Menulislah: Ga harus Expert!




Ungkapan apa ya yang idealnya harus saya gambarkan untuk menunjukkan dengan baik bahwa aktivitas menulis itu adalah aktivitas yang sangat positif, sangat bermanfaat, bahkan kalau bisa semua orang harus mau menulis. Apapun itu!

Haruskah saya mengutip pernyataan yang sangat berpengaruh sepanjang masa yang pernah dilontarkan oleh Pramoedya Ananta Toer, misalnya:
“Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu takkan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari. Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”
Atau kutipan manis lainnya,
“Sebuah tulisan yang menggugah, akan menjadi amal yang tak mampu anda hitung jumlahnya” –Anonymous

Jika mereka yang sudah sering dan terbiasa dengan aktivitas menulis, mungkin akan dengan mudahnya bersepakat dengan pernyataan-pernyataan di atas. Namun bagi yang tidak terbiasa, atau yang malahan tidak pernah menulis sama sekali, mungkin akan mengumbar sejuta alasan, bahwa tidak semua orang bisa menulis, tidak semua orang senang menulis, tidak semua orang merasa berkepentingan untuk menulis. Bahkan  mereka yang sudah handal menulis pun bisa saja ikut-ikutan melempar berbagai alasan dengan makna serupa semisal, tidak semua tulisan akan diapresiasi, tidak semua orang sempat menulis secara rutin, serta alasan-alasan lainnya yang dapat memenuhi halaman ini sekedar mengulas hal itu saja.

Yang saya dapati, kata ‘penulis’ sepertinya memiliki makna yang lumayan berat untuk disandang atau diraih. Dalam artian, kebanyakan orang akan beranggapan bahwa penulis adalah mereka yang sudah sering kita dapati menulis puisi, cerpen atau yang sudah menerbitkan sebuah buku kah? Yang tulisannya sering atau pernah dimuat di media massa sajakah? Mereka yang rajin nulis di blog nya kah? Orang-orang yang senantiasa menghasilkan karya meski tidak dipublish kah? Atau siapapun yang sudah jelas memiliki kapasitas dan karya tertentu, terutama mereka-mereka yang sudah diakui publik... Seperti itu kah kira-kira? Sehingga frame berpikir yang kita punya, hanya manusia pilihanlah yang dapat disebut sebagai penulis.. Mereka yang mempelajarinya secara khusus atau paling tidak memang memiliki bakat bawaan.

Mindset demikian tidak dapat disalahkan, namun dapat menyesatkan. Setidaknya diri saya sendiri pernah ada pada paradigma yang demikian. Oleh karenanya, bagaimanapun saya harus sangat berterima kasih pada seseorang dan beberapa teman yang pernah sangat ‘memaksa-maksa’ saya untuk mau menulis. Saya yang kebetulan memiliki interest khusus pada ranah politik dan gender, sering berdiskusi tentang permasalahan tersebut, pada akhirnya memancing seseorang dan beberapa teman untuk membuat saya mau menuliskan ide-ide tersebut ke dalam tulisan seperti yang mereka lakukan. Saya menganggap mereka tengah membual, kala itu. Hello..saya, menulis? Yang benar saja! Saya tidak bisa menulis, tidak pernah belajar menulis dan tidak pernah menghasilkan karya tulis apapun. Memangnya menulis itu seperti memasak mie instan, siapa saja bisa? Anehnya, keinginan mereka yang saya anggap sudah sangat mengganggu pada akhirnya membuat saya terpaksa berpikir, bagaimana caranya menulis. Setidaknya sekedar membuat mereka agar jangan berisik lagi. 

Saya, dan mungkin teman-teman lainnya pada akhirnya pasti akan tergugah ketika suatu ketika mendapati fakta-fakta yang mampu menjungkir-balikkan kenyataan bahwa menulis itu ternyata mudah dan tidak merepotkan. Saya yang pernah membaca sebuah majalah dimana sebagian besar muatannya adalah tulisan pembaca, mampu membuat saya bergumam “kalau cuma menulis yang seperti ini sih, saya pun bisa.” Dan saya yakin, jika teman-teman melihat berbagai tulisan yang dimuat di beberapa media, atau paling tidak baca sajalah blog-blog dimana penulisnya pada dasarnya hanya sekedar curhat, hanya sekedar menyampaikan secara amat sangat sederhana dengan menuliskan apa yang mereka pikirkan, apa yang mereka rasakan, alami, uneg-uneg yang sepertinya tidak bisa disampaikan langsung ke orangnya, atau tulisan yang sepertinya hanya sekedar iseng-iseng saja, asal ada saja, yang membuat kita berpikir “jangankan saya, anak TK pun bisa menulis yang beginian”. Setidaknya, siapa sih yang tidak mampu menulis catatan harian seperti di diary atau dimanapun lah itu. Perhatikan, menulis tak ubahnya berbicara, bedanya ia hanya kamu catat dan tuliskan.

