Tentang Menahan Diri




 
 
Kali ini memang alangkah baiknya jika sejumput kata ini dapat mewakili parau yang tersimpan rapi. Bahwa ternyata benar, yang paling sulit itu terkadang adalah melawan diri sendiri, berdamai dengan diri sendiri. Selama ini sebagian manusia sepertinya memang lebih suka melepas bebas saja naluri hewaninya untuk bertindak dengan cara yang paling absurd sekalipun, selama mampu meretas sejumlah rantai yang dianggap membelenggu diri. Selama bisa lepas, bebas, tanpa beban, atas nama individualitas, kebahagiaan atau apapun lah, semua dihalalkan. Mereka yang mampu meredam diri dalam-dalam, memang sangat patut dikatakan sebagai manusia-manusia hebat. Tapi tunggu, mereka juga tengah bahagia bukan? Jika hanya topeng, ah, saya sama sekali tidak tertarik. Apa hebatnya? Terkadang memang sulit untuk menetapkan suatu acuan setepat-tepatnya: siapa yang lebih hebat antara mereka yang mampu menahan diri namun harus menyimpan bara dalam sekam atau mereka yang mampu bertindak sesuka hati namun terkadang harus berteman setia dengan penyesalan? 

Selama ini, rasanya belum pernah ada kontemplasi tepat yang dapat membuat diri benar-benar menahan diri. Belum ada rasionalisasi ampuh yang mampu menohok diri untuk tak bersikap lepas meski sebagian manusia lainnya akan belum tentu berkenan. Kenapa kita lantas harus memilih untuk harus mengutamakan kebahagiaan yang mana: diri sendiri atau orang lain? Mengapa harus ada yang dikorbankan? Menjadi konformis atau rebel? Haruskah hidup semenyulitkan itu?

Ah..apapun itu. Paling tidak kali ini saya harus lebih mampu menyudutkan diri pada satu titik untuk dapat bersikap tegas terhadap ‘keliaran’ diri sendiri, tidak lain demi menyelamatkan diri sendiri. Kali ini, harus benar-benar utuh untuk mengelus dada, agar puas meski sekedar memandangi ilustrasi. Karena memang tidak semua hal harus digenggam secara utuh, tidak dalam semua hal dapat menyepakatkan diri sekongkrit tuntutan isi kepala. 

Ya! Baru kali ini saya dapat merasakan puas sekedar memandangi ilustrasi-ilustrasi sambil tersenyum—entah pahit atau tidak. Tapi paling tidak, ada tangga baru yang dapat saya jelajahi sehingga dengannya penguasaan diri menjadi lebih memungkinkan.  Karena waktu di luar batas saya, maka dalam reka-reka adegan berikutnya, pura-pura tau saja bahwa saya memang sudah lebih mampu menahan diri. Jika saya jadikan kepuasan sebagai tolak ukur, rasanya diri ini akan semakin terlihat lebam. Tapi tetap saja, bukankah dialektika tidak akan pernah berhenti. Bagaimana bisa manusia menahan diri untuk tidak menahan diri atas situasi-situasi yang tak pasti. 

Mari kita sepakati saja bahwa memapankan diri adalah sebuah keharusan, juga tentang bagaimana memastikan diri terus-menerus berada pada suatu titian dan tidak akan pernah berhenti di tengah jalan. Namun bagaimana jika ternyata terdapat sandungan terjal yang mengharuskan kita untuk berhenti, bolehkan kita sejenak istirahat untuk kembali mengumpulkan tenaga atau haruskah kita tetap memaksakan diri? Ingin rasanya terbang saja menerjang segala hambatan. Namun bukankah sesekali kita juga harus kasihan terhadap diri sendiri. Dan satu hal penting yang menurut saya perlu disampaikan, kali ini saya berhasil menahan diri.


Komentar

Postingan Populer