Mc-Donalisasi Politik
*Dimuat di Harian Serambi Indonesia (17 Mei 2014)
UNTUK diketahui, tulisan ini bukanlah ditujukan untuk promosi sebuah brand produk ternama tertentu, namun ingin melihat bagaimana modernisasi yang digambarkan oleh George Rietzer melalui sebuah istilah unik yang ia sebut dengan Mc-Donalisasi. Mengapa Mc-Donalisasi? Rietzer (2002) menggambarkan bahwa kehidupan modern sangat identik dengan pola cepat-saji beserta segala komponennya menyerupai pola yang dilakukan oleh Mc-Donald. Sasaran perhatian Rietzer adalah pada penggunaan rasionalitas formal yang dijadikan dasar oleh paradigma cepat saji, dimana ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal, yakni: efisiensi (mencari cara terbaik demi mencapai tujuan), kemampuan untuk diprediksi (predictable), lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas, penggantian teknologi non-manusia untu teknologi manusia-bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rational).
Rietzer ingin menjelaskan kepada kita bahwa jika kita ditanyai orang, apa itu modernisasi, apa ciri-ciri untuk mengidentifikasinya, lihat saja pada pola Mc-donalisasi. Apa yang dinyatakan Ritzer sesungguhnya bukanlah hal yang baru, bukan hal yang mengagetkan. Untuk konteks kekinian, kita melaluinya hampir setiap saat atau paling tidak tengah menuju ke arah sana. Karena pola cepat saji atas nama efisiensi dan rasionalitas memang tengah gencar-gencarnya diterapkan dalam berbagai usaha bisnis, pelayanan, birokrasi dan berbagai sektor kehidupan lainnya, atas nama modernisasi. Kita secara sadar ataupun tidak mulai tergiring agar segala sesuatunya dapat menjadi serba praktis, gampang, efisien, murah, cepat saji; terserah bagaimana caranya, kualitas sudah tidak begitu penting lagi, dan yang sudah pasti berusaha menghindari kerepotan sebisa mungkin melalui penggunaan teknologi non-manusia yang jauh lebih canggih.
Pola Mc-Donalisasi
Dari pada harus mengajak lawan politik untuk bersepakat secara damai demi menyatukan kepentingan atau melakukan persaingan politik yang sehat, lebih baik melakukan black campaigne, atau sekalian saja dimusnahkan melalui cara-cara politis dan kekerasan. Dan dibandingkan harus berinteraksi secara langsung saat melakukan kampanye politik dan sosialisasi kebijakan misalnya, politisi dan pemerintah akan lebih memilih cara-cara praktis melalui penggunaan teknologi seperti pencitraan di berbagai media, memperkenalkan lewat spanduk, baliho dan poster. Dengan ini, capaian dapat terpenuhi (efisien), dianggap rasional (mengingat kapasitas politik secara objektif masyarakat yang juga masih rendah), lebih mudah diprediksikan hasilnya, dan yang jelas tidak perlu repot-repot memikirkan kualitas. Jadilah ia kemudian politik cepat saji, bahkan asal jadi.
Belum lagi jika menyimak pernyataan Anthony Downs, “Partai-partai dalam kehidupan politik demokratis ada kalanya sama saja dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba”. Mereka, atas nama pencari laba, entah itu di sektor ekonomi, politik, dan lain sebagainya tentu tidak akan mau repot-repot membuang energi yang mereka anggap tidak perlu, asalkan mampu menjual barang atau jasa dengan cepat, banyak dan menguntungkan. Kecuali jika mayoritas konsumen sudah cerdas, bisa saja mereka akan mempertimbangkan untuk menghasilkan proses dan produk yang berkualitas. Jika tidak, pola dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya pun tetap akan menjadi paradigma utama.
Hal ini kemudian menjelaskan kepada kita bahwa ternyata di zaman modern kini, pihak yang mempunyai karakter politik otoriter -sekalipun mereka yang berlabelkan demokrasi- dan didukung kekuatan mumpuni akan menindak pihak manapun yang dianggap menentang kepentingannya untuk dilenyapkan dengan cara dibumihanguskan, karena hal ini dianggap jauh lebih efisien. Kita kemudian dapat lebih memahami mengapa Amerika Serikat misalnya, lebih memilih melakukan tindakan pemusnahan secara habis-habisan bahkan terang-terangan terhadap pemerintah maupun warga masyarakat di sebuah negara yang tidak sepakat dengan kepentingan politiknya. Dibandingkan harus melakukan upaya diplomatis berkepanjangan, atau upaya militer yang perlahan dan memakan banyak waktu, melakukan upaya melenyapkan dengan cara ‘sekali sikat’ dianggap akan jauh lebih efektif, efisien dan menguntungkan.
