Apa yang Sebenarnya Agama Saya Katakan tentang Perempuan
· Short
Description:
Keluarga Alaa Murabit pindah dari Kanada ke Libia ketika ia berusia 15
tahun. Sebelumnya, ia merasa setara dengan saudara laki-lakinya, tapi di
lingkungan yang baru ia merasakan larangan besar akan apa yang ia bisa capai.
Sebagai wanita Muslim yang bangga akan kepercayaannya, ia bertanya-tanya:
apakah ini benar-benar merupakan doktrin agama? Dengan humor, gairah, dan
celoteh pemberontakannya yang menyegarkan, ia menceritakan bagaimana ia
menemukan teladan para pemimpin wanita dalam sejarah agamanya -- dan bagaimana
ia berkampanye untuk memperjuangkan hak-hak wanita menggunakan ayat Qur'an
secara langsung.
Alaa Murabit
Dalam perjalanan kemari, saya terlibat dalam percakapan menarik dengan
penumpang di sebelah saya selama penerbangan. Dia bilang, "Sepertinya
Amerika kehabisan pekerjaan, karena beberapa di antaranya hanya dibuat-buat:
psikolog kucing, pembisik anjing, pengejar tornado." Beberapa saat kemudian,
ia bertanya pada saya, "Jadi apa pekerjaan Anda?" Dan saya bilang,
"Pembangun Perdamaian?". Setiap hari, saya bekerja untuk memperkuat
suara wanita dan menonjolkan pengalaman mereka dan partisipasi mereka dalam
proses perdamaian dan resolusi konflik, dan karena pekerjaan saya, saya
menyadari satu-satunya cara memasti-kan partisipasi penuh wanita secara global
adalah dengan merebut kembali agama. Nah, masalah ini amat penting bagi
saya.
Sebagai perempuan muda Muslimah, saya sangat bangga akan agama saya. Ia
memberi kekuatan dan keyakinan dalam pekerjaan saya setiap hari. Itulah
alasan saya bisa berada di sini di depan Anda semua. Tapi saya tak bisa
mengabaikan kerusakan yang mengatasnamakan agama, bukan hanya agama saya, tapi
semua agama besar di dunia. Penyalahtafsiran, penyalah-gunaan, dan manipulasi
ajaran agama telah mempengaruhi norma sosial dan budaya kita, hukum dan
keseharian kita, sampai pada titik di mana kita kadang tak menyadarinya. Orang
tua saya pindah dari Libya, Afrika Utara ke Kanada pada awal tahun
1980-an, dan saya adalah anak tengah dari 11 bersaudara. Ya, 11.
Tapi saya tumbuh besar melihat orangtua saya, keduanya sangat saleh dan
religius, berdoa dan memuji Tuhan atas berkat-Nya, yaitu saya, tentu saja, di
antara hal-hal lain.
Mereka baik hati, lucu, dan sabar, amat sangat sabar, jenis kesabaran yang
akan Anda miliki saat Anda punya 11 anak. Dan mereka adil. Saya tak
pernah diekspos ke agama melalui sudut pandang budaya. Saya diperlakukan
sama, harapan terhadap saya pun sama. Saya tak pernah diajarkan bahwa Tuhan
membeda-bedakan gender. Dan pemahaman orang tua saya bahwa Tuhan itu
teman yang pengampun, penolong, dan pemberi berkat, membentuk cara
pandang saya terhadap dunia. Nah, tentunya, ada keuntungan lain dibesarkan di
keluarga saya.
Menjadi bagian dari 11 bersaudara adalah pembelajaran Dasar Dasar
Diplomasi. Sampai hari ini, orang selalu bertanya di mana saya bersekolah,
misal, "Apa kamu sekolah di Kennedy School of Government?" saya
menatap mereka dan berkata, "Tidak, saya belajar di Sekolah Hubungan
Internasional Murabit." Sekolah yang sangat eksklusif. Anda harus bicara
dengan ibu saya agar bisa masuk. Untungnya, beliau ada di sini. Tapi menjadi
bagian dari 11 bersaudara dan punya 10 saudara kandung mengajarkan banyak pada
saya tentang struktur kekuatan dan persekutuan. Mengajar Anda untuk fokus,
bicara cepat atau bicara sedikit, karena Anda akan selalu disela. Mengajarkan
betapa pentingnya menyampaikan pesan. Anda harus bertanya dengan benar untuk
mendapatkan jawaban yang Anda mau, dan Anda harus tahu caranya berkata tidak
untuk menjaga perdamaian. Tapi pelajaran terpenting bagi saya ketika tumbuh
besar adalah pentingnya berada di meja. Ketika lampu kesukaan ibu
rusak, saya harus ada disana ketika ia berusaha mencari tahu kejadiannya dan
siapa pelakunya, karena saya harus membela diri, karena jika tidak, maka
tudingan akan mengarah pada Anda, dan tiba-tiba saja, Anda akan dihukum.
