Hari Kartini dan (Memaknai) Kesetaraan Gender
*dimuat di Harian Serambi Indonesia (Senin, 21 April 2015)
Para perempuan memang
harus merasa cukup bangga ketika mendapati banyak hari kebesaran khusus bagi
kaumnya semisal Hari Ibu, Hari Perempuan Internasional dan Hari Kartini. Sayangnya,
keberadaan hari-hari terebut justru sering dijadikan momentum untuk
memperingati situasi hidup perempuan yang masih jauh dari kata layak. Sejak
mengenal istilah gender, feminisme, emansipasi perempuan dan istilah-istilah
lainnya yang sejenis, masyarakat yang masih terkotak-kotak dalam berbagai
kondisi intelektual, psikis, aliran-aliran keyakinan serta agama yang berbeda
pada akhirnya juga memiliki pola sikap dan cara pandang yang berbeda-beda, bisa
sangat kontradiktif antara pihak yang satu dengan yang lainnya. Jangankan itu,
kaum perempuan sendiri menanggapi gender dan feminisme dengan respon yang tidak
seragam.
Hal pertama yang
harus diperjelas, sebenarnya gender itu apa? Ketika perempuan menuntut
kesetaraan hak, sedangkan di sisi lain sebagian kalangan justru meneriakkan
bahwa perempuan harus sadar akan kodratnya, lantas makna kodrat seperti apa yang
dapat dipahami dan diterima secara
general? Kita acapkali absurd dalam
memahami gender dan jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin tidak sama dengan
makna perbedaan gender. Perbedaan jenis kelamin mengacu pada perbedaan yang
sifatnya biologis, bersifat tetap dan tidak dapat diubah. Hal inilah yang pantas
disebut sebagai kodrat, bahwa perempuan hamil dan melahirkan, laki-laki
memiliki kondisi fisik secara biologis yang lebih kuat. Namun berbeda halnya
dengan perbedaan gender, yang mengacu pada standar konsep, nilai, norma, label,
stereotip yang sesungguhnya merupakan bentukan masyarakat sendiri dan hal
tersebut dapat diubah, seperti perempuan yang dianggap lebih pantas berkerja di
ranah domestik sedangkan laki-laki di ranah publik dan lebih pantas menjadi
pemimpin. Hal-hal tersebut bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah meskipun telah
menjadi budaya dan keyakinan yang mendarah daging bahkan diabsahkan melalui
struktur sosial dan aturan legal yang harus dipatuhi.
Pada dasarnya, tidak ada yang salah dengan
adanya perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan selama hal tersebut
tidak merugikan dan mendiskriminasi pihak manapun. Namun yang harus diketahui bersama,
nilai-nilai gender yang menjadi keyakinan selama ini kebanyakan merugikan
posisi perempuan. Hal ini bukan sekedar anggapan atau imaginasi, tapi fakta! Siapapun
yang ingin memberikan penilaian dalam hal ini harus terlebih dahulu menghilangkan
paradigma subjektif dan karakter yang ingin mendominasi. Karena tidak sedikit
dari kita yang tidak mau menerima kenyataan meskipun dipaparkan sejumlah fakta
tak terbantah namun lantas tutup mata dan telinga.
Wacana tentang kesetaraan gender melalui
gerakan-geraakan feminis bukannya tak berdasar. Kaum perempuan tak akan
berjuang gila-gilaan seperti ini jika bukan dikarenakan parahnya konstruksi
sosial yang benar-benar merugikannya. Kita bukan tengah membicarakan persoalan
bahwa perempuan harus menjadi persis sama dalam segala hal dengan laki-laki
bahkan pada persoalan-persoalan yang tidak logis untuk diperdebatkan, bukan
demi memusuhi laki-laki, juga hal-hal lain yang sebenarnya bukan kategori
urgensi.
Kenyataannya, konstruski sosial selama ini
memang selalu meletakkan perempuan pada posisi nomor dua, bahkan pada hal
hak-hak dasarnya sebagai manusia. Jawaban logis apa yang pantas kita berikan
ketika sejumlah data dan fakta dengan gamblang memaparkan bahwa angka putus
sekolah paling tinggi dialami oleh kaum perempuan, angka kekerasan dan pelecehan
seksual terhadap perempuan sangat tinggi, angka kematian hidup ibu masih cukup
tinggi, perempuan yang bahkan berposisi sebagai tulang punggung keluarga
ternyata mendapatkan diskriminasi di dunia kerja, dikomersilkan tubuhnya dan upahnya
lebih rendah dari-pada laki-laki, penerapan hukum yang masih sangat banyak
merugikan kaum perempuan, dsb.