Pola cepat saji
Kekhawatiran atas dehumanisasi dan demoralisasi (politik) tentu saja menguat. Eksistensi dan nilai-nilai kemanusiaan dipertanyakan. Kita yang kini harus senantiasa berurusan dengan mesin dan segala macam teknologi canggih saja kemudian menjadi dasar anggapan bahwa sudah terjadi dehumanisasi secara maksimal dalam kehidupan. Apalagi mereka yang melakukan cara-cara irrational of rational dalam politik, bisa saja mereka menganggap sudah modern dalam cara-cara pencapaian tujuan, namun secara moral mereka jauh lebih primitif.
Menganggap manusia bukan manusia, memperlakukan manusia bukan sebagai manusia, mengabaikan esensi kualitas kehidupan, apakah hal tersebut sungguh-sungguh masuk akal? Saya seketika teringat dengan fenomena American Paradox yang dipopulerkan oleh psikolog David Myes, “Masyarakat saat ini jauh lebih maju, jauh lebih kaya (dari pada masyarakat sebelumnya), tetapi kita menghadapi penurunan moral dan peningkatan depresi psikologis. Kita menjadi semakin modern, semakin mendapatkan kebebasan, teknologi semakin canggih. Namun kita semakin teralienasi dari diri kita sendiri, dari orang lain, dari alam.” Menyedihkan.
Link Online Serambi Indonesia - McDonalisasi Politik
UNTUK diketahui, tulisan ini bukanlah ditujukan untuk promosi sebuah brand produk ternama tertentu, namun ingin melihat bagaimana modernisasi yang digambarkan oleh George Rietzer melalui sebuah istilah unik yang ia sebut dengan Mc-Donalisasi. Mengapa Mc-Donalisasi? Rietzer (2002) menggambarkan bahwa kehidupan modern sangat identik dengan pola cepat-saji beserta segala komponennya menyerupai pola yang dilakukan oleh Mc-Donald. Sasaran perhatian Rietzer adalah pada penggunaan rasionalitas formal yang dijadikan dasar oleh paradigma cepat saji, dimana ada empat dimensi atau komponen rasionalitas formal, yakni: efisiensi (mencari cara terbaik demi mencapai tujuan), kemampuan untuk diprediksi (predictable), lebih menekankan kuantitas ketimbang kualitas, penggantian teknologi non-manusia untu teknologi manusia-bentuk rasionalitas inilah yang cenderung menyebabkan ketidakrasionalan dari sesuatu yang rasional (the irrationality of rational).
Rietzer ingin menjelaskan kepada kita bahwa jika kita ditanyai orang, apa itu modernisasi, apa ciri-ciri untuk mengidentifikasinya, lihat saja pada pola Mc-donalisasi. Apa yang dinyatakan Ritzer sesungguhnya bukanlah hal yang baru, bukan hal yang mengagetkan. Untuk konteks kekinian, kita melaluinya hampir setiap saat atau paling tidak tengah menuju ke arah sana. Karena pola cepat saji atas nama efisiensi dan rasionalitas memang tengah gencar-gencarnya diterapkan dalam berbagai usaha bisnis, pelayanan, birokrasi dan berbagai sektor kehidupan lainnya, atas nama modernisasi. Kita secara sadar ataupun tidak mulai tergiring agar segala sesuatunya dapat menjadi serba praktis, gampang, efisien, murah, cepat saji; terserah bagaimana caranya, kualitas sudah tidak begitu penting lagi, dan yang sudah pasti berusaha menghindari kerepotan sebisa mungkin melalui penggunaan teknologi non-manusia yang jauh lebih canggih.
Pola Mc-Donalisasi
Lantas apa hubungannya dengan
politik? Ternyata pola dan proses politik yang berjalan di era modern di
antaranya juga ditandai oleh pola Mc-Donalisasi, termasuk dalam hal pencapaian
tujuan politik. Pola aktivitas yang ingin segalanya serba praktis, efisien,
meski harus mengabaikan kualitas juga berkembang menjadi sikap-sikap politik
baik yang dilakukan elit maupun kelompok masyarakat tertentu. Dari pada harus
repot-repot memberikan sosialisasi politik atau melakukan aktivitas politik
‘merepotkan’ lainnya yang dapat meningkatkan kualitaspolitik masyarakat, lebih
baik melakukan upaya mobilisasi, manipulasi, hegemoni, money politic dan
intimidasi.
Dari pada harus mengajak lawan politik untuk bersepakat secara damai demi menyatukan kepentingan atau melakukan persaingan politik yang sehat, lebih baik melakukan black campaigne, atau sekalian saja dimusnahkan melalui cara-cara politis dan kekerasan. Dan dibandingkan harus berinteraksi secara langsung saat melakukan kampanye politik dan sosialisasi kebijakan misalnya, politisi dan pemerintah akan lebih memilih cara-cara praktis melalui penggunaan teknologi seperti pencitraan di berbagai media, memperkenalkan lewat spanduk, baliho dan poster. Dengan ini, capaian dapat terpenuhi (efisien), dianggap rasional (mengingat kapasitas politik secara objektif masyarakat yang juga masih rendah), lebih mudah diprediksikan hasilnya, dan yang jelas tidak perlu repot-repot memikirkan kualitas. Jadilah ia kemudian politik cepat saji, bahkan asal jadi.