Mereka itu juga penulis lho! Setidaknya bagi saya. Bagi diri mereka sendiri. Dan bagi orang-orang yang menghargai tulisan-tulisan mereka. So, you not must be so expert, so special, so capable just to writing, just to be writer. Just write everything, anything that you think and feel important, or just to make you comfort, just as fun and although you feel  perforce.

Perforce? Terpaksa? Ya.. meski menulis dalam perasaan terpaksa. Tanyakan pada saya, jika pun saya menulis di media masa, bahkan (belakangan ini) sangat rajin menulis di blog, apakah karena memang menulis adalah bagian dari hobby saya, karena saya menikmatinya? Bolehkan saya jujur? Sesungguhnya tidak, temans. Ingat yang saya ceritakan di awal, saya memulai untuk menulis karena hanya ingin membungkam mulut mereka yang selalu memaksa saya. Selanjutnya, meski saya tetap menulis, dibanding menulis karena kesenangan, saya merasakannya cenderung sebagai kewajiban, yang apabila tidak saya lakukan akan timbul perasaan berdosa (baca: tidak nyaman). Jika menyandarkan pada motif senang-tidak senang, rasanya malas sekali untuk menulis. Tapi senang atau tidak senang, saya merasa saya memang wajib menulis. Ketika saya yang memiliki interest terhadap permasalahan sosial, politik, gender, dan lainnya, memiliki pandangan, ide-ide kritis yang ideal saya bagi, lantas dari pada hanya sekedar menghujat dalam hati, meski tak mampu merubah banyak hal, bahkan sekalipun tulisan itu tak begitu dianggap penting, meski sekedar atas nama moralitas atau apapun itu, rasanya tetap saja harus ditulis dan dibagikan. Ada semacam keegoisan yang menggerogoti diri ketika apa yang kita miliki hanya kita nikmati sendiri, hanya bermanfaat bagi diri sendiri. Juga pada saat saya telah mulai menulis, kemudian seketika berhenti, lalu mendengar keluhan-keluhan “Kenapa tidak menulis lagi?”, “Aku rindu tulisannya yang tajam”, “Kamu pintar menulis, tapi sayangnya tidak produktif”, dan berbagai pernyataan lainnya dengan substansi yang sama, membuat saya tidak nyaman sepanjang waktu hingga  kemudian dengan terpaksa harus menulis lagi.

Tak jarang, orang menganggap, tulisan yang mereka hasilkan apalagi yang hanya mereka anggap sekedar ‘catatan harian’ hanyalah serpihan kata yang tidak bermanfaat, kurang bernilai, atau cuma untuk iseng-iseng. Mereka yang sering ‘iseng-iseng’ lah yang paling ingin saya ucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya. Mereka yang membuat saya menulis dan tetap menulis. Mereka yang menunjukkan bahwa menulis itu sederhana, mereka yang justru amat sangat mengispirasi kehidupan saya di berbagai aspeknya dari sekedar catatan-catatan harian di blog, (maaf) bukan mereka yang sudah menulis karya hebat hingga mampu menembus media mainstrean lokal ataupun nasional, juga yang sudah menerbitkan buku. 

Saya membayangkan, jika mereka tidak pernah menulis, maka saya sepertinya tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk menulis. Namun, meskipun saya sudah mulai menulis, pada awalnya ternyata saya masih memiliki mindset yang salah mengenai apa itu menulis. Bahwa yang saya anggap sebagai tulisan yakni jenis tulisan yang standarnya dapat dimuat di media masa. Hanya mindset dasarnya saja yang berubah, bahwa menulis di media masa itu ternyata tidak sesulit yang kita bayangkan. Toh, tulisan pertama saya yang saya tulis secara autodidak bisa langsung dimuat di media massa lokal mainstream, bahkan saya menjuarai sayembara menulis tingkat provinsi pada perlombaan pertama yang saya ikuti. Bukan tengah menyombongkan diri, semoga temans dapat memahami bahwa manusia yang awalnya merasa tidak mampu menulis, tidak pernah mempelajarinya secara khusus, memulainya karena terpaksa dan iseng-iseng, dengan kualitas tulisan yang saya anggap masih sangat rendah dan amatir, ternyata mampu mencapai taraf itu. Keberuntungan? Ya, jika hanya sekali-dua kali. Takdir dan memang bakat bawaan lahir? Namun jika saya tidak pernah berusaha menggoreskan pena, tulisan itu juga tidak akan pernah ada. Its about will!

