Mempertanyakan Kepahlawanan Perempuan Aceh
Dimuat di Harian Aceh Online (Rabu, 22 April 2015)
Inilah saatnya, pada moment Kartini
ini, kita membicarakan tentang permasalahan perempuan. Jikapun masyarakat Aceh
lebih senang jika menjadikan pahlawan-pahlawan mereka sebagai panutan, tidak
masalah. Bagaimanapun, ketangguhan dan kepahlawanan perempuan-perempuan Aceh
sudah diakui, bahkan tersohor hingga ke berbagai belahan dunia. Karena
ketangguhan mereka memang tidak main-main. Siapa yang tak kenal kehebatan Cut
Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, Pocut Meurah Intan, Pocut Meuligo,
Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah dalam berjuang melawan penjajah.
Mereka jelas-jelas tak mengenal kompromi, bahkan mengangkat senjata dan
berjuang hingga akhir hayat. Atau apakah ada yang tidak mengenal Laksamana
Hayati, seorang panglima perang yang memimpin ribuan pasukan untuk menyerang
Belanda. Juga Ratu Kamalat Zainatuddin Syah, Sultanah Safiatuddin Syah, Ratu
Inayat Zakiatuddin Syah, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin Syah dan Ratu
Nahrasiyah yang memegang tampuk kepemimpinan Kerajaan Aceh selama beberapa
periode. Kehebatan mereka bahkan dikenal oleh dunia. Dan nyaris tidak ada
wilayah lain di Indonesia yang memiliki pemimpin dan pahlawan perempuan dengan
kualitas dan kuantitas seperti ini.
Kepahlawanan perempuan Aceh juga
masih terlihat dalam konflik yang berlangsung selama lebih dari 30 tahun di tanah
Rencong. Konflik dengan tujuan merdeka karena diperlakukan tidak adil akibat
sistem pemerintahan Indonesia yang sentralistik dan korup, serta keinginan
mewujudkan wilayah bersyariat Islam, hingga akhirnya perjuangan ini berbuah
manis dengan disahkannya MoU Helsinki dan dipertegas dengan UUPA yang
memberikan wewenang-wewenang luar biasa kepada Aceh melalui otonomi khususnya.
Selama perjuangan, perempuan Aceh tidak hanya sekedar memiliki kemampuan
bertahan di dalam situasi konflik, bahkan hingga taraf mengangkat senjata dan
terlibat dalam berbagai konflik bersenjata dengan pihak militer.
Namun, mengapa sepertinya kehebatan
dan ketangguhan itu hanya berhenti di sana? Ada apa?
Apakah sosok pahlawan hanya
dibutuhkan pada masa perang semata? Apakah sosok pahlawan hanya disematkan pada
mereka yang mengangkat senjata? Jika ditelusuri, bukankah terlihat bahwa esensi
dan substansi setiap perjuangan sejak masa penjajahan dulu adalah merupakan
upaya demi mewujudkan kehidupan bangsa yang merdeka, berdaulat, aman-tentram,
berkeadilan dan sejahtera?
Secara fisik dan dengan menggunakan
simbolitas tertentu, kondisi masyarakat dan bangsa kita saat ini tentu sudah
cenderung lebih baik jika dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Bangsa kita
sudah terlepas dari masa-masa penjajahan fisik dan kolonialisme, kita juga
sudah terlepas dari masa-masa pemerintahan otoriter dan masyarakat Aceh sendiri
sudah terlepas dari masa-masa pilu konflik bersenjata selama puluhan tahun.
Lalu, apakah permasalahan bangsa dan masyarakat sudah signifikan membaik?
