Aku dan Pilihan (Politik) Ku





Sesekali ingin juga memberikan seutas pendapat sekedar mengemukakan apa yang tengah berkecamuk di pikiran menyangkut proses politik yang tengah hangat-hangatnya berlangsung. Rasanya tidak se-concern ini saat pemilihan anggota legislatif pada 9 April kemarin. Meski saya juga ikut memberikan pilihan politik, namun karena sepertinya saya tidak begitu berharap banyak. Sebut saja hanya sekedar menjalankan kewajiban, memilih ‘yang dianggap terbaik dari sekian banyak yang sebenarnya belum memuaskan’. Oleh karenanya saya pribadi tidak begitu antusias. Berbeda sekali dengan pertarungan pada pemilihan presiden kali ini. Perbincangan dimana-dimana terlalu hangat, bila tidak saya sebut berapi-api. Untuk diam saja rasanya sedikit disayangkan. Ingin sekali, pihak yang menjadi pilihan saya benar-benar dapat memenangkan pertarungan, karena saya anggap benar-benar pantas memimpin. Bukan sekedar terpaksa memiliih diantara yang ada.

Seluruh masyarakat Indonesia tentu sudah mengetahui bahwa pasangan Capres-Cawapres yang akan bertarung pada pemilu 9 Juli nanti hanya diramaikan oleh dua pasang calon, yakni Jokowi – Jusuf Kalla yang diusung oleh Partai PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dll; serta pasangan Prabowo – Hatta Rajasa (baca:Prahara) yang diusung oleh partai Gerindra, PKS, PBB, PAN, PPP, Golkar, dll. Tidak seperti sebelum-sebelumnya dimana terdapat cukup banyak pasangan calon yang akan membuat kita sedikit kebingungan dalam menentukan pilihan, kali ini kita disuguhkan suatu battle politik yang cukup sengit. Kalau bukan A, ya B. Tidak perlu repot-rept berpikir tentang C, D, E apa lagi Z. Sekilas peta politik terlihat seimbang. ’Di atas kertas’, dukungan politik dimenangkan oleh Prahara, namun secara elektabilitas dan popularitas Jokowi - JK jauh lebih unggul. Lantas, kita harus menjatuhkan pilihan hati pada siapa?

Apapun yang menjadi alasan, sebaik-baik landasan adalah yang didasarkan pada objektivitas-kualitas, bukan sekedar pragmatis-oportunistis belaka, harapan saya. Karena jika berbicara mengenai pemimpin bangsa adalah sama halnya berbicara mengenai nasib seluruh warga negara Indonesia serta kehidupan bangsa di segala bidang. Hal ini harus digarisbawahi tebal-tebal. Sehingga sikap-sikap politik yang sekedar didasari pada untung dan rugi bisa sedikit direduksi, setidaknya bukankah kita harus berkaca pada moralitas? Jikapun tidak semua masyarakat Indonesia mampu mempertimbangkan hal ini, selemah-lemah iman, mereka yang mengaku sebagai kaum terdidik harus mampu mengemban dan membangun logika politik yang jauh lebih waras. Oleh karenanya, terserah siapapun yang memimpin, selama memang memiliki moralitas yang sudah jelas-jelas dapat dipertanggungjawabkan, memiliki landasan programatik yang jelas dan terukur, bersih-tidak cacat hukum dan memiliki track record yang baik.

Lantas, jika ditanyakan kepada saya, siapa yang akan saya pilih? Tak perlu saya sebut nama, mari kita perhatikan seksama siapa sosok yang saya maksud (seperti main tebak-tebakan saja ya, hehe..). Catatan penting pertama, seperti yang saya sebutkan tadi yakni persoalan track record dan kinerja nyata. Saya tidak akan memilih Capres-Cawapres yang cacat secara hukum dan pernah melakukan tindakan kejahatan dalam sekala besar apa lagi jika tindakan tersebut belum dipertanggung jawabkan secara hukum. Tentu saja dalam hal ini, saya merasa lebih aman jika memilih Capres-Cawapres yang ‘bersih’. Bagaimana dengan kinerja nyata? Jelas! Saya akan lebih memilih pasangan calon yang sudah melakukan kinerja nyata, sudah pernah mengemban suatu tugas atau jabatan dengan baik. Apa lagi jika capres dan cawapres memang sama-sama orang yang tidak perlu diragukan lagi kapabilitas dan pengalamannya dalam memimpin. 

