Urgensi ‘High Quality’ Masyarakat Sipil Aceh
*Dimuat di Tabloid Pikiran Merdeka Edisi 87 (24-30 Agustus 2015)
Tulisan ini hanyalah
sedikit respon atas kondisi sosial politik di Aceh yang saat ini tengah
berlangsung terhadap peran para pihak yang dikategorikan sebagai civil
society di Aceh, baik mereka yang
dianggap punya tugas penting untuk menjaga perdamaian maupun mereka yang saat
ini terseret-seret dalam isu konsolidasi menjelang Pilkada.
Kita mungkin sudah sering mendengar bahwa ntuk
mewujudkan demokrasi ideal di berbagai bidang, terdapat tiga aktor yang memiliki
peran penting, yakni pemerintah yang efektif dan memiliki legitimasi, partai
politik dan civil society. Bahwa partai
politik dan pemerintah yang belum mampu melaksanakan fungsi dan wewenang secara
efektif, sudah menjadi rahasia umum dan tidak akan dibahas di sini. Karena
terdapat elemen penting yang terkesan sering terabaikan, yakni civil society.
Seberapa pentingkah kebutuhan akan keberadaan civil society bagi sistem politik ideal?
Meminjam istilah Iqra Anugerah, konsep civil
society sudah menjadi semacam obat untuk segala macam penyakit pembangunan
dan politik. Korupsi dan tata kelola pemerintahan yang buruk? Kurangnya
partisipasi dalam proses pembangunan? Promosi demokrasi dan kebebasan. Civil society solusinya. Hal ini
mengingat bahwa civil society adalah
jenis kelompok masyarakat yang ideal baik dalam aspek sosial, politik, hukum,
bahkan ekonomi. Jenis masyarakat yang berada di luar pemerintahan, beradab,
otonom, kritis, partisipatif dan memiliki kapasitas dalam menyelesaikan
permasalahan-permasalahan sosial.
Dalam literatur sejarah kita dapat mengamati
bahwa berbagai perubahan dan revolusi politik, serta perkembangan sistem politik
menuju ke arah yang lebih ideal hingga menuju negara maju yang terjadi di dunia,
diawali oleh pembentukan masyarakat politik. Negara-negara maju membuktikan,
bahwa tingginya tingkat kesadaran dan partisipasi warga negara dalam
menjalankan kontrol terhadap aktivitas pemerintahan, mengkritisi kebijakan
publik, membangun gerakan sosial dan mengarahkan opini publik telah ‘memaksa’
pemerintah untuk menjalankan sistem secara lebih baik sesuai dengan tuntutan
mereka.
Jika mindset
sebagian besar masyarakat kita cenderung skeptis terhadap politik, hal ini
sangat kontras jika kita mencermati hasil survey silang-nasional yang dilakukan
oleh Almond dan Verba dalam The Civic
Culture mengenai kebudayaan politik di lima negara (Amerika Serikat,
Inggris, Jerman, Italia dan Meksiko). Penelitian tersebut memaparkan bahwa
masyarakat di negara-negara tersebut dicirikan oleh sikap penerimaan secara umum terhadap sistem politik
oleh suatu partisipasi politik yang cukup tinggi dan oleh satu perasaan yang
meluas di kalangan para responden bahwa mereka dapat mempengaruhi
peristiwa-peristiwa politik pada taraf tertentu.
Untuk situasi negara berkembang, civil society masih terbatas jumlahnya.
Lalu apa yang terjadi di Aceh? Meskipun dalam taraf tertentu masyarakat politik
di Aceh menunjukkan perkembangan, namun keberadaan civil society secara kualitas dan kuantitas masih jauh dari
harapan. Jikapun masyarakat secara luas belum berada pada kualitas civil society, paling tidak kita
berharap agar pihak-pihak yang telah memenuhi kriteria sebagai civil society, baik itu adalah
organisasi masyarakat di berbagai sektor, LSM, komunitas, dan lain sebaginya dapat
memposisikan diri secara tepat dan menjalankan fungsi sebagai infrastruktur
politik dengan efektif.
Di sisi lain, civil society yang ada di Aceh mulai terseret arus politik praktis
yang mengarah pada pola perilaku pragmatis. Mereka seolah sudah tidak bisa lagi
memposisikan diri sebagai civil society yang
kritis terhadap pemerintahan dan lembaga politik. Tak jarang
kini kita melihat pihak-pihak yang dulunya aktif menyuarakan kepentingan rakyat
hingga taraf menentang pemerintah, kini justru berbondong-bondong mendekati parpol
dan pemerintah demi kepentingan yang tak jelas.