Seharusnya iya. Terutama jika kita mempertimbangakn segala resource, ‘modal’ yang kita punya serta kondisi yang jauh sudah
lebih kondusif seperti saat ini. Namun ironisnya, semua tentu tau bahwa hingga
konteks kekinian, kondisi masyarakat dan bangsa Indonesia—termasuk Aceh, belum
mencapai titik ideal yang diharapkan. Tingginya angka kemiskinan, akses
pedidikan dan kesehatan yang tidak merata, tidak tersedianya lapangan kerja
demi memenuhi kebutuhan, sengketa tanah, bentrokan
masyarakat dan pihak kemanan, kasus-kasus korupsi oleh pemerintah secara
terang-terangan dengan nomial yang tidak sedikit, ketidakadilan hukum, krisis pangan, kekerasan di bidang politik dan
agama, upah layak tidak layak dan sistem kerja yang dianggap menindas, kebijakan
dan pelayanan publik yang belum menyentuh persoalan masyarakat, pengeolaan SDA
yang hanya menguntungkan kaum asing dan borjuasi serta berbagai persoalan
lainnya yang menyebabkan kita jadi sering melihat aksi-aksi masyarakat yang
mengumbar kemarahannya baik melalui demonstrasi, opini di media, dll.
Kondisi
di Aceh bahkan tidak jauh lebih baik seperti yang sebelumnya digambarkan. Bahkan meskipun telah melakukan perjuangan
hebat sejak masa kolonial hingga berlanjut melakukan tindakan separatisme Jika
memperhatikan kondisi demikian, bukankah kita masih membutuhkan sosok-sosok
pahlawan yang bersedia berkontribusi untuk memperbaiki situasi sosial, ekonomi,
politik, hukum yang kian hari justru semakin mempertajam penderitaan rakyat?
Dalam posisi ini, perempuan harusnya juga ikut berjuang bersama laki-laki untuk
berusaha menghasilkan meski secuil perubahan. Ya, kita
membutuhkan sosok pahlawan setiap waktu. Pahlawan yang mampu membantu mengatasi
berbagai persoalan di dalam masyarakat dan bangsa ini.
Pertanyaan
selanjutnya, kemana para perempuan Aceh? Mengapa sosok kepahlawanan mereka
seperti hilang ditelan sejarah? Dimana titisan daran dan semangat Cut Nyak
Dhien, Cut Nyak Meutia, Pocut Baren, dll yang bahkan rela mengorbankan nyawa
demi kemerdekaan dan kedaulatan bangsanya?
Baiklah jika kemudian mungkin
terlalu berat beban yang dipikul jika harus ikut bertanggung jawab terhadap
nasib dan kemaslahatan seluruh umat. Tidakkah kita setidaknya bisa
berkontribusi terhadap nasib kaum sendiri—kaum perempuan—yang kondisinya
hidupnya rata-rata masih jauh dari kata layak: akses dan kondisi kesejahteraan,
pendidikan,lapangan pekerjaan yang jauh lebih memprihatinkan dibandingkan
laki-laki, kekerasan baik secara fisik, psikologis, seksual dan trafficking, tersisih dari ruang publik
juga di bidang sosial, politik, pemerintahan, ekonomi akibat masih betapa
kentalnya budaya patriarki dan sistem ekonomi-politik yang menindas serta berbagai
persoalan ketidakadilan lainnya yang diperoleh dikarenakan status mereka
sebagai perempuan.
Namun, di atas segala kondisi
tersebut, gaung perempuan dalam memperjuangkan nasib dan hak nya masih
terdengar samar-samar. Apakah perempuan Aceh ingin mengubah sejarah dengan
menunjukkan betapa nihilnya semangat perjuangan dan kepahlawanan mereka, tidak
seperti para pendahulunya yang bahkan gaungnya terdengar dan diakui dunia.
Titik yang paling memprihatinkan
adalah ketika tidak sedikit kuantitas dari perempuan Aceh yang bahkan tidak
mampu memperjuangkan dan melindungi diri sendiri dari tindakan sewenang-wenang
yang mereka peroleh dari lingkungan hidup mereka sendiri.
Saya tiba-tiba ingat dengan
kutipan: Memiliki sikap bermalas-malasan, tidak produktif, tidak peduli dan
tidak mau berkontribusi terhadap kemaslahatan hidup orang lain, mudah
menyerah, sama dengan mengkhianati darah (sebagai) perempuan Aceh yang mengalir
di tubuhnya.



Komentar
Posting Komentar