Perempuan Juga Butuh Pendidikan Politik


 

Kritik terhadap buruknya kinerja partai politik baik secara kualitas maupun kuantitas serta penyimpangan fungsi-fungsi, kian hari kerap mengisi ruang-ruang perdebatan di berbagai tingkatan masyarakat dan media massa. Namun, idealnya hal tersebut tidak serta merta menjadi alasan bagi masyarakat untuk berhenti berharap terhadap partai politik. Karena bagaimanapun, partai politik tetaplah merupakan pilar penting dari demokrasi sebagai wadah untuk menyampaikan aspirasi dan memperjuangkan kepentingan umum, sehingga keberadaan partai politik tidak bisa diabaikan begitu saja atau disikapi secara apatis. Terutama jika menyangkut salah satu isu penting terkait fungsi partai politik sebagai wadah pendidikan politik bagi rakyat khususnya kaum perempuan.

Mengapa kaum perempuan di dalam masyarakat harus memperoleh kekhususan dalam pendidikan politik oleh partai politik? Hal ini bukan semata-mata tanpa alasan. Demokratisasi menuntut adanya persamaan hak asasi dan terpenuhinya keadilan di bidang sosial, ekonomi, politik, hukum, pendidikan dan aspek-aspek vital lainnya tanpa adanya diskriminasi gender, ras dan agama. Demokratisasi juga menuntut terwakilinya seluruh golongan di parlemen agar tidak ada yang terabaikan dan tertinggal dalam setiap pengambilan kebijakan dan penganggaran, terutama yang menyangkut masalah kesejahteraan dan pemajuan taraf hidup masyarakat luas. Namun, meskipun kebijakan formal setingkat UUD 1945 telah memberikan jaminan kesetaraan dalam hukum dan pemerintahan, realitas di lapangan menunjukkan bahwa terdapat golongan tertentu yang tidak memiliki pondasi yang sama kuatnya untuk bersaing dengan golongan yang lainnya, diantaranya adalah kaum perempuan.

Oleh karena itu, sejak tahun 1958 melalui UU No.68 Tahun 1958 tentang Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan serta berbagai produk Undang-Undang dan kebijakan publik lainnya, hingga yang terkini yakni UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu serta UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah memberikan mandat kepada parpol untuk memenuhi kuota 30% bagi perempuan dalam politik, baik dalam partai politik terutama di lembaga perwakilan rakyat. Namun pada kenyataannya, partisipasi perempuan dalam partai politik dan pemerintahan di tingkat legislatif, eksekutif dan yudikatif masih sangat rendah.

Salah satu faktor krusial yang sangat mempengaruhi partispasi dan keterwakilan politik perempuan adalah upaya pemberdayaan dan pendidikan politik. Partai politik memiliki peran dan fungsi yang signifikan terhadap hal ini. Pada dasarnya, di dalam Undang-Undang tentang Partai Politik telah ditegaskan bahwa salah satu fungsi partai politik adalah melakukan Sosialisasi Politik terhadap masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan partisipasi politik masyarakat. Dan ketika adanya kebijakan tambahan untuk secara khusus meningkatkan partisipasi dan keterwakilan politik perempuan, maka secara otomatis partai politik juga harus melakukan upaya khusus pula menyangkut sosialisasi dan pendidikan politik bagi kaum perempuan sebagai upaya paling dasar dan utama untuk mengimplementasikan pencapaiakan kebijakan kuota tersebut

Namun ironisnya, realitas di lapangan menunjukkan bahwa partai politik masih setengah hati untuk benar-benar melakukan upaya strategis untuk mengimplementasikan kebijakan kuota. Benar bahwa selama ini partai politik sudah terlihat berusaha memasukkan nama-nama perempuan dalam berbagai daftar kompetisi politik. Sayangnya, upaya tersebut belum efektif dan hanya sekedar pemenuhan kuantitas.

Selama ini, bahkan banyak partai politik yang tidak siap dalam pengajuan daftar calon eksekutif dan legislatif, atau jika pun memadai anggota dan caleg yang dimasukkan adalah kader-kader instan dan asal jadi hanya demi agar parpol dapat menghindari sanksi tidak terpenuhinya kuota. Demikian juga dengan persoalan kepemimpinan dan pengisian jabatan-jabatan struktural yang masih menganak-tirikan kader perempuan, baik secara peluang dan pemberdayaan.

Partai politik setidaknya berkewajiban memberikan informasi dan pengetahuan-pengetahuan dasar menyangkut kondisi objektif dan hak-hak asasi perempuan yang sebagian besar masih terdiskriminasi di berbagai sektor, isu-isu kritis seperti tingginya angka kekerasan domestik, problem TKI, kesehatan dan tingginya angka kematian ibu, pendidikan dan tingginya angka putus sekolah pada perempuan, perdagangan perempuan dan anak, upah kerja dan aturan kerja yang tidak memihak, dan lain sebagainya. Ini semua hanyalah sebagian kecil dari pengetuan dasar yang harusnya diketahui dan diupayakan langkah strategis untuk dicari jalan keluarnya.

