Prestise dan Penghargaan Diri






Catatan ini saya tulis sebagai pengingat diri sendiri dan juga sebagai penumpahan atas segala gumpalan yang sedikit menyumbat saraf hati karena ketika suatu ketika mendengar bahwa terdapat orang tersayang yang sepertinya saya anggap kurang menganggap hebat diri sendiri. Demi dia, saya sanggup memuji dan menyanjung hingga ratusan bahka ribuan kali demi memberitahu dia, betapa kamu adalah seseorang yang sangat berharga dan saya beruntung bersisian dengan kamu.

Feodalistik masih merupakan paham yang paling saya musuhi. Bukan karena merasa menjadi manusia paling modern, namun karena memang cara pandang sempit yang dimiliki oleh paham tersebut sudah usang dan menihilkan martabat manusia. Bagaimana bisa menganggapnya sebagai sebuah kebenaran bahwa penilaian dan penghormatan terhadap manusia didasarkan pada aspek-aspek primordial, kelas sosial, dan simbolitas-simbolitas absurd lainnya. Dan anehnya, jika pun kita memang bukan orang yang mendasarkan diri pada hal-hal tersebut dalam menilai orang lain, mengapa ketika cara pandang tersebut dialamatkan pada kita, kita lantas tanpa sadarkan mengaminkan, seolah-olah ketika terdapat orang-orang yang  memandang rendah diri kita atas suatu dasar yang sudah lazim digunakan padahal tidak masuk akal, kita lantas jadi ikut-ikutan rendah memandang diri sendiri. Bukankah seburuk-buruknya penilaian orang terhadap diri kita, kita tetap harus menjadi orang pertama dan berdiri di garda paling depan dalam menghargai, mengormati diri sendiri?

Masalah memperoleh nama baik, penghargaan, pujian, dianggap hebat dengan cara menjadi populer, kaya, ganteng, berkuasa, dsb terkadang bukan hanya persoalan bisa atau tidak bisa, tapi juga menyangkut mau atau tidak mau. Karena jika memang sangat berambisi  terhadap hal tersebut, mengapa tidak menghalalkan segala cara saja? Kamu bisa jadi penjilat, koruptor, dan menggunakan cara-cara pintas lainnnya untuk memperoleh prestise dan kekayaan. Karena bagi sebagian orang lain, mereka justru punya akses bebas untuk hal-hal tersebut namun belum tentu menginginkan karena berbagai hal, misalkan saja rasa muak yang akut akan penghargaan yang didasarkan bukan karena apa adanya kita, tapi karena kita adalah siapa.

Dikarenakan paham feodal yang masih mengakar dalam pola pikir dan perilaku kebanyakan orang, mereka yang sesungguhnya punya nilai lebih dalam kapasitas diri menjadi bukan apa-apa, hanya karena mereka bukan siapa-siapa. Hufft!

Saya jadi ingat salah satu pernyataan paling menggugah yang pernah disampaikan seseorang, bahwa salah satu kebijaksanaan paling tinggi dalam hidup adalah dengan menampilkan diri sebagaimana apa adanya. Tanpa harus menutup-nutupi hal-hal tertentu sekedar karena ingin dianggap sebagai manusia paling baik dan 'paling-paling' dalam hal lainnya. Saya sangat sepakat dengan apa yang ditulisakn oleh Tere Liye bahwa, ketika kita memilih hidup dengan topeng dan orang-orang menyukainya, maka sesungguhnya itu adalah masalah kita. Tapi ketika kita tampil apa adanya dan orang-orang ternyata tidak suka bahkan membenci, maka sesungguhnya itu adalah masalah mereka.

Percayalah, dear. Kamu sungguh sangat berharga..

Komentar

Postingan Populer