Ini bukan pengalaman pribadi, tentu saja. Ketika saya berusia 15 di
tahun 2005, saya lulus SMA dan pindah dari Kanada -- Saskatoon -- ke
Zawiya, kampung halaman orang tua saya di Libya, kota yang masih sangat
tradisional. Anda perlu tahu bahwa saya hanya pernah mengunjungi Libya untuk
liburan, dan sebagai anak umur tujuh, itu seperti keajaiban. Penuh es
krim dan jalan-jalan ke pantai dan saudara yang menyenangkan. Ternyata
situasinya tak sama sebagai gadis umur 15 tahun. Dengan cepat saya
diperkenalkan dengan aspek budaya dalam agama. Kata "haram" -- yang
artinya dilarang secara agama -- dan "aib" -- yang artinya tak pantas
secara budaya -- dipertukarkan begitu saja, seolah keduanya mempunyai
arti dan konsekuensi yang sama.
Setelah banyak percakapan dengan teman sekelas, kolega, profesor, sahabat,
bahkan saudara, saya mulai mempertanyakan aturan dan aspirasi saya pribadi.
Dan bahkan dengan fondasi yang dibekalkan orang tua saya, saya jadi
mempertanyakan peran wanita dalam agama saya. Jadi di Sekolah Hubungan
Internasional Murabit, kami gencar memperdebatkannya, dan peraturan
nomor satu adalah: gali informasi. Jadi saya melakukannya, dan saya
terkejut betapa mudahnya menemukan wanita dalam agama saya yang menjadi
pemimpin, yang inovatif, kuat -- secara politik, ekonomi, bahkan
militer. Khadija mendanai pergerakan Muslim sejak awal berdirinya. Kami
takkan berada di sini jika bukan karenanya. Jadi mengapa kita tidak mempelajari
beliau? Mengapa kita tidak mempelajari para wanita ini? Mengapa wanita
disingkirkan ke posisi yang mendahului dimulainya ajaran kepercayaan
kami? Dan jika kita sama di mata Tuhan, mengapa kita tidak setara di mata pria?
Saya kembali merunut pelajaran yang saya pelajari semasa kecil. Si pembuat
keputusan, orang yang mengendalikan pesan, harus duduk di meja, dan celakanya,
dalam tiap ajaran agama di dunia, mereka bukan wanita.
Institusi agama didominasi oleh para pria dan digerakkan oleh
kepemimpinan pria, dan mereka membuat kebijakan dalam rupa mereka, dan
sebelum kita dapat mengubah keseluruhan sistemnya, kita tidak dapat
mengharapkan secara realitis partisipasi penuh wanita di bidang ekonomi dan
politik. Fondasi kita sudah tidak benar. Ibu saya berkata, kau tak dapat
membangun rumah kokoh di atas fondasi yang bobrok. Tahun 2011, revolusi Libya
pecah,dan keluarga saya ada di barisan depan. Dan ada hal luar biasa yang
terjadi dalam perang, yang hampir seperti pergeseran budaya, walau sementara.
Dan itu pertama kali saya tak hanya merasa diterima untuk terlibat, tapi
juga dimotivasi, diharapkan. Saya dan wanita lainnnya mendapat tempat di meja
itu. Kami bukan sekadar perantara, atau menemani di sana. Kami bagian dari
pembuat keputusan. Kami pembagi informasi. Kami penting. Dan saya ingin dan
butuh perubahan itu menjadi permanen. Ternyata, tak semudah itu.