Terjun mendekati atau bahkan menjadi politisi dan pemerintah merupakan hak
semua warga negara. Tidak ada larangan dalam hal ini. Kita juga sudah sering mendengar rasionalisasi oleh
berbagai pihak yang menyatakan bahwa dalam konteks politik kekinian, perubahan
tidak harus dilakukan dari ‘bawah’, tetapi juga dapat dilakukan secara efektif
melalui pola top-down. Artinya,
mereka memiliki keyakinan bahwa mereka mampu melakukan perubahan jika nanti dekat dengan para stakeholder atau menjabat suatu posisi tertentu dalam parpol atau
suprastruktur politik. Belum lagi mengenai argumentasi yang menyatakan, meskipun
mereka berada pada lingkaran elit politik nantinya, bukan berarti akan
mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Padahal jika mengacu pada fakta yang ada, dengan bertransformasi
menjadi elit politik yang hanya sekedar duduk di singgasana di dalam pemerintahan dan parpol dengan kondisi korup seperti di Indonesia saat ini, apakah dapat serta-merta memberikan perubahan signifikan? Meskipun
bukannya tidak ada, tapi seberapa sanggup mereka mampu
menyuarakan kepentingan masyarakat dalam menghadapi dominasi sistem dan kepentingan
besar banyak pihak yang cenderung berseberangan paham dengan mereka? Berapa
banyak parpol dan pihak pemerintah yang telah begitu baiknya berpihak pada
masyarakat dikarenakan mereka ada didalamnya?
Berapa banyak lembaga pemerintah yang telah
sepenuh hati memberdayakan ekonomi, politik dan sosial masyarakat? Anehnya,
mereka justru malah mengupayakan tindakan hukum terhadap pihak-pihak yang
menyuarakan golput. Sedemikiannya ingin mencari jalan pintas. Sedangkan aturan
hukum bagi lembaga-lembaga yang justru berkewajiban menjalankan sosialisasi
politik malah tidak jelas. Atau haruskah kita menggantungkan harapan terakhir
pada partai politik? Dalam UU Partai Politik memang sudah sangat jelas diatur
bahwa salah satu fungsi partai politik adalah memberikan pendidikan politik,
namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa dibandingkan harus memberikan
pendidikan politik, kebanyakan partai politik lebih senang melakukan money politic, mobilisasi politik bahkan intimidasi. Jikapun ada partai
politik yang melakukan aktivitas pendidikan politik—hanya pada detik-detik
menjelang kampanye tentunya—hal tersebut tidak terlepas sebagai upaya untuk
memperoleh simpati, bahkan kampanye terselubung demi perolehan suara. Maklum,
tidak ada makan siang yang gratis.
Memang kita tidak pantas untuk menjustifikasi
semua yang terdapat di pemerintah, parpol dan politisi adalah buruk. Urgensi terhadap lembaga
politik dan pemerintahan yang mapan juga tidak perlu diperdebatkan lagi. Namun
seperti pernyataan Lord Acton bahwa The
power tends to corrupt (kekuasaan cenderung korup) tentunya harus
diwaspadai. Kedudukan pemerintah yang
terlalu kuat, jika tanpa diimbangi masyarakat politik yang mapan hanya akan
mengarahkan pada pola otoriter. Karena sejarah politik dan pemerintahan telah
banyak membuktikan bahwa meskipun terdapat pemerintah dengan idealisme yang
tinggi, kapasitas dan moralitasnya terjamin, namun mereka juga bukan malaikat
yang akan luput dari penyelewengan kekuasaan, sekalipun dalam skala kecil.
Oleh karenanya, seperti yang dinyatakan
Beetham dan Boyle, gagasan civil society
menunjukkan bahwa demokrasi perlu ditopang oleh segala macam kelompok sosial
yang diorganisasi secara independen. Dengan cara ini, kekuasaan negara bisa dibatasi,
dan opini publik bisa disuarakan dari bawah dan sekedar
bukan dikelola dari atas, sehingga masyarakat bisa mempunyai kepercayaan diri
untuk melawan pemerintah yang semena-mena (Bambang S, 2007:40).
Dan terutama dalam
berbagai momentum politik terutama Pilkada mendatang, saya sangat berharap
segenap civil society Aceh dapat benar-benar memposisikan diri sebagai pihak yang mampu
mengkonsolidasikan diri bersama rakyat demi menjadi sebuah modal dan kekuatan
yang disegani oleh pemerintahan yang berlaku sewenang-wenang dalam memerintah,
bukan justru menjadi pihak yang mengatasnamakan rakyat namun justru malah
mengkhianati rakyat. Harus sampai kapan Aceh begini?



Realitas yang muncul kadang berbeda dengan realitas yang tersembunyi. Harapan itu akan selalu ada utk ms di Aceh. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa ms cenderung adaptif tp tdk kooptatatif terhadap dinamika politik. Namun regenerasi hrs terus tumbuh, sehingga tunas yg sdh matang dpt bekerja pada level strategis. Ini sy rasa yg mjd kendalanya. Regenerasi dan kaderisasi ms msh belum cukup ketika demand political actor semakin tinggi.
BalasHapus