Wibawa Presiden dan Matinya Kedaulatan Rakyat
*Dimuat di Rakyat Merdeka Online (Rabu, 8 April 2015)
Ketika mendengar istilah ‘pemimpin yang
berwibawa’ sekelas kepala negara maka secara otomatis pikiran saya akan
langsung jauh menerawang pada sejumlah figur seperti Ahmadinejad, Hugo Chavez,
Fidel Castro, Evo Morales yang terkenal dengan kesederhanaannya, kebijakan-kebijakannya
yang pro-rakyat, serta sikapnya yang tegas dalam menentang para imperialis. Juga
Raffael Correan dan Fernando Lugo yang sangat getol membela kaum tertindas, bahkan menyatakan
tidak akan menerima gajinya sebagai Presiden sebesar 4000 USD perbulan demi menyelamatkan APBN tanpa memangkas subsidi
sosial rakyatnya; dsb.
Untuk dipahami, bahwa kewibawaan yang
dimaksudkan di sini bukanlah sekedar untuk menggambarkan suatu image seperti popularitas, jabatan, kekayaan,
otoritas tanpa batas, kekejaman atau besarnya rasa takut yang dimiliki warga
negara terhadap sang pemimpin, apalagi sekedar tampilan fisik semata. Ada hal
yang jauh lebih esensial, yakni seberapa besar rasa cinta warga negara terhadap
sang pemilik tampuk kekuasaan tertinggi di negara tersebut karena ia mampu
menjadi penentu nasib baik terhadap seluruh aspek kehidupan warga negaranya, menunjukkan
keberpihakan pada rakyat setiap saat secara tegas.
Pemaknaan tersebut harus benar-benar
digarisbwahi dengan sebaik-baiknya, mengingat situasi kesadaran politik
sebagian warga negara kita yang terkadang masih absurd dalam menilai kewibawaan
seorang pemimpin sehingga kita dengan mudahnya menjadi korban politik
pencitraan. Misalkan saja, dalam dramatikal politik yang berlangsung sejak
pilpres tahun lalu dimana penentuan masyarakat terhadap kewibawaan pemimpin—yang
jika dikritisi—hanya menyangkut hal-hal yang dapat dimanipulasi melalui
pencitraan. Padahal, kewibawaan yang dimiliki seorang pemimpin di tengah nuansa
demokrasi dan perkembangan politik yang semakin pesat seperti saat ini harusnya
di dasarkan pada suatu indikator yang benar-benar objektif dan rasional seperti
seberapa mampu seorang pemimpin negara menjamin kedaulatan rakyat. Bahwa apapun
kebijakan dan proses politik yang berlangsung, sang pemimpin harus mampu menegaskan
sikap akan berdiri di garda paling depan untuk menjamin seluruh kepentingan
warga negaranya, mampu melepaskan diri dari berbagai kepentingan golongan,
partai, bahkan pihak asing yang selama ini selalu merongrong kehidupan bangsa.
Padahal, Indonesia bukannya tak pernah
melahirkan sosok yang luar biasa dalam hal kewibawaannya. Sejarah dengan baik
mencatat betapa tangguhnya Soekarno melawan penjajah demi memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia, berusaha tetap menjaga marwah Indonesia meski di tengah
situasi instabilitas pasca kemerdekaan agar tetap berdaulat dan mandiri hingga
taraf berani mengambil resiko menentang raksasa dunia Uni Soviet dan Amerika
Serikat untuk tidak bersekutu dengan salah satu diantaranya, mengganyang
Malaysia, dan segala kekuatan Imperialisme lainnya yang dianggap akan
mengganggu kedaulatan Indonesia. Soekarno bahkan mampu membangun kekuatan-kekuatan
baru dunia dengan berbagai negara senasib yang sama-sama ingin berdaulat. Berbeda halnya dengan presiden Soeharto yang—oleh
sebagian kalangan—juga dianggap memiliki pola kepemimpinan yang berwibawa.
Karena meski mampu menciptakan kestabilan dan keamanan negara, hal tersebut
justru dicapai dengan menjadi pemimpin bertangan besi dan menyebar ketakutan
untuk merekayasa kepatuhan. Ia juga memajukan ekonomi tapi melalui hutang luar
negeri yang hingga tujuh turunan nanti belum tentu akan terlunasi dan Soeharto
justru menjadi pihak yang menjual hampir seluruh kekayaan alam Indonesia pada
asing, semuanya tercermin dengan jelas sebagai suatu ilusi ketika pada akhirnya
Indonesia ikut mengalami krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Hati-hati, bisa
jadi kita sempat keliru memaknai esensi kewibawaan.