Hanya beberapa minggu kemudian, para wanita yang sebelumnya bekerja bersama
saya kembali menekuni peran mereka sebelumnya, dan kebanyakan tergerak karena
kata-kata motivasi para pemimpin agama dan politik, yang kebanyakan mengutip
ajaran agama sebagai pembelaan mereka. Itulah cara mereka mendapat dukungan
masyarakat atas opini mereka. Awalnya, saya berfokus pada pemberdayaan wanita
di bidang ekonomi dan politik. Saya kira itu akan membawa perubahan sosial dan
budaya. Dan memang terjadi sedikit perubahan, tapi tak banyak. Saya putuskan
untuk menggunakan pembelaan mereka sebagai serangan, dan saya mulai mengutip
dan menekankan ajaran Muslim juga. Tahun 2012 dan 2013, organisasi saya
memimpin kampanye terbesar dan terluas di Libya. Kami memasuki rumah dan
sekolah dan universitas, bahkan Masjid. Kami berbicara pada 50,000 orang secara
langsung, dan ratusan ribu lainnya melalui papan iklan dan iklan televisi,
radio, dan poster. Dan Anda mungkin heran bagaimana organisasi hak asasi wanita
mampu melakukannya, dalam komunitas yang sebelumnya menentang keberadaan kami
yang nyaris tak terlihat.
Saya menggunakan ajaran. Saya menggunakan ayat Qur'an dan sabda Nabi, sabda
Hadiths, contohnya: "Yang terbaik darimu adalah yang terbaik bagi keluarga
mereka." "Jangan biarkan saudaramu menindas sesamanya." Untuk pertama
kalinya, khotbah Jumatan yang dipimpin oleh imam komunitas setempat mendukung
hak-hak wanita. Mereka mendiskusikan topik tabu, seperti kekerasan dalam rumah
tangga. Kebijakan diubah. Dalam komunitas tertentu, kami benar-benar harus
sampai berkoar mengenai Deklarasi Hak-Hak Asasi Internasional, yang ditentang
karena tidak ditulis oleh ahli agama, yah, kami juga punya prinsip yang sama
pada Kitab kami. Jadi sesungguhnya, PBB hanya menyalinnya. Dengan mengubah
pesannya, kami dapat memberikan narasi alternatif yang mempromosikan hak-hak
wanita di Libya. Itulah sesuatu yang saat ini telah ditiru di seluruh dunia,
dan meski saya tidak bilang ini mudah -- percayalah, ini tak mudah. Kaum
Liberal menuduh Anda memanfaatkan agama, menyebut Anda konservatif jahat. Kaum
konservatif akan menghina Anda dengan berbagai hinaan. Saya telah dihina
berbagai macam, dari, "Orang tuamu pasti sangat malu" salah; mereka
adalah penggemar terberat saya -- sampai, "Kau takkan hidup sampai ulang
tahunmu berikutnya" -- salah lagi, karena saya masih hidup. Dan saya masih
sangat percaya bahwa hak-hak wanita dan agama tidaklah ekslusif. Tapi kita
harus berada di meja itu.
Kita harus berhenti pasrah dengan posisi kami, karena dengan terus diam,
kita mengizinkan berlangsungnya penyiksaan dan penganiayaan wanita di
dunia. Dengan menyatakan kita akan memperjuangkan hak-hak wanita dan memerangi
ekstrimis dengan bom dan perang, kita sungguh melumpuhkan masyarakat lokal yang
seharusnya mengatasi masalah ini sehingga mereka berkesinambungan. Tak mudah
untuk menentang pesan agama yang menyimpang. Anda akan mendapatkan banyak
celaan, olok-olok, dan ancaman. Tapi kita harus melakukannya. Kita tak punya
pilihan selain menyuarakan pesan hak-hak asasi manusia, prinsip kepercayaan
kami, bukan untuk kami, bukan untuk wanita di keluarga Anda, bukan untuk
wanita di ruangan ini, bukan juga untuk wanita di luar sana, melainkan untuk
masyarakat yang akan diubah karena partisipasi wanita. Dan satu-satunya cara
untuk dapat melakukannya, pilihan kita satu-satunya, adalah untuk berada, dan
tetap berada di meja itu.


Komentar
Posting Komentar