Partai politik hendaknya melaksanakan proses rekrutmen dan proses kaderisasi secara memadai terhadap perempuan dengan melaksanakan pendidikan politik yang regular, berkualitas, menyeluruh, sistematik, berjenjang dan memiliki output yang terukur. Partai politik dapat melaksanakan berbagai bentuk variasi pendidikan politik demi menghasilkan anggota dan kader perempuan yang benar-benar berkualitas.

Perempuan yang duduk di parlemen pun tidak seharusnya dibiarkan begitu saja. Mereka tentu masih sangat membutuhkan berbagai bekal bagi karir politik dan kualitas tertentu agar dapat menjalankan fungsi maksimal. Partai Politik jangan hanya sekedar mengawal kepentingan partai semata, namun juga –seperti yang dinyatakan oleh Karam Azza, dkk dalam bukunya Perempuan di Parlemen—secara maksimal mengawal kualitas anggota yang duduk di parlemen secara berkala dengan memberikan pengetahuan-pengatahuan dasar dan penguasaan skill-skill tertentu. seperti penguatan kapasitas kepemimpinan perempuan dan public speaking, mengingat tidak jarang anggota legislatif perempuan mendapati kesulitan dalam menyuarakan aspirasi dan perolehan kesempatan berbicara sehingga mereka pun kesulitan untuk membuat diri mereka didengar. Pembekalan terhadap keahlian lobi serta jaringan kerja terhadap komunitas dan organisasi-organisasi perempuan sehingga dapat dijadikan landasan kekuatan dan sumber input objektif dalam perjalanan kerja. Serta kemampuan komunikasi politik, pemanfaatan media massa sebagai alat propaganda dan berbagai kapasitas lainnya

Hal yang tidak boleh terabaikan adalah penyadaran dan sosialisasi politik terhadap konstituen dan masyarakat luas. Bicara keterwakilan adalah membicarakan kepentingan massa rakyat. Selama ini, diskriminasi dan ketidakadilan terhadap perempuan tetap terjaga dengan langgeng diakibatkan perempuan sendiri yang tidak menyadari situasi buruk yang dialaminya atau tidak mengetahui adanya jalan keluar terhadap permasalahan tersebut. Sehingga, sekeras apapun perempuan di partai politik dan parlemen berusaha, akan terkesan tidak berarti apa bila kesadaran dan partisipasi dari grass-root tidak memadai. Jangankan untuk mendukung kinerja di pemerintahan, untuk terpilih menjadi wakil rakyat saja sekedar menjadi harapan. Perempuan sendiri tidak memilih politisi perempuan.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa selama ini partai politik hanya giat melakukan sosialisasi politik hanya pada saat-saat menjelang pemilu, itu pun pada dasarnya untuk kepentingan perolehan sebanyak-banyaknya dukungan terhadap partai. Berbagai alasan seperti ketersediaan dana yang minim, rendahnya animo masyarakat dalam berbagai agenda sosialisasi, dsb. Padahal, bagaimana mungkin akan terpenuhinya kuota keterwakilan 30% di pemerintahan jika partai politik tidak melakukan upaya sistematis untuk meningkatkan kesadaran dan merubah mindset masyarakat yang kebanyakn masih terjebak pada pola pikir patriarki dan feodalistik. Hingga pada akhirnya, masyarakat luas pula yang akan menjadi korban terhadap situasi tersebut.

Oleh karenanya, partai politik diharapkan bersedia melakukan pembaharuan kebijakan internal yang mengatur konsep khusus bagi pendidikan politik perempuan. Para kader partai, anggota legislatif dan eksekutif perempuan hendaknya terus meningkatkan kerja-kerja dan usaha demi memperjuangkan kepentingan perempuan dan meningkatkan dukungan terhadap kondisi politik perempuan, baik melalui upaya mempengaruhi kebijakan di parlemen, memperluas jaringan kerja baik pada basis masyarakat perempuan maupun berbagai lembaga-organisasi perempuan demi meningkatkan posisi tawar. Serta mempertegas diri memiliki keberanian untuk mendesak dan menutut sikap-sikap partai yang belum sepenuhnya berpihak terhadap perempuan, termasuk dalam hal pemberdayaan dan pendidikan politik agar perempuan tidak hanya sekedar menjadi pelengkap atau alat untuk melakukan mobilisasi dan kerja-kerja partai semata.

Perempuan terdidik dan tingkat intelektual yang memadai, merupakan syarat mutlak bagi realisasi pencapaian keterwakilan yang efektif. Feminisasi politik memiliki aspek korelasi dengan tuntutan mencerdaskan kaum perempuan secara fair. Seorang perempuan yang berdiri di panggung politik, jika dirinya benar-benar efektif menjadi wakil rakyat, terlebih sebagai wakil dari kaum perempuan, maka kehadirannya akan memiliki nilai tambah dari tokoh-tokoh lainnya termasuk dari kaum pria yang mau berjuang untuk kesetaraan gender. Oleh karenanya, dalam kejuangannya merebut persamaan kedudukan, dan melenyapkan diskriminasi gender, kiranya pula ditumbuhkan secara fair proses pendidikan politik bagi kaum perempuan (Astrid Anugrah, 2009:46-47).

(abstraksi hasil penelitian skripsi saya dengan judul : Pendidikan Politik Terhadap Perempuan di Partai Politik: Penelitian terhadap Partai Golkar, PPP dan PKS Provinsi Aceh)



Komentar

Postingan Populer