Menunggu Hujan Reda
Saat duduk bernaung di pelataran
pertokoan demi berlindung dari siraman derasnya hujan, terkadang pikiran
berkeliaran ke sana kemari seolah sedang ikut-ikutan mencari tempat bernaung
dan mencari rumah paling tepat untuk bersarang, menumpahkan segala penat
selepas digenjot oleh tekanan rutinitas. Dan kala melihat anak-anak dengan
riangnya berselancar dalam deru hujan, lantas saya berpikir, buat apa
sebenarnya kita menunggu hujan reda, sama seperti rumitnya menggapai suatu
jawaban akan pertanyaan: untuk apa menungggu sesuatu yang tidak pasti?
Bagi sebagian orang, pertanyaan yang demikian mungkin terdengar seperti kurang sabaran. Karena mereka adalah orang-orang
yang tidak begitu tersiksa dengan penantian, bisa jadi. Bukankah menerjang
badai bisa jadi arena permainan paling seru. Buat apa menunggu hujan reda jika ternyata ia belum tentu reda dalam kurun waktu yang segera? Apakah
kita rela menempelkan kaki di pelataran hingga fajar sekedar takut kebasahan?
Lantas, mengapa anak-anak itu dengan lincahnya dapat menari kesana kemari menikmati guyuran bahkan tanpa sejenakpun kiranya dibayangi
sekelebat kekhawatiran akan jatuh sakit? Atau ini hanyalah sekedar keberanian
tentang mengambil resiko?
Buat apa menunggu sesuatu yang
tidak pasti? Jangan-jangan ini hanyalah sekedar bentuk pertanggungjawaban pada diri
sendiri dimana kita pernah terlihat seolah-olah berusaha paling keras dalam suatu
mekanisme pembuktian paling hebat bahwa dulu, kita pernah menunggu dan masalah
hasil adalah urusan kesekian? Mungkin. Penyesalan yang merembes di ujung waktu
memang dapat berbuah menjadi momok paling mengerikan bagi yang tak berani mengunggah prinsip:
yang sudah lalu, biarlah.
Atau kita merinding disertai
ketidanyamanan karena takut dihujani tawa dianggap manusia paling bodoh,
seolah-olah ‘kurang kerjaan’ dan tidak kasihan pada diri sendiri? Semoga bukan.
Karena menjadi makhluk sosial bukan untuk memperoleh esensi hidup yang
demikian, bukan?
Saya tidak tau, siapakah pada
akhirnya yang akan mampu melihat pelangi atau siapa yang akan tetap dirutuki
oleh awan mendung. Tapi, jika kita memang sudah terbiasa berteman dengan dingin
dan tawa lepas, mengapa harus menunggu hujan reda?



Komentar
Posting Komentar