Tentang Kopi yang Tak Senikmat Kemarin






Ini bukan tentang propaganda perang anti caffeine.  Sama sekali bukan! Ini adalah tentang pujian akan suatu cita rasa yang pada akhirnya harus lenyap menyerah pada keadaan. Jika merujuk pada budaya ketimuran, cairan hitam pekat ini memang identik dengan simbolitas maskulinitaskonsumsi kaum adam. Dan tanpa harus berargumentasi tentang kesetaraan gender segala, bolehlalah nikmat tegukannya mengakrabi lidah saya karena memang kebetulan ada surga kenikmatan di sana.

Bagi manusia-manusia yang terkadang harus menghembuskan nafas hingga penghujung malam, atau sebab-musabab lainnya yang entah menyergap darimana sehingga kantuk acap kali melanda, sedangkan aktivitas dan tumpukan tugas merengek-merengek minta dibelai. Otak yang kala itu bertemu dengan caffeine sudah laiknya sahabat sejati yang mengharu biru ketika dipertemukan. Seluput apapun pada kopi, momen rindu menembus batas tak terhingga kala mata sudah tidak dapat lagi diajak berkompromi. 

Ah, di dunia ini tidak segala hal nya sekedar bersisian posistif semata bagi dirinya. Kopi bukanlah serupa air jernih yang meski diminum dengan hingga perut kembung tidak akan ikut mengalirkan bencana besar. Meski tidak pantas disandingkan dengan tuak yang terkadang hanya karena beberapa tegukannya saja cukuplah untuk membuat kita mabuk dan terpusing-pusing serta tidak sadar diri. Namun, hal ini berlaku bagi siapa dulu? Ironisnya, kopi dengan skala caffeine paling low sekalipun dapat menjadi musuh paling berang bagi manusia ketika organ pencernaannya sudah tidak sekondusif normalnya.

Lantas, bagaimana dengan aromanya yang mengaliri indera penciuman saban hari, dengan kolaborasi perpaduan berbagai rasa yang membuat air liur ricuh? Hmm..entahlah.. 


 

Komentar

Postingan Populer