Memiliki



Saya tengah berpikir, ketika flash back, mengingat berbagai pengalaman mengenai kedekatan dengan beberapa orang yang berharga. Mereka yang telah menorehkan sedikit warna pada sketsa hari-hari saya, membuat saya merasa anomali terkadang. 

Hubungan dengan lawan jenis sepertinya harus dikisahkan dengan sedikit berbeda karena biasanya mereka memang memberikan pengalaman yang berbeda pada masing-masing orangnya. Terserah, apakah sebagai pacar, gebetan atau TTM-an. Dan terserah, motiv dan tujuan dari hubungan ini apa, mengatasnamakan cinta, kebutuhan, have fun, atau sekedar status.

Saya bukan sedang ingin mengisahkan romance, bahwa bagaimana rumitnya, betapa bahagianya, bagaimana up-down alur nya sebuah hubungan. Saya hanya tengah mencari jawaban atas beberapa pertanyaan yang belum tuntas, yakni mengapa kita terkadang tidak dapat menjalin hubungan dengan orang yang padahal terlihat cocok dengan kita, dan sebaliknya mengapa ketika terdapat orang yang rela mati-matian agar dapat menjalin hubungan dengan kita, justru kita menolak orang tersebut? Ketika kecocokan dan perasaan tidak sebanding dengan kesempatan dan kemungkinan untuk menjalin hubungan.

Pasti sudah sering mendengar ungkapan bahwa cinta tidak harus memiliki. Bagi saya pribadi, ungkapan tersebut hanya penghibur dan hanya ada di dalam lagu-lagu picisan semata—awalnya. Jika kita memiliki perasaan terhadap seseorang, tentu kita ingin memilikinya. Dan itu adalah hal yang wajar. Istilah cinta tidak harus memiliki hanyalah semboyan bagi mereka yang sepertinya telah berusaha, namun tetap gagal dan kandas. Atau mungkin juga bagi mereka yang malas berusaha untuk tidak mendapatkan, tidak ingin serius atau terikat komitmen. Karena bagi sebagian orang yang emang niat banget untuk memiliki orang yang disukai, penolakan dan kata-kata “nggak” akan terdengar sebagai “coba lagi besok”. Seolah-olah menyukai seseorang tanpa dapat memiliki, tanpa dapat menjalin hubungan yang terikat pada sebuah status yang pasti adalah kebodohan dan menyiksa (lebay ga ya? Hehe...). Karena, kalau tidak niat memiliki, lebih baik tidak usah jatuh cinta saja sekalian.

Sebenarnya tidak melulu harus begitu juga sih. Bisa saja kita memang sudah saling suka, tapi bagaimana kalau memang tidak ada kecocokan, kerjanya ribuuuut mulu, yang ada malah saling menyakiti. Buat apa juga kan. Atau bagaimana kalau sudah saling suka, saling cocok, tapi malah keadaan yang tidak mendukung. Ribet juga. Tapi, ada pula yang menganggap bahwa kesemua hal itu hanya alasan semata. Mungkin mereka adalah tipe orang yang walau badai menghadang, bakal mencoba segala cara demi dapat jadian sama orang yang disukai. 

Saya sendiri pernah beberapa kali mengalami, bahwa saling suka ternyata tidak otomatis membuat kita dapat menjalin hubungan yang fix dengan orang tersebut. Entah karena orang tersebut yang spirit to struggle nya kurang, atau bisa jadi saya yang terlalu skeptis.  Anehnya, di saat ada orang lain yang spirit to struggle nya luar biasa kitanya yang malahan biasa-biasa saja. Kalau sudah seperti ini, baru, ungkapan bahwa cinta tidak selamanya dapat memiliki menjadi relevan. Beberapa orang yang pernah saya sukai secara tidak langsung memang mengajarkan bahwa cinta itu sepertinya tidak perlu sedemikian dipaksakan untuk harus memiliki. Mungkin awalnya kesal, saling menyukai tapi tidak dapat menjalin hubungan? Karena sepertinya kita tidak tidak perlu serakah untuk harus mendapatkan kepemilikan atas perasaan yang pernah semua orang pernah miliki terhadap kita.

Toh  bagi saya pribadi, menjalin hubungan tidak mesti harus dilandasi oleh sebuah perasaan yang hot-hot nya terhadap seseorang. Dalam artian, jika ada seseorang yang cukup baik, memenuhi beberapa kriteria standar, jikapun baru sekedar suka, sah-sah saja untuk menjalin hubungan. Karena orang yang kita cintai mati-matian pun belum tentu orang yang baik, sehingga alangkah indahnya kalau saya dapