untuk memperoleh kesejahteraan, keamanan dan keadilan juga merupakan kecacatan dalam penegakan syariat oleh pemerintah dan masyarakat Aceh. Harusnya energi dan pikiran kita juga terkuras untuk hal-hal penting seperti ini. Dan jikapun terdapat masalah darurat yang demikian, harapannya pemerintah tidak hanya mengambil jalan pintas karena kasus-kasus pelecehan yang demikian tidak akan tuntas hanya dengan razia baju ketat, pembatasan jam malam. Seolah semuanya adalah salah perempuan. Kecacatan berpikir dan rendahnya kapasitas moral masyarakat yang diakibatkan oleh rendahnya kapasitas pengetahuan tentu harus dilakukan dengan penerapan penyadaran total di segala lini. Memang tidak mudah, namun langkah pasti terhadap hal ini harus dilakukan. Dan jangan lupa, ketertiban dan keamanan tidak akan pernah terwujud tanpa pembenahan sistem hukum, baik dalam hal produk hukum, profesionalisme lembaga penegak hukum serta pembenahan budaya hukum masyarakat. Juga penerapan hukum yang berkeadilan, jangan sampai perempuan yang menjadi korban namun harus menanggung hukuman yang paling berat. 

Kasus-kasus yang tiba-tiba saja menyeruak tidak mungkin merupakan sebuah kebetulan. Takutnya, selama ini memang sudah terdapat banyak kasus pelecehan di Aceh namun hanya diendapkan saja. Harapannya, masyarakat juga harus lebih berani melaporkan segala bentuk tindak kekerasan dan pelecehan yang dialami. Meski terkadang harus melawan berbagai stigma bahkan ancaman, namun pendiaman justru akan berdampak lebih fatal karena artinya kita membiarkan rantai  kejahatan kemanusiaan berlangsung hingga dalam jangka waktu yang tidak terbatas.

Link Online Serambi Indonesia - Balada Kejahatan Kemanusiaan

Komentar

Postingan Populer