Great Advice





Kali ini saya hanya tengah ingin meluangkan sedikit waktu menuliskan dan merunut kembali hasil dari perbincangan ringan namun penuh makna yang terjadi antara saya dengan salah seorang teman sejawat saat tengah mengawas tes seleksi penerimaan siswa baru di tempat saya mengajar. Kala itu, mungkin karena tengah bosan-bosannya mengawas dari pagi hingga siang, dan berhubung pengawas dilarang melakukan aktivitas apapun selain mengawasi, say dan Kak Fera yang merupakan guru pengasuh mata pelajaran Biologi akhirnya terbawa juga untuk terlibat pada perbincangan hangat untuk saling bertukar pikiran mengenai banyak hal. Beliau masih cukup muda, usianya baru sekitar 28 tahun, mungkin hanya 4 tahun di atas saya. Beliau sudah berkeluarga dan memiliki seorang balita. Beliau orang yang sangat ramah dan penuh perhatian. Padahal selama ini kami tidak begitu sering ngobrol kecuali menyangkut masalah pekerjaan. 

Suatu sore, ketika hanya tinggal kami berdua di ruang guru, beliau bercerita tentang anak perempuannya yang tengah imut-imutnya. Dari sana, beliau juga sedikit bercerita tentang kehidupan rumah tangga nya. Yang mengejutkan, tiba-tiba beliau menyatakan kepada saya, “Santi, nanti kalau memilih pasangan hidup, paling tidak harus bisa yang mememuhi 3 kriteria: bisa menjadi imam dan tau agama, yang sayang sama santi, dan mapan. Tapi sebelumnya, santi harus mau membuka hati dulu. Kalau tidak, santi akan sulit menemukan pasangan hidup santi. Dulu kakak juga seperti itu, kesannya kok ga nemu-nemu yang sesuai keinginan. Tapi begitu kakak membuka hati, merasa sudah benar-benar siap untuk menjalin hubungan yang serius, tiba-tiba ada saja yang datang. Kalau kita belum benar-benar membuka hati, yang di depan mata pun tidak akan terlihat dek. Kemudian, jangan terlalu banyak menjadikan kriteria-kriteria yang tidak begitu penting sebagai pertimbangan. Bayangkan saja ya, kalau kita mencari sesuai dengan apa yang kita mau sedangkan di tempat lain calon jodoh kita juga tengah sibuk mencari sesuai dengan apa yang dia mau, jadinya kan ga ketemu-ketemu. Harusnya kita mencari orang yang tengah mencari kita atau kita menunggu saja orang yang tengah mencari kita”. Saya terperangah hingga tak bisa tidur malam itu. Rasa nya saya tak pernah menceritakan apapun tentang diri, kehidupan dan masalah saya pada Kak Fera, tapi mengapa beliau seolah mampu menyelam dan membaca sesuatu yang saya sendiri tidak menyadarinya. Tersentuh sekali mendengarnya dan saya merasa sepertinya harus banyak menggali lagi dari beliau. Oleh karenanya ketika kamu dipasangkan untuk mengawas seleksi siswa baru bareng, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk banyak bertanya tentang apapun yang kira-kira dapat menambah nilai-nilai berharga baru dari beliau.

Hari itu, saya membuka perbincangan mengenai, mengapa saya merasa para orang tua yang ada di Aceh kesannya punya standar dan harapan terlalu tinggi yang dicatutkan pada calon menantu mereka, sehingga tak jarang saya mendengar banyak teman-teman yang terpaksa putus (lebih tepatnya diputuskan) karena orang tuanya tidak menyetujui hubungan mereka hanya karena landasan yang sifatnya terkesan bias seperti, karena anti dengan suku tertentu, bukan dari kampung halaman yang sama, tidak sebanding status sosialnya, belum lagi jika bicara persoalan mahar, dsb. Padahal jika kita lihat, sosok yang dipilih sudah cukup baik, namun di mata orang tua kok tidak ada pantas-pantasnya. Namun dengan mantapnya Kak Fera mampu mengubah paradigma saya dengan menyatakan, “Memang, terkadang kita melihat orang tua kita kok kesannya muluk-muluk sekali dalam menentukan pasangan hidup kita. Tapi yang harus dipahami, selain mereka menginginkan yang terbaik untuk kita, mereka itu hidup jauh lebih lama dari kita sehingga mereka memang jauh lebih mengetahui karena didasarkan pada pengalaman hidup yang sudah mereka lalui. Hal ini yang jarang kita pertimbangkan. Di agama saja sudah dinyatakan kan dek, pilihlah pasangan berdasarkan 4 hal, Kecantikannya, Keturunannya, Hartanya dan paling tidak agamanya. Yang paling ideal tentu jika memiliki keempat-empatnya, selemah-lemahnya adalah pada salah satu nya”. 

Saya menimpali, bahwa saya sendiri juga tidak sepakat jika harus menentang orang tua demi mempertahankan hubungan dengan pasangan. Saya ingat sekali saat suatu ketika kerabat saya tidak disetujui hubungannya oleh orang tua pasangannya hanya karena ia tidak bergelar ‘Cut’. Padahal saya tau betul ia dalah seorang wanita yang shalihah, cantik, pintar dan dari keluarga baik-baik, bahkan berada. Namun orang tua sang kerabat saya tersebut justru menyerukan, “Sebaiknya jangan diteruskan lagi. Jika orang tua pasanganmu tidak merestui, jangan dipaksakan. Pernikahan itu bukan hanya hubungan menyangkut dua orang semata, tapi juga bagaimana mempertautkan dua keluarga”. Kerabat saya tersebut mematuhi dengan ikhlas dan kini ia mendapat pasangan yang sangat ideal baginya, diperlakukan dengan sangat baik oleh keluarga dari pihak pasangannya dan hidup dengan bahagia.

Lantas Kak Fera menguatkan, “Benar dek, nanti suatu saat adek akan merasakan sendiri, betapa kita sebenarnya jauh lebih butuh keluarga setelah menikah, terutama di awal-awal pernikahan. Tingkat rumah tangga yang direstui sepenuhnya oleh keluarga kedua belah pihak saja masih banyak masalahnya, bagaimana lagi jika kita dimusuhi oleh keluarga. Belum lagi jika terjadi hal-hal buruk di luar harapan kita, ketika kita suatu ketika bermasalah dengan pasangan apalagi hingga taraf kita bercerai, kalau bukan ke keluarga, kemana lagi kita harus pergi? Lagi pula, kita juga seharusnya jangan terlalu termakan oleh apa yang disuguhkan oleh tontonan. Sinetron, film dan berbagai jenis acara TV lainnya yang hampir setiap hari kita tonton kan tidak jarang yang menyuguhkan kisah percintaan dramaris yang mungkin tanpa sadar sudah mempengaruhi pola pikir kita agar mempertahankan hubungan dengan pasangan bagiamanapun caranya meski harus menentang orang tua. Kita ga sadar lho dek terbawa pada arus pikiran yang demikian, padahal itu salah.”

Saya kemudian tertarik pada hal lain, yakni ketika Kak Fera menyatakan bahwa kehidupan di awal-awal pernikahan sepertinya cukup atau malah sangat berat. Yaa..yang namanya memulai sesuatu emang ga mudah sih pastinya. Hidup ini pun mana juga yang mudah terus. Aku menganggapnya biasalah, dinamika dalam berumah tangga (So tau banget yah, hehehe...). Tapi aku kira, setidaknya untuk orang sesederhana, sebaik, sebijak dan sedewasa Kak Fera pasti tidak akan sulit melewatinya. Kak Fera lantas merespon, “Kehidupan di awal pernikahan itu, jujur, memang berat sekali dek, dan hal ini lumrah. Kita yang biasanya hidup sendiri, segala kebutuhan dapat kita penuhi dan begitu menikah kita diminta mengontrol ego sebaik mungkin demi kepentingan rumah tangga. Ga gampang lho dek, mengontrol ego itu. Di awal-awal kita malah sampai merasa seperti shock, bagaimana membagi waktu dengan segudang tanggung jawab yang harus dipenuhi terutama bagi kita yang juga bekerja di luar rumah, bagaimana ketika terjadi konflik dengan pasangan apalagi jika sudah menyangkut prinsip yang bertentangan, bagaimana memenuhi kebutuhan yang terkadang rasanya cukup ga cukup, dan lain sebagainya. Ayah saya sampai pernah bilang dek, suatu ketika memang akan ada masa di dalam rumah tangga dimana rasanya kita benar-benar terguncang, perahu rasanya seperti mau terbalik. Tapi itu hanyalah salah satu fase yang harus dilalui dan sudah tentu itu juga bukanlah alasan untuk melepas begitu saja tanggung jawab mempertahankan rumah tangga.”

Saya bahkan sampat mempertanyakan kepada Kak Fera, lantas ketika saya mendapati para seseorang yang entah bodoh atau jangan-jangan luar biasa ketika di saat mereka mendapati pasangannya berkhianat, bukannya memilih berpisah, mereka malah dengan sabar bertahan hingga pasangannya akhirnya kembali padanya (ini bagi kasus yang beruntung sih). Kaka Fera selanjutnya ikut berkomentar, “Memang bagi kita itu mungkin terlihat bodoh, tapi mungkin karena kita tidak berada pada posisi mereka dek (jangan sampai deh..). Bagi perempuan, Janda itu salah satu status sosial yang sangat rendah di mata masyarakat. Kalau kita Janda, okelah dek kalau kita masih muda dan punya keluarga sebagai tempat berlindung. Bagi yang tidak, harus mengharap perlindungan pada siapa? Tanpa suami, orang pun jadi tidak takut semena-mena pada kita. Kita pergi ke pasar saja misalnya, orang mungkin sudah tidak segan lagi mencolek kita, lha kan sudah tidak ada suami lagi. Belum lagi jika bicara mengenai kebutuhan lainnya.”

Saya lama berpikir hingga hening cipta sejenak sedemikian lama. Ada banyak pernyataan dari Kak Fera yang bertubrukan dengan pemikiran dan keyakinan di dalam benak saya. Ada banyak pemikiran dan keyakinan yang selama ini saya anggap teguh sebagai sebuah kebenaran, pudar dan punah pelan-pelan karena pemaparan lembut Kak Fera. Saya tidak bisa mengabaikan begitu saja, karena yang menyampaikan adalah orang yang memang harus dipertimbangkan, secara beliau sudah menjalani dan mengalaminya secara langsung. Saya disuguhkan pada suatu paradigma dari suatu sudut pandang yang berbeda namun sangat mengena.

Terima Kasih Kak Fera.. It's super meaningful!

Komentar

Postingan Populer