Kesetaraan gender yang kita bahas di sini
adalah kesetaraan menyangkut hak-hak dasar yang selayaknya diperoleh secara
adil oleh semua manusia—termasuk kaum perempuan, hak-hak dasar yang tidak perlu
dipertentangkan dengan paham-paham agama dan kepercayaan manapun—memangnya
agama dan kepercayaan zhalim mana di dunia ini yang melegalkan kejahatan
terhadap manusia lain menyangkut hak-hak untuk hidup, memperoleh pekerjaaan dan
hak-hak ekonomi yang layak, pendidikan, kesehatan, perlindungan hukum dan rasa
aman? Kesetaraan yang dimaksud di sinipun bukan untuk memperdebatkan apakah
perempuan juga diperbolehkan untuk memanjat pohon, angkat besi atau berpenampilan
seperti kaum laki-laki. Sekali lagi, bukan!
Memang, jangankan masyarakat luas secara
keseluruhan, kaum perempuan sendiri masih berbeda dalam menyikapi permasalahan
gender. Feminisme, sebagai paham pembebasan perempuan saja terpecah menjadi
banyak aliran. Di Indonesia, gerakan perempuanpun ibarat pedang bermata dua. Perempuan
Indonesia nyaris tidak pernah sama dalam menyikapi persoalan-persoalan
perempuan, hampir selalu terdapat pertentangan sikap. Entah itu antara gerakan
kanan dan kiri, konservatif dan radikal, bahkan dengan sesama mereka yang mengaku
memiliki ideologi yang sama. Setiap gerakan memang memiliki cara pandang yang
berbeda terhadap akar permasalahan perempuan dan kekeuh ingin menerapkan jalan keluar seperti keinginan
masing-masing.
Namun seprinsipil apapun ideologi dan paham masing-masing, selemah-lemahnya iman, mereka harusnya seragam dalam memandang akan adanya situasi pendiskriminasian hak-hak dasar perempuan. Sehingga paling tidak dapat memahami, bahwa tanpa adanya penyatuan kekuatan dan kerja-kerja konkrit untuk menemukan solusi bersama, sehebat apapun ide-ide yang dihasilkan, masalah perempuan tidak akan pernah kunjung reda. Bukannya fokus pada masalah, tapi malah sibuk mendebatkan teori siapa yang paling benar dan sibuk pada persoalan-persoalan yang sebenarnya tidak begitu penting yang terkadang malah semakin mempertajam perbedaan.
Dan sekali lagi, seperti yang dinyatakan oleh Sulistyowati
Irianto dan Titiek Kartika Hendrastiti (2:2008) dalam Buku Panduan tentang Gender di
Parlemen, kesetaraan gender bukan berarti
perempuan harus menjadi sama seperti laki-laki. Juga bukan berarti berlakunya
kesempatan dan hak seseorang itu bergantung pada aspek biologisnya sebagai
perempuan atau laki-laki. Keadilan gender merupakan suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan
dan laki-laki, dan merupakan agenda agar perempuan dan laki-laki dapat
menikmati status, kondisi hidup dan mendapat kesempatan yang sama untuk
merealisasikan potensi dan hak asasinya. Dengan demikian, laki-laki dan
perempuan dapat menyumbang secara seimbang dan optimal dalam pembangunan
politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama; dan sama-sama dapat menikmati
hasilnya.
Juga, tidak perlu antipati terhadap perempuan
yang berpikrah di ranah publik. Biarkan juga para perempuan memenuhi haknya dalam
pengambilan-pengambilan keputusan ketika di dalamnya juga menyangkut hajat
hidup mereka. Di samping, kaum perempuan yang juga harus tau diri. Bahwa
kesetaraan gender bukanlah alasan bagi perempuan menjadi liberal, berkiprah
bebas tanpa mengindahkan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat, apalagi
memusuhi kaum laki-laki di saat mereka harusnya berjuang bersama. Tuntutan akan
keadilan gender idealnya dapat benar-benar adaptif terhadap kondisi objektif
masyarakat yang ada. Karena tidak rasional juga rasanya di saat kita
memperjuangkan agar keadilan gender dapat diterima dan dihayati oleh masyarakat
luas, tanpa sadar kita justru memposisikan diri sebagai gerakan dan paham yang
dimusuhi oleh masyarakat.



Komentar
Posting Komentar