Belum lagi jika menyimak pernyataan Anthony Downs, “Partai-partai dalam kehidupan politik demokratis ada kalanya sama saja dengan wiraswastawan dalam suatu ekonomi yang memburu laba”. Mereka, atas nama pencari laba, entah itu di sektor ekonomi, politik, dan lain sebagainya tentu tidak akan mau repot-repot membuang energi yang mereka anggap tidak perlu, asalkan mampu menjual barang atau jasa dengan cepat, banyak dan menguntungkan. Kecuali jika mayoritas konsumen sudah cerdas, bisa saja mereka akan mempertimbangkan untuk menghasilkan proses dan produk yang berkualitas. Jika tidak, pola dengan modal yang sekecil-kecilnya untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya pun tetap akan menjadi paradigma utama.
Bauman (1989) mengamini lebih
lanjut mengenai proses politik yang bersifat Mc-Donalisasi ini. Ia menjelaskan
mengenai tindak kekerasan politik berskala luas hingga taraf Holocaust yang
merupakan pola Mc-Donalisasi yang diterapkan dalam pencapaian tujuan politik di
era modern. Jangankan menganggapnya sebagai sesuatu yang abnormal, Bauman
menggambarkan bahwa Holocaust sekalipun akan dianggap sebagai hal yang normal
dan wajar atas nama efisiensi. Ia mencontohkan bagaimana Nazi Jerman menganggap
Yahudi sebagai musuh yang harus disingkirkan, namun upaya penyiksaan atau
cara-cara konvensional lainnya dianggap sudah tidak efisien. Musuh politik
adalah objek yang harus dibuang dari angka dalam “buku besar” dan mereka sudah
tak dipandang sebagai manusia. Dan birokrasi yang menciptakan serta mengelola
pemusnahan ini bukanlah orang gila melainkan mereka yang terlihat rasional dan
sangat normal.
Hal ini kemudian menjelaskan kepada kita bahwa ternyata di zaman modern kini, pihak yang mempunyai karakter politik otoriter -sekalipun mereka yang berlabelkan demokrasi- dan didukung kekuatan mumpuni akan menindak pihak manapun yang dianggap menentang kepentingannya untuk dilenyapkan dengan cara dibumihanguskan, karena hal ini dianggap jauh lebih efisien. Kita kemudian dapat lebih memahami mengapa Amerika Serikat misalnya, lebih memilih melakukan tindakan pemusnahan secara habis-habisan bahkan terang-terangan terhadap pemerintah maupun warga masyarakat di sebuah negara yang tidak sepakat dengan kepentingan politiknya. Dibandingkan harus melakukan upaya diplomatis berkepanjangan, atau upaya militer yang perlahan dan memakan banyak waktu, melakukan upaya melenyapkan dengan cara ‘sekali sikat’ dianggap akan jauh lebih efektif, efisien dan menguntungkan.
Pola cepat saji
Pola perilaku politik yang cepat
saji dan mengatasnamakan efisiensi juga telah diresapi baiksecara sadar atau
tidak oleh beberapa kelompok dan birokrasi di Indonesia pada umumnya, dan di
Aceh khususnya, termasuk dalam hal melantak pihak-pihak dan kelompok lain yang
dianggap berseberangan dengan mereka. Dibandingkan harus berkompetisi secara
bersih dan sehat, berdialog secara diplomatis demi mencapai kesepakatan,
meningkatkan hubungan baik secara langsung dengan masyarakat dan membinanya, mereka
lebih memilih cara yang lebih ‘efisien’ hingga taraf menciptakan hollocaust
kecil-kecilan atas nama kepentingan. Apa yang terjadi?
Kekhawatiran atas dehumanisasi dan demoralisasi (politik) tentu saja menguat. Eksistensi dan nilai-nilai kemanusiaan dipertanyakan. Kita yang kini harus senantiasa berurusan dengan mesin dan segala macam teknologi canggih saja kemudian menjadi dasar anggapan bahwa sudah terjadi dehumanisasi secara maksimal dalam kehidupan. Apalagi mereka yang melakukan cara-cara irrational of rational dalam politik, bisa saja mereka menganggap sudah modern dalam cara-cara pencapaian tujuan, namun secara moral mereka jauh lebih primitif.
Menganggap manusia bukan manusia, memperlakukan manusia bukan sebagai manusia, mengabaikan esensi kualitas kehidupan, apakah hal tersebut sungguh-sungguh masuk akal? Saya seketika teringat dengan fenomena American Paradox yang dipopulerkan oleh psikolog David Myes, “Masyarakat saat ini jauh lebih maju, jauh lebih kaya (dari pada masyarakat sebelumnya), tetapi kita menghadapi penurunan moral dan peningkatan depresi psikologis. Kita menjadi semakin modern, semakin mendapatkan kebebasan, teknologi semakin canggih. Namun kita semakin teralienasi dari diri kita sendiri, dari orang lain, dari alam.” Menyedihkan.
Link Online Serambi Indonesia - McDonalisasi Politik



Komentar
Posting Komentar