Distraksi...
Kadang manusia akan menemui segumpal jenuhnya.
Setelah merasa paling hebat dalam menapaki jalan paling terjal dalam sisian
hidupnya. Merasa paling lelah memompa energi paling dalam dibanding manusia
lain yang pernah meniti bumi. Berusaha mencari bayang-bayang kekuatan lain yang
mungkin pernah tersimpan dan terkubur dalam lapisan hidup yang lain. Paling
tidak berharap ada sebuah bahu yang bidangnya cukup nyaman untuk merebahkan
diri atau sekedar tanah untuk tempat sujud paling damai.
Penat yang terkadang alpa dihempas, menumpuk
membisu dalam lorong paling pekat. Bak sumur tua yang sesekali mebutuhkan
cahaya. Bak anak-anak kelaparan yang membutuhkan secuil roti meski dari
sisa-sisa buangan manusia. Katanya, manusia itu makhluk yang tidak pernah puas
dalam mencari kepuasan. Tak pernah ingin kalah dalam mencapai tentang apa yang
mereka elu-elukan sebagai kebahagiaan. Lupa diri? Sepertinya sudah biasa.
Dalam lamunan paling datar pun, biasanya sepi memang akan bertuan. Hidup terkadang memang demikian. Mencerca bagian-bagian bisu
dari diri sendiri karena pada dasarnya tidak semua manusia sadarkan diri. Dalam riuh
paling ramai pun lidah kadang menjadi tumpul tak terbilang. Apakah mereka
akan paham seperti Tuhan memahami meski berteriak tak karu-karuan? Lantas sepi
menjadi alasan paling logis yang pernah ada untuk mencari distraksi. Namun
sayang, terkadang semuanya hanya ilusi, sekedar tempat berhenti untuk
merundukkan diri, bahkan membohongi diri.
Lantas sesungguhnya apa yang dicari? Semuanya
hanya ingin mengejawantahkan nihilitas. Memporak-porandakan senyap. Meracau
seperti orang-orang pesakitan sekedar memperoleh perhatian—penyembuhan atas pilu
menghentak yang terkadang terlalu sering
berkawan. Jemu pun lantas menetap tanpa permisi, tanpa pamrih menempa sarang hari.
Mulai tak percaya bahwa langit juga dapat berotasi. Lantas, lagi-lagi..
demikianlah rasionalisasi untuk mencari ditraksi. Sekedar menghibur diri?
Mungkin. Atau mencari pelarian diri ke tempat paling gurih mengalienasi diri. Bisa
jadi.
Ah..ayolah! Pada akhirnya semua awal akan
menemui akhir—tempat berhenti untuk kembali pada titik pijak. Bagaimanapun ini
hanya dunia, sekedar menepuk dada bukan untuk menyombongkan diri, tapi
membangunkan diri dari segala ekspektasi yang sampai kapanpun akan
berbenturan dengan realitas. Fana. Karena tidak pernah ada segala hal yang
dapat menyerupai alam imagi. Sayangnya kita suka tidak tahu diri. Jelas-jelas
dunia tak akan pernah selalu sama. Jika pun sempat tersesat pada suatu
distraksi yang pepat, mari kita tarik saja alur ke arah kembali. Meski kadang
kita harus pura-pura tuli bahwa ada bagian diri lain yang ikut perih.



Komentar
Posting Komentar