Namun, paradigma saya masih salah dalam hal ini. Why? Seperti yang sempat saya singgung sebelumnya, yang saya anggap sebagai tulisan (bagi saya kala itu) hanyalah berupa essay dengan isu tertentu dengan kualitas untuk dapat dimuat di media massa (atau adalah puisi, cerpen dan karya fiksi populer lainnya bagi mereka yang bergelut di ranah fiksi). Sehingga ketika saya tengah malas menulis essay atau tengah kehabisan ide, maka saya tidak menulis. Satu tahun saya hiatus, vacum tidak menghasilkan apapun. Hingga suatu ketika saya bertemu dengan sebuah blog, dimana sang pemiliki dengan sangat rajinnya menuliskan ‘catatan harian’, pengalaman, apapun pikiran dan perasaannya, baik itu karena dianggap penting atau sekedar untuk melepas uneg-uneg: apapun itu, lepas, ringan, sederhana namun sangat berharga (bagi saya), tulisan yang semua orang mampu hasilkan asal mau. Tulisan pertama yang saya baca pada blog tersebut adalah tulisan yang berjudul: Rekonsiliasi, Berdamai dengan diri sendiri. Kak Historina dengan sangat nyaman berdiskusi dengan dirinya sendiri mengenai kekhawatiranyang ia miliki serta proses berpikir untuk mengantisipasinya. Dan sebuah kutipan yang akan terus saya ingat:
 Never go to bed while you’re angry. Saya ingin membiasakan diri menutup hari dengan perasaan tenang setelah menyelesaikan semua kegundahan di belakang......... Saya jadi ingat, kemampuan saya yang rendah dalam mendengarkan yang jadi penyebab saya rajin menulis. Menulis membantu saya merunut kembali kejadian demi kejadian dan mendengarkan diri saya dan orang lain dengan melihatnya dari luar kotak”.

Kala itu, saya juga tengah rajin-rajinnya membaca buku psikologi, dan saya mendapati bahwa kecemasan, ketakutan, atau perasaan apapun itu idealnya mampu diekspresikan, disampaikan dengan cara yang baik, dari pada harus direpresikan, membangun mekanisme pertahanan diri yang tak wajar tanpa sadar, dilampiaskan dengan cara tak wajar, apalagi sampai mampu menimbulkan gangguan kepribadian dan psikologi abnormal lainnya. Entah mengapa tulisan-tulisan di blog tersebut (terutama tulisan yang saya kutip di atas) memberikan petunjuk pada saya bahwa, menulis dapat menjadi salah satu sarana ‘terapi’ diri, sehingga saya harus menuliskan apapun yang menjadi kekhawatiran, keinginan, pengalaman atau APAPUN, seraya memikirkan bagaimana cara mengantisipasi, menghayati, menjadikannya bermakna. Saya lantas pula setuju dengan apa yang dinyatakan oleh Helvy Tiana Rosa, “Menulis itu menenangkan pikiran dan nurani yang nyeri.” 

Saya seketika juga teringat pernyataan yang pernah dilontarkan seorang teman, bahwa ia hanya akan menulis sesuatu yang sifatnya khusus, menarik, bermutu pada bidang yang ia tekuni. Ia beranggapan, bahwa sudah terlalu banyak orang yang ikut menulis pada bidang yang ia geluti. Sebagai orang yang memang mempelajari secara profesional bidang tersebut, tidak mungkin ia menulis dengan kualitas dan isu yang sifatnya biasa-biasa saja. Ia bahkan menyatakan, mengapa orang-orang tidak menulis pada bidang masing-masing sesuai yang mereka tekuni (apakah ia tengah kesal karena banyak yang ‘mengambil lapaknya’, sehingga jika ia ingin terlihat berbeda dan menarik perhatian, ia harus membuat sesuatu yang lebih dari sekedar biasa). Di satu sisi, pemikiran  tersebut ada bagusnya, akan sangat memancing saraf-saraf kreativitas. Namun saya sempat terganggu, haruskah kita menjadi seorang ahli di bidangnya dulu untuk menuliskan sesuatu? Saya runut-runut kembali, pikir-ulang lagi, jika kita harus menunggu seorang ahlinya untuk menulis suatu hal, mungkin hanya sedikit karya tulis yang ada di dunia ini. Masalahnya, terkadang ‘para sang ahli’ saja sangat malas menulis, mereka yang bukan ahli malah lebih cerdas dan rajin menulis. Kesimpulannya, kamu ga perlu jadi seorang ahli untuk menulis suatu hal, jika suatu ketika kamu merasa ada suatu hal yang kamu anggap penting untuk kamu bagi. Namun yang harus dipahami, untuk level tulisan tertentu, entah itu karya tulis ilmiah, essay atau tulisan ‘kelas berat’ lainnya, harus mampu dipertanggung jawabkan secara keilmuan, tidak boleh asal semprot. Tapi, segala sesuatu di dunia ini kan tidak ada yang tidak bisa kita pelajari asalkan kita mau.

