My Alter Ego
Menjadi seorang guru sepertinya
memang bukan sebuah pilihan yang salah. Bukan hanya segala label mewah yang
melekat padanya, seperti “Pahlawan tanpa tanda jasa” dan lain sebagainya, tapi
karena saya memang telah belajar banyak darinya. Bagaimanapun keinginan saya
untuk menjadi seorang guru sudah tidak dapat ditawar-tawar lagi. Karena ia
sudah menjadi sebuah cita-cita yang terbilang bahkan sejak masa kanak-kanak. Ia
kemudian mengkristal ketika telah dewasa. Dan jangan tanya kenapa harus guru,
seolah di saat orang lain berlomba-lomba menjadi dokter, insinyur, pengusaha,
dan profesi yang diyakini dapat membawa wealthy.
Pokoknya harus jadi guru. Bahkan di saat masa remaja saya mendapati bahwa
ternyata saya ingin mendalami keilmuan di bidang sosial politik,
saya tetap tidak menjatuhkan pilihan untuk kuliah di Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik. Saya harus berkompromi, jika di satu sisi saya ingin menjadi guru
namun di sisi lain saya ingin mempelajari imu sosial politik, maka kemana saya
harus menetapkan hati untuk menjatuhkan pilihan program studi di Perguruan
Tinggi. Maka demikian, kuliah lah saya di FKIP Pendidikan Kewarganegaraan.
Awalnya saya sempat takut, bahwa
bagaimana bisa saya menjadi guru yang baik jika saya adalah seorang dengan kepribadian
koleris Dengan segala kelebihannya, entah
itu tegas, disiplin, goal oriented, produktif, pekerja keras, terus terang,
aktif dan dinamis, percaya diri, prinsipil, seorang koleris bisa saja akan
memberikan dampak positif dalam pendidikan dan proses pembelajaran. Namun
bagaimana dengan karakter-karakter koleris yang dapat menjadi potensi dan
menimbulkan efek negatif bagi siswa seperti
keras, mendominasi, kurang peka perasaan, kurang bisa menunjukkan kasih
sayang, mudah marah? Saya benar-benar takut dengan karakter ini, karakter yang
acap kali membuat orang lain tidak nyaman. Bukan tanpa alasan, selain saya yang
menyadari sepenuhnya dampak negatif dari karakter yang menjadi kekurangan
koleris, saya juga mempelajari psikologi dan berbagai konsep pendidikan yang
berorietasi pada siswa dimana sistem pendidikan yang ideal dan modern untuk
konteks kekinian adalah sistem pendidikan yang jauh dari nilai-nilai
feodalisme, kekerasan dan nila-nilai yang dianggap absah pada zaman dahulu.
Pendidikan dan pembelajaran kekinian menekankan guru sebagai pihak yang tidak
menjadikan siswa sebagai boneka atau robot, demokratis, toleran, bersahabat,
berposisi sebagai pihak yang membimbing untuk mengembangkan kreativitas siswa
(bukan mendikte dan mendominasi). Dan jika memang saya harus menjadi seorang
guru, bagaimanapun saya harus menjadi guru yang ideal. Bukan melakoninya
sebagai profesi sekedar untuk mengisi pundi-pundi, karena yang saya hadapi
adalah makhluk hidup yang apabila salah dalam mengarahkan maka akan berdampak
sangat buruk pada aspek-aspek kehidupannya sekarang dan nanti.
Lantas bagaimana? Saya yang kini
sudah menjadi seorang guru, meski masih terlalu banyak kekurangan, minim pengalaman
dan harus banyak-banyak belajar, namun ada satu hal yang saya anggap sebagai
sebuah mukjizat. Bahwa sebagaimana pun emosional dan keras nya watak saya, saya
dapat menjadi manusia yang jauh sekali berbeda ketika saya berasa di dalam
kelas. Dua tahun lebih menjadi guru, namun seingat saya belum pernah memarahi
siswa, sekalipun mereka yang sangat bandel yang pernah saya temui. Segala
kekacauan yang terdapat di kelas pun, Alhamdulillah nya tidak pernah membuat
saya bertindak tidak pantas seperti yang saya takutkan. Rasanya lebih baik saya
gigit saja lidah saya sekalian, atau saya redam saja emosi meski bagaimana pun
menyiksa nya dari pada harus memarahi dan kasar pada siswa. Karena
bagaimanapun, kami selama ini sudah diberi pemahaman dengan sebaik-baiknya
bahwa tugas guru bukan hanya menjadi gudang ilmu dan pengetahuan bagi para
siswanya, namun bagaimana menjadi mitra yang ideal dalam proses pembelajaran
untuk membentuk karakter ideal siswa. Guru yang tidak mampu mengembangkan sikap
belajar dengan baik, dapat membawa efek sangat negatif pada psikologi dan pembentukan
karakter negatif bagi siswa, dan ini adalah hal yang paling tidak saya
inginkan. Saya yang betapa sangat tidak senangnya jika melihat guru yang
otoriter, killer, keras dan kasar belum lagi yang kapasitasnya secara keilmuan
bermasalah. Melihat mereka lah, saya justru berazam dalam-dalam, jangan sampai
saya menjadi guru yang demikian.
Oleh karenanya, saya yang bahkan
hingga kini masih saja seorang koleris, namun seperti memiliki alter ego ketika
saya tengah berposisi sebagai seorang guru, dan memang harusnya demikian. Hal
yang tak pernah bisa saya sangka dapat saya lakukan. sehingga ketika ditanyai
oleh orang, kapan momen paling sabar dalam hidup saya, yakni ketika saya tengah
menjadi seorang guru. Saya mampu menjadi sesabar-sabarnya manusia, menajdi
sangat-sangat pengertian, toleran dan bersahabat.
Amazing to my self ^_^



Komentar
Posting Komentar