Bagaimana dengan situasi Indonesia
saat ini? Indonesia memang negara berkembang yang memiliki segudang persoalan.
Kondisi ketidakstabilan sosial, ekonomi, hukum dan politik telah nyaris menjadi
headline di media saban hari, dan
yang saat ini sangat mengkhawatirkan kehidupan masyarakat yakni menyangkut
berbagai kebijakan pemerintah yang tak henti-hentinya menaikkan berbagai harga
kebutuhan hidup masyarakat dengan berbagai retorika dan hegemoni politiknya
yang terlihat rasional. Kesengsaran masyarakat pada pemerintahan Jokowi dimulai
dari dinaikkannnya harga BBM yang dibarengi oleh naiknya hampir seluruh harga barang,
transportasi, jasa, dsb; diikuti oleh naiknya harga beras, gas, listrik dan
kita masih belum mengetahui—sebentar lagi—harga kebutuhan hidup mana lagi yang
akan dinaikkan jika pemerintah masih mempertahankan sikap demikian.
Apalagi ditengah hantaman liberalisasi ekonomi dan politik saat ini. Ya,
untuk memahami globalisasi dan mekanisme dunia sekarang, orang memang perlu
memahami konsep mutakhir Neo-Liberalisme. Karena negara yang dijangkiti oleh
paham ekonomi-politik ini secara otomatis akan menerapkan prinsip-prinsip dasar
yang dimilikinya seperti: Aturan pasar
(yang membebaskan perusahaan-perusahaan swasta dari setiap keterikatan yang
dipaksakan pemerintah), memotong
pengeluaran publik dalam hal pelayanan sosial, deregulasi (dengan mengurangi paraturan-peraturan dari pemerintah
yang bisa mengurangi keuntungan pengusaha), privatisasi
(dengan menjual BUMN-BUMN di bidang barang dan jasa kepada investor swasta.
Termasuk bank-bank, industri strategis, jalan raya, jalan tol, listrik,
sekolah, rumah sakit, bahkan juga air minum. Selalu dengan alasan demi
efisiensi yang lebih besar, yang nyatanya berakibat pada pemusatan kekayaan ke
dalam sedikit orang dan membuat publik membayar lebih banyak), menghapus konsep barang-barang publik (public
goods) atau komunitas dan dengan “tanggungjawab individual”, yaitu menekan
rakyat miskin untuk mencari sendiri solusinya atas tidak tersedianya perawatan
kesehatan, pendidikan, jaminan sosial dan lain-lain; dan menyalahkan mereka
atas kemalasannya.
Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak
terjang badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan
domestik di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis
moneter dan ekonomi yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami mengapa
Indonesia didikte dan ditekan terus oleh IMF, WTO, Amerika Serikat, dsb; kita
dapat memahami mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami mengapa
BUMN didorong untuk diprivatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air,
BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan
lain masuk deras ke Indonesia; dan banyak lagi soal-soal yang membingungkan dan
memperdayai publik (Bonny Setiawan, dalam Neoliberal dan Kejahatan Multilateral).
Tentu tidak semua pemimpin di dunia
memiliki kewibawaan dengan berani menanggung resiko untuk menegaskan dan
melepaskan diri dari jerat kaum kapitalis-neoliberalis. Namun tanpa ketegasan
terhadap hal tersebut, kewibawaan kepala negara sampai kapanpun hanya akan
menjadi dongeng utopis belaka. Di saat sebagian pemimpin berwibawa di dunia dengan
sangat berani menasionalisasi seluruh aset negara yang awalnya dikuasai oleh
asing dan menghapuskan hutang luar negeri demi menjamin akses kesejahteraan secara
merata dan berkeadilan; sangat ironi jika pemimpin kita bahkan belum mampu
sekedar melepaskan diri dari kepentingan golongan dan partai. Dan sekali lagi,
tanpa keberanian sepenuh-penuhnya untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan
cita-cita negara—masyarakat yang merdeka, berdaulat, bersatu adil dan makmur—istilah
‘berwibawa’ rasanya tak akan pernah sepenuhnya layak disandingkan pada sosok pemimpin
yang bersangkutan.




Semua berita yang ada di website anda sangat menarik perhatian untuk di simak, salam sehat. . . !! Semoga beritanya dapat bermanfaat! share ya gan, thanks nih!!
BalasHapusWah.. terima kasih ya..
BalasHapusSilakaaan :)