Mengkomunikasikan Perasaan
"Wanita tidak suka menjelaskan apa
yang diinginkannya, tapi mengharuskan laki-laki untuk mengerti."
Kutipan kalimat itu pernah saya
baca kala itu dari akun facebook Mario Teguh. Dan untuk pertama kalinya saya
tidak sepakat dengan apa yang beliau himbaukan. Bagi saya pernyataan tersebut
sedikit kurang logis. Mengapa? Bukankah makna dari pernyataan tersebut adalah
mengajak kita agar apapun yang dirasakan oleh pasangan, harus mampu kita pahami
meski tanpa dijelaskan dan diungkapkan? Benar bahwa sebagai orang yang sangat
dekat dengan pasangan, idealnya kita memiliki kemampuan khusus dalam memahami
nya, apa lagi bagi mereka yang sudah menjalin hubungan cukup lama, harusnya
sudah cukup paham karakter, pola pikir, dan tingkah laku pasangan. Kemampuan
tersebut biasanya kita identifikasi melalui kebiasaan-kebiasaan yang sudah kita
ketahui. Namun kita kan juga bukan Tuhan, tukang ramal atau apapun lah yang
memiliki kemampuan untuk mampu membaca segala isi hati, pikiran, keinginan dan
perasaan jika tanpa dijelaskan dan dikomunikasikan? Karena tak jarang, bahkan
di saat pasangan kita sudah berusaha mencoba melakukan suatu hal dengan cara
menebak dan memperkirakan bahwa hal yang dilakukannya itu akan menyenangkan
hati pasangan, ternyata hal tersebut jauh dari yang kita harapkan. Demikian
juga sebaliknya, saat kita merasa sudah melakukan sesuatu yang kita ketahui
biasanya hal tersebut akan menyenangkan pasangan, ternyata mereka malah tidak
senang bahkan marah. Karena apa? Tidak adanya proses komunikasi dengan baik
yang kemudian dapat dijadikan informasi dan dasar pengetahuan untuk mengetahui
pasangan dengan objektif, bukan sekedar menebak-nebak, meramalkan, atau
berasumsi. Syukur-syukur kalau tebakannya benar, bagaimana kalau salah.
Untung-untung kalau kemudian hal tersebut tidak malah menjadi akar konflik.
Saya sendiri sering melihat
fenomena seperti ini di antara beberapa pasangan yang saya temui. Mereka yang
terkadang ribut dengan jenis percakapan yang cenderung sama “mengapa kamu ga
ngerti perasaan aku?” dan pasangannya dengan gamblang menimpali “gimana aku
bisa tau, kamu ga pernah bilang” jika kemudian semakin menjadi-jadi “seharusnya
kamu bisa ngerti meskipun aku ga bilang, ga sensi banget sih kamu”, dan
lain-lain, dan lain sebagainya. Saya merasa bingung setiap kali mendengar
pertengkaran yang seperti ini.
Helloooooo... apa yang kita rasakan dan kita pikirkan, hanya kita
sendiri dan Tuhan yang paling mengetahui persisnya. Bagaimana mungkin kita
dengan bodohnya marah saat orang tidak mengetahui sesuatu yang abstrak dan tak
tampak. Bagaimana mungkin kita harus marah saat orang tidak mampu menebak
dengan sempurna dan detail kucing seperti apa yang terdapat di dalam karung.
Apa lagi, pola pikir, perasaan dan tingkah laku antara pria dan wanita pada
dasarnya cukup jauh berbeda. Terkadang, mereka yang sudah bertahun-tahun
berpacaran dan menikah pun tidak sedikit yang belum benar-benar paham
sepenuhnya bagaimana sudut pandang dan tingkah laku lawan jenisnya, kita
cenderung memperepsikan sesuatu menurut cara pandang kita saja tanpa
benar-benar tau mengenai cara pandang pasangan dan menganggapnya lumrah. Atau
jika pun terdapat benturan, di situlah pentingnya peran komunikasi yang baik
untuk saling menyatakan dengan pantas untuk kemudian mencapai kesepakatan
bersama demi terjalinnya hubungan yang lebih damai.
Sebaliknya, kita justru hanya
memendam keinginan dan kekesalan di dalam hati. Dan berharap, akan sangat
membahagiakan jika pasangan dapat mengetahuinya. Di saat ternyata harapan kita
tidak menjadi kenyataan, kita marah dan kecewa. Di sisi lain, pasangan kita
tengah kebingungan, apa yang salah dari tindakannya. Padahal kita lah yang
hidup di dunia khayalan. Di saat kita tengah memikirkan bunga, maka harusnya
tiba-tiba langsung saja datang pangeran yang membawakan kita bunga. Di saat
kita tengah menghadapi masalah, kita berharap pasangan kita dapat menghibur
kita, padahal kita tak pernah memberi tau bahwa kita tengah di landa
masalah. Karena yang harus dipahami,
terkadang tanpa sadar kita membawa
ketakutan, keinginan dan hasrat yang kita miliki pada berbagai situasi. Kita
tidak hanya menghadapi situasi dan seseorang sebagaimana apa adanya, alih-alih,
kita terlibat dengan lingkungan sosial dengan memproyeksikan
kebutuhan-kebutuhan, ketakutan dan hasrat kita ke sesuatu yang ada di dalam
lingkungan tersebut. Dengan demikian, jika kita berbicara dengan orang asing
misalnya, tak jarang kita tidak hanya bertindak terhadap orang tersebut
sebagaimana adanya; kita bertindak dalam konteks kebutuhan kita atau ketakutan
kita. Kadang kala, berbagai masalah yang tidak terselesaikan dengan seseorang
yang penting di masa lalu dapat mempengaruhi bagaimana kita berhubungan dengan
seseorang di masa kini (Gerald C. Davison dkk, 2006:54-55).
Sehingga, tanpa sadar kita pun
memproyeksikan kecemasan dan perasaan tak nyaman yang kita rasakan menyangkut
masalah pribadi kita terbawa-terbawa saat berhadapan dengan pasangan. Atau
harapan-harapan yang kita peroleh dari drama-drama percintaan, perlakuan ideal
masa lalu dari mantan yang ikut terproyeksi menjadi harapan-harapan yang kurang
realistis terhadap pasangan. Sense
itu memang sangat diperlukan dalam menjalin hubungan, bahkan harus kita asah
jika ia memang sangat tumpul. Namun mengkomunikasikan dengan baik apa yang kita
pikirkan, rasakan, inginkan, khawatirkan, situasi yang tengah kita hadapi,
rasanya juga tidak ada salahnya. Jika toh sudah dikomunikasikan dengan baik,
pasangan tetap tak paham, itu sudah lain ceritanya. Karena seperti yang seorang
teman ajarkan pada saya, “Ga akan ada maslah dan konflik di dunia ini, kalau
semuanya mampu dikomunikasikan dengan baik.”



Komentar
Posting Komentar