Tentang Pagi dan Kemengertian
“Penderitaan terjadi bila kita ingin dicintai seperti cara yang kita
bayangkan, bukan dengan cara cinta seharusnya memanifestasikan dirinya: bebas,
lepas dan menuntun kita dengan kekuatannya.”
~Paulo Coelho
Terima kasih pada pagi, matahari tak
selantang kemarin. Karena mata hingga kini belum terpejam, tanda tanya lantas menyusup
di benak, apakah resah tengah berdiam di kedalaman diri? Benarkah meng-alpa-kannya
tidak senantiasa membuat kita merasa ‘baik-baik saja’?
Demikianlah mungkin, ketika pada
akhirnya harus memahami bahwa apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang
terbaik, belum tentu anggapan yang sama memenuhi ruang berpikir orang lain. Bahwa
meski rupa otak dan hati kita sama, tak pelak, pikiran, perasaan dan harapan
kita dapat kontras berbeda, berjauhan. Bahwa, mustahil menginginkan orang lain
untuk dapat sepemahaman dan bersesuaian serupa dengan ingin kita.
Laiknya, ketika serumpun
problematika menghampiri orang-orang yang kita sayangi, ingin sekali merengkuh
mereka agar segala bentuk yang disebut sebagai risau dan kehawatiran yang kita miliki sebagai bagian dari kepedulian, dan memanifestasikannya melalui upaya untuk membantu meredakan segalanya meski hanya
lewat usapan kata atas nama cinta dan kasih sayang. Namun lagi-lagi, manusia
berbeda, sungguh tak serupa, bagaimanapun. Yakni ketika kekhawatiran tersebut
hanya dapat terendapkan dalam pikiran, meski harus membusuk tanpa jalan, karena
yang dituju justru lebih memilih berteman dengan kesendirian.
Semoga ini bukan pertanda bahwa
pada kenyataannya kita tidak pernah sepenuhnya menyatu—harapku aku salah
mengenai hal ini. Atau bila harus berbaik sangka pada semesta, ku anggap saja ia
sebagai salah satu bentuk kerelaan dalam pemenuhan bentuk-bentuk saling
memahami, karena ternyata kita mendefinisikan makna damai secara berbeda. Bahwa bersandar
pada sesuatu yang bisa jadi lebih kokoh ternyata bukan upaya bagi penguatan,
mungkin, kala salah satu dari kita justru berpendirian bahwa melalui keterpisahan kita
mungkin lebih mampu memapankan diri..
Saranku, cobalah meski hanya sementara, bertanya pada hati,
benarkah kita setulus tangkai dan dahan yang senantiasa menopang daun-daun,
bahkan menangis bersama angin kala daun-daun itu berguguran, hingga rasa salah
dan sesal menghinggapi karena kita ternyata tak mampu menjadi penyangga dengan
sesempurna-sesempurnanya usaha agar daun-daun tidak rapuh, jatuh dan terinjak?
Atau tak takutkah kita menyesali
diri ibarat malam yang selalu saja menutup diri dari bayang-bayang, karena
selalu ingin tampak indah. Dan kala bulan mulai hilang, ia nya menyadari bahwa
ia tak memiliki apa-apa selain gelap?
Semoga kepengertian ini adalah suatu
nilai yang senantiasa dapat kupertahankan kekekalannya. Karena aku tak punya
banyak hal lain yang dapat kuberikan sebagai wujud kongkrit kepedulian yang
senantiasa masih ku punya. Dan jika pun ia masih luput sempurnanya, harap ku
kau senantiasa berlapang dada hingga aku terus mampu mendialektiskannya.
Entah bagaimana caramu
mensubstansikan definisi kasih sayang. Bagiku, cukup selama engkau bahagia dan baik-baik saja, baik
itu denganku atau tidak..



Komentar
Posting Komentar