Father’s Day?







Video di atas saya peroleh dari akun facebook seorang teman. 12 Novembr lalu teman tersebut menuliskan di dinding facebooknya, “Di Australia hari ini diperingati sebagai hari ayah, father’s day. Karena di timeline Facebook saya banyak teman-teman yang tinggal di Australia, suasana hari ayah begitu terasa. Seorang sahabat mengirimkan video ini melalui grup WhatsApp, tiba-tiba terasa, semua tentang ayah memang selalu istimewa. Thanks, Dad, you are the greates dad in the world”

Di Indonesia, hari ayah tidak sepopuler Hari Ibu, Hari Anak, Hari Guru, dsb. Jadi, mungkin para ayah di Indonesia tidak dapat merasakan kebahagiaan selebrasi seperti ini. Bagi saya, di Indonesia boleh-boleh saja ada Hari Ayah yang diperingati secara nasional. Asalkan, ayah-ayah di Indonesia sudah mampu menjadi sosok yang bersahabat, dan ikut mau terlibat bukan hanya dalam memenuhi kebutuhn fisik dan material saja, namun juga kebutuhan psikis, afeksi, pendidikan, spiritual dan mendampingi anak dalam aktivitas-aktivitasnya.

Ya, sesungguhnya ini adalah bagian dari kritik terhadap (lagi-lagi) budaya feodalisme dan patriarki yang masih menjadi penyakit akut. Sejak saya mendapati tontonan-tontonan baik luar maupun dalam negeri yang menujukkan bentuk relasi antara orang tua—baik ibu maupun ayah—dengan anak-anak mereka yang jauh lebih bersahabat, hangat, terbuka, demokratis; hal yang terlintas dalam benak saya adalah, pertama: saya iri dan kedua saya jadi mempertanyakan: mengapa dalam masyarakat kita pola hubungan yang demikian justru masih terkesan tabu. Orang tua menjadi sosok yang harus disegani bahkan ditakuti. Dan para ayah justru masih banyak yang menganggap urusan anak dan domestik adalah mutlak urusan ibu.

Lembaga sosial dan agama justru memperkuat paham  bahwa anak adalah urusan ibu saja, tanggung jawab ibu semata, baik-buruknya anak hanyalah menjadi tanggung jawab sang ibu. Hal ini menjadi alasan kuat bagi doktrin bahwa perempuan hanya boleh beraktivitas di rumah saja. Ibu tentu harus mengutamakan anak dan keluarganya, namun menganggap bahwa urusan anak dalam segala hal hanyalah urusan ibu dan bukan tanggung jawab bersama adalah tidak tepat rasanya.

Oleh karenanya, mungkin kita masih jarang melihat seorang ayah yang menjadi tempat curhat bagi anak-anaknya, menemani mereka dalam kegiatan-kegiatan bermain, urusan-urusan anak di sekolah, mengajari dan mengasuh anak di rumah.

Belum lagi jika jika anak melakukan kesalahan, para ayah seringnya justru lebih menggunakan cara-cara kekerasan dalam menanganinya. Tidak sedikit para ayah yang justru menjadi representasi tangan besi di rumah, alih-alih menggunakan cara-cara yang lebih komunikatif dan persuasif. Padahal, bagi anak perempuan, dampak mengenai hal ini bisa jauh lebih buruk. Sebuah penelitian pernah menunjukkan bahwa anak perempuan yang memperoleh perlakuan buruk dari ayahnya atau memiliki pola hubungan yang kurang baik dari ayahnya, cenderung akan sulit dalam membangun hubungan yang ideal dengan lawan jenisnya di kemudian hari. Poor!

Oleh karenanya, saya sangat kagum ketika pernah mendapati beberapa sosok ayah yang ‘ngopi  berdua bareng anak gadisnya sambil bercengkrama hangat, sang ayah yang menemani seorang little babynya pergi ke pustaka anak sambil membacakan komik-komik pada anaknya, sorang ayah yang dengan sabar meng-handle seluruh urusan domestik dan mengasuh sang anak dengan sabar ketika sang ibu tengah tidak memungkinkan melakukannya, melakukan komunikasi secara rutin dengan anak-anaknya agar kesibukannya tidak membuat para anak merasa kurang perhatian dan afeksi. 

Terlepas dari hal itu, saya tau, di Indonesia sebenarnya sudah mulai banyak juga kok sosok-sosok ayah hebat seperti ini. 

Komentar

Postingan Populer