Understanding More




Kedewasaan itu ternyata benar-benar membutuhkan proses. Bahkan terkadang harus menyita waktu, energi dan emosi. Agar dapat berpikir lebih terbuka, bersikap lebih bijak, lebih mampu memahami orang lain, lebih lapang dada, ikhlas dan tidak egois, kita harus lebih dulu mengalami kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan.

Kala itu saya mengenal seseorang dan saya menyimpulkan kepribadiannya dari apa yang saya lihat dan dari caranya memperlakukan saya. Sebagai teman kami terlalu sering berselisih paham meski cukup intens berkomunikasi. Situasi yang demikian berjalan cukup lama, sehingga akhirnya saya tidak betah dengan pola sikapnya. Konflik semakin sering dan menjadi-jadi. Dan yang ada di benak saya bahwa ia adalah orang yang 'jahat'. Terutama kala saya merasa bahwa ia bersikap kurang menyenangkan hanya terhadap saya. Memperhatikan kehidupan sosialnya, mustahil ia bersikap sama terhadap orang lain. 

Namun setelah saya membaca lebih jauh mengenai psikologi kepribadian, saya kemudian mendapati bahwa ternyata saya adalah tipe orang yang cenderung terlalu kritis terhadap orang lain. Hal ini yang kemudian membuat saya jadi langsung spontan berpikiran negatif bahkan emosional ketika mendapati respon yang kurang menyenangkan terhadap diri saya. Terkadang bukan orang lain yang selalu dan ingin menyakiti, namun kitanya saja yang terlalu sensitif, mudah tesinggung dan merasa tersakiti.

Yang di luar dugaan, saya mendeteksi adanya kejanggalan pada kepribadian teman tersebut. Sesuatu yang terlihat normal, namun tidak demikian ketika kita telah berteman sedikit lebih dekat dalam jangka waktu yang lumayan. Seketika saya merasa mental-breakdown karena diliputi rasa bersalah. Saya yang salah karena telah memiliki pola sikap yang skepstis terhadapnya selama ini, malah telah menghakimi seseorang yang juga skeptis terhadap orang lain. Ia juga tipe orang yang sulit percaya pada orang lain. Ia bersikap demikian bukan hanya terhadap saya. Dan ia pun malah pernah terseret ke dalam situasi sulit karena kepribadiannya itu, namun ia tidak menyadarinya. Ternyata, sedikitpun saya belum mengenalnya. Melalui memahami psikologi kepribadian, saya juga jadi mengetahui bahwa ada banyak hal—yang cenderung bersifat tragis—yang biasanya menyebabkan sesorang punya perilaku yang cenderung tidak seperti harapan kebanyakan orang. Bahkan meskipun ia tetap mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya, ia sebenarnya memiliki konflik dengan diri sendiri. Meskipun kita terkadang sulit menerima dan memahami keperibadiannya, namun saya sendiri merasa kasihan pada akhirnya.

Lalu waktu yang selama ini telah kami habiskan bersama penuh konflik itu apa? Ternyata saya yang salah, yang tidak memahami bahwa sikap saya berkontribusi terhadap konflik-konflik tersebut, juga kemampuan saya yang  terbatas dalam memahaminya. Benar bahwa, jika kita cuma menuntut tanpa memilkirkan perasaaan orang tersebut, kita hanya akan menyakiti satu sama lain. Hingga kini, penyesalan itu belum reda.

Hal ini bukan yang pertama kali. Rasanya sudah beberapa kali saya menjalin hubungan pertemanan yang sering berkonflik, padahal telah berhubungan dekat selama bertahun-tahun namun akhirnya baru menyadari bahwa kita belum pernah benar-benar mengenalnya, mengetahui kepribadiannya, lingkungannnya, masalah yang ia hadapi, penyebab-penyebab di luar kuasa dirinya yang berkontribusi terhadap konflik. Parahnya, ternyata kita bahkan belum mengenal diri sendiri, merasa diri yang paling benar, merasa selalu menjadi korban, padahal...

Komentar

Postingan Populer