Memulai tidak cukup. Karena konsistensi adalah hal yang menjadi keharusan meski harus diperjuangkan dengan berbagai upaya. Pada saat awal-awal menulis, saya sendiri seperti orang yang tengah punya semangat ’45, sebentar-sebentar menulis, apa yang ada dipikiran semua dikeluarkan, lebih-lebih karena kebanyakan pun dimuat di berbagai media. Namun lambat laun, kemalasan pun menyapa, rasa berdosa tak pernah menulis pun mulai tak begitu kentara. Tapi memang demikian adanya, bahwa para penulis itu akan bertemu dengan kegalauan adalah fenomena yang biasa. Namun beberapa teman penulis yang juga pernah mengalami situasi galau—dan sejenisnya, justru dengan hebatnya menjadikan kegalauannya sebagai sarana untuk berkreasi, handal sekali memainkan kata untuk memberikan semangat dan inspirasi,  mengunggah  rasa penulis lainnya untuk tetap menulis. Diantaranya yang saya suka, tulisan ‘Lakukan Sendiri Ketika Semua Tuli’, dimana Makmur dengan mantapnya menyerukan: 
“Ini jaman buruk bagi penulis yang selalu menyodorkan pemikirannya dalam setiap karyanya. Ketika kritikan dan solusi dianggap angin lalu. Ketika kata-kata dianggap sebatas kreativitas saja. Ketika tulisan hanya dianggap keahlian dalam memainkan kata-kata. Maka mari lakukan sendiri wahai penulis! Mereka telah tuli!........  Menulislah untuk diri sendiri dan mengerjakannya sendiri, atau bersama orang-orang yang sependapat.”

Juga tulisan “Menulis demi Penyelematan”-nya Bisma, dimana beberapa point diantaranya seperti ‘mencubit’ saya yang tengah nakal karena malas menulis:
“Kata Jean-Francois Lyotard, “Apa yang mengancam dalam karya berpikir (atau menulis) adalah bukan meninggalkan cerita, tetapi menganggap menjadi sempurna”. Ketepatan, kerapian, kedalaman, dan perampungan adalah keharusan dalam menulis. Namun, menuntut diri menjadi sempurna adalah hal sia-sia. Menulislah tanpa harus gelisah pada sempurna atau tidak.
.....................................................
Jadi, jika bukan untuk dapat uang, mengubah keadaan dalam sekejap, memperoleh kemasyhuran, atau disenangi lawan jenis, lantas apa tujuan menulis yang ideal? Saya cuma punya satu tujuan, yang kemudian menjadi moto hidup, yaitu “menulis demi penyelamatan” (setidaknya kita sudah menyelamatkan pemikiran diri melalui menulis).”

Saya tidak tau, apakah temans dapat memaknai dalamnya rangkaian makna pada beberapa kutipan tulisan di atas. Tapi tulisan-tulisan itu memiliki jasa tersendiri bagi saya. Salut dan terima kasih untuk sang penulis.

Karena sudah terlalu panjang, mari kita sadaqallah-kan saja tulisan ini dengan beberapa kutipan.
“Rekamlah suara anda selama satu minggu tanpa henti kemudian dengarlah. Anda akan segera tersadar, bahwa banyak hal yang bisa anda tulis.” –Anonymous
“Di zaman dulu, kita tidak wajib untuk belajar menulis. Tapi di zaman modern ini, apakah ada alasan menyakinkan untuk tidak perlu pintar menulis?”  Anonymous

 ---------------------------------------


Recomended (my friend's) essay to motivate you writing:

Komentar

Postingan Populer