Pandangan lainnya yang mungkin terkesan sedikit subjektif adalah, saya tidak akan memilih pemimpin yang arogan. Ini prinsip! Betapa saya tidak menyukai pemimpin yang terkesan berwatak otoriter, emosional, obsesif dan memiliki karekter yang dapat mengancam keberlangsungan demokrasi. Pemimpin yang landasan utamanya adalah sekedar kekuasaan, kekuasaan dan kekuasaan. Yang terlihat akan melakukan segala cara demi pencapaian tujuan, baik melalui pencitraan dan transaksional berlebihan, hingga menghalalkan penggunaan kekerasan. Saya tidak suka! Berkali-kali sudah saya sebutkan bahkan dalam tulisan-tulisan saya, saya tidak suka dengan ‘HITLER’ dalam bentuk apapun.

Satu hal lagi yang paling penting, meski bagimanapun, landasan ideologi dan programatik kerakyatan tetap poros utama dalam salah satu penentuan. Tentu semua capres-cawapres akan mempromosikan diri sebagai pihak yang paling pro-rakyat, yang memiliki visi-misi paling ideal. Namun, silahkan ‘terawang’ dulu lebih lanjut, mana di antara mereka yang paling berwatak neoliberal, mana diantara mereka yang selama ini paling berpihak pada asing imperialis, mana diantara mereka yang kira-kira setelah menjabat nanti lebih dapat dipercaya dalam mewujudkan kemandirian nasional. Jangan lupa, ukur dan uji dalam-dalam mengenai visi-misi yang dipaparkan oleh setiap calon berdasarkan, mana yang lebih realistis, mana yang paling mampu membaca situasi objektif serta kebutuhan masyarakat secara komprehensif, program mana yang paling dapat dipertanggungjawbkan secara publik, dan mana yang programatiknya hanya angin surga semata.

Dan di atas semua hal itu, memilih adalah hal yang wajib. Jika pada pemilu legislatif lalu, saya tidak begitu mempermasalahkan mereka yang bahkan menyeru pada tindakan golput, namun tidak pada pemilu presiden kali ini. Bukan tanpa alasan, bahwa saya sudah melihat berbagai opini publik, dimana meskipun terdapat berbagi pihak yang pada dasarnya tidak menyenangi dan menghendaki secara antusias kedua calon pasangan Capres-Cawapres, namun saya tau betul bahwa mereka sangat antipati pada salah satu diantaranya. Sungguh jadinya omong kosong belaka, jika kita antipati terhadap salah satu calon—meski tidak mencintai yang lainnya, namun kita tidak berposisi sama sekali dan malah menyerukan golput. Saya harap mereka tidak lupa, bahwa bagaimanapun salah satu di antara mereka tetap akan menjadi Presiden dan Wakil Presiden kelak. Pasti! Sehingga, jika bersungguh-sungguh tidak ingin calon yang anda anggap akan memperburuk situasi akan memasuki istana, tidak ada pilihan lain selain mendukung calon lainnya meskipun tidak dipercayai untuk dapat membawa suatu perubahan besar. 

Saya harap masyarakat Indonesia dan Aceh dapat belajar dari kesalahan masa lalu yang telah berhasil menjadikan masyarakat Indonesia sebagai korban politik dari pasangan Capres-Cawapres tertentu. Mengeluh dikemudian hari sudah tidak ada gunanya. Namun setidaknya kita semua menjadi lebih paham, amburadulnya kehidupan bangsa dalam beberapa periode belakangan ini memang salah satunya disebabkan oleh kesalahan kita sendiri yang belum mampu mencerdasi pilihan politik untuk menentukan dengan pantas, siapa yang harusnya menjadi bapak negara Indonesia yang seharusnya. Tolong takar dengan sebaik-baiknya takaran, siapa yang paling layak. Pilihan yang tidak tidak akan membuat masyarakat Indonesia menangis menyesal selama 5 tahun ke depan.

Selamat memilih!

Komentar

Postingan Populer