Organisasi dan Stagnasi Terhadap Pembebasan Perempuan







*Dimuat Suara Pelopor  LMND (Selasa, 21 April 2015)

"Kaum proletar tidak dapat mencapai kebebasan penuh sampai ia telah memenangkan kebebasan penuh untuk kaum perempuan." (V.I.Lenin, Kepada Para Pekerja Perempuan)

Dalam berbagai tingkatan teoritis mengenai pembebasan, dengan sangat jelas telah dicantumkan mengenai arti penting pembebasan perempuan. Hal ini sudah dimanifestasikan secara tegas dalam keputusan-keputusan tertinggi Organisasi dan Partai Progresif-Revolusioner di berbagai negara bahkan Kongres Comintern. Dalam hal ini, pembicaraan mengenai pembebasan perempuan bukan sekedar merupakan sub-kepentingan, namun sebagai kebutuhan dan prasyarat bagi terbentuknya masyarakat sosialisme yang sangat menjunjung tinggi kolektivitas dan prinsip egaliter. 

Bahwa pemahaman terhadap situasi objektif perempuan yang mengalami situasi khusus dan ketertindasan jauh lebih buruk dibandingkan laki-laki sebagai landasan agar dapat memperjuangkan pembebasan perempuan sehingga laki-laki dan perempuan dapat berjuang bersama, idealnya harus menjadi suatu pemahaman yang tuntas yang dimiliki oleh anggota, apa lagi di tingkatan kader organisasi. Dengan demikian, organisasi dapat menentukan langkah-langkah kongkrit untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas perjuangan melalui keterlibatan kader dan massa perempuan yang terdidik dan sadar untuk ikut bergerak demi pencapaian tujuan.

Dan yang kemudian menjadi pertanyaan krusial adalah, sejauh mana upaya organisasi dalam meningkatkan pemahaman dan kesadaran aktif para anggota dan kader menyangkut urgensi akan kebutuhan pemahaman situasi khusus ketertindasan perempuan (patriarki, kapitalisme-neolibralisme, militerisme) dan keterlibatan seluas-seluasnya perempuan dalam kerja-kerja pembebasan? Karena segala bentuk penindasan terhadap perempuan hanya dapat diakhiri melalui terwujudnya masyarakat sosialisme, sedangkan di sisi lain masyarakat sosialisme tidak akan dapat terwujud tanpa adanya upaya-upaya signifikan terhadap pembebasan perempuan. 

Seperti yang tertera pada Resolusi dan Manifesto Comintern III yang menyatakan bahwa:
Tanpa partisipasi aktif dari massa yang luas dari perempuan proletar dan semi-proletar perempuan, kaum proletar tidak dapat merebut kekuasaan. Pada saat yang sama, Kongres sekali lagi menarik perhatian semua wanita dengan kenyataan bahwa tanpa dukungan Partai untuk semua proyek yang mengarah pada pembebasan perempuan, pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagai manusia yang setara dan emansipasi mereka yang sebenarnya dalam praktek tidak dapat dimenangkan. Maka partai harus memperluas pengaruh mereka di atas lapisan terluas penduduk perempuan dengan cara mengatur aparatur khusus didalam Partai dan menetapkan metode khusus untuk mendekati perempuan, dengan tujuan untuk membebaskan mereka dari pengaruh pandangan dunia borjuis atau pengaruh dari pihak berkompromi, dan mendidik mereka untuk menjadi pejuang tegas dan akibatnya bagi perkembangan perempuan.”

Hal ini dapat dijadikan sebagai suatu dasar yang sangat jelas untuk menggambarkan bahwa, upaya pembebasan perempuan merupakan salah satu tanggung jawab organisasi/partai secara lembaga dan kolektif, bukan hanya tanggung jawab massa dan anggota perempuan semata. Sehingga kegagalan dalam peningkatan perbaikan situasi dan keterlibatan perempuan merupakan kegagalan organisasi/partai. Dan imbas terburuk terhadap hal ini adalah terhambatnya proses pencapaian tujuan pembebasan secara massif dan ideal. 

Selanjutnya, bahwa upaya pembebasan perempuan harus benar-benar diarahkan pada suatu perjuangan bersama dan tak terpisahkan untuk mencapai serta menjadikan terwujudnya sosialisme sebagai tujuan akhir. Persoalan perempuan dan feminisme pada dasarnya bukanlah persoalan yang baru mengingat bahwa di Eropa dan negara lainnya di berbagai belahan dunia sudah jauh-jauh hari mengkampanyekan feminisme, bahkan sejak tahun 60-an. Namun persoalan yang dipropagandakan adalah hanya pada taraf upaya pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki, seperti hak-hak di dalam politik untuk memilih dan dipilih, kebebasan seluas-luasnya termasuk dalam hal tubuh dan seksualitas dan perjuangan mereka yang bersifat seksisme, tidak substansial dan tidak memiliki dasar yang cukup untuk mendobrak perubahan secara radikal dan revolusionar. 

Sedangkan jika mengacu pada teori-teori revolusioner, sangat jelas dinyatakan bahwa Pembebasan penuh bagi semua perempuan tak bisa dicapai tanpa pendobrakan terhadap kapitalisme. Semua perempuan tertindas sebagai perempuan, tetapi dampak penindasan itu berbeda bagi perempuan pada kelas yang berbeda. Kepentingan kapitalisme sendiri untuk terus berkusa tentu akan membawa konsekuensi diantaranya berupa upaya pelemahan dan polarisasi kekuatan gerakan termasuk pertajaman seksisme. Sehingga penyingkiran perempuan adalah bagian yang esensial oleh sistem kapitalis. 

Dan sekali lagi, tanpa upaya yang sungguh-sungguh terhadap pembebasan perempuan dan menarik kaum perempuan sebanyak-banyaknya ke dalam perjuangan (entah itu melalui penetapan program-program dan agenda khusus, pendidikan dan radikalisasi, perluasan struktur, dsb), organisasi gerakan manapun sesungguhnya telah menetapkan diri untuk menghambat laju percepatan revolusi dan pembebasan nasional. Gerakan kita harusnya belajar banyak dari sejarah.

Selamat Hari Kartini!

Komentar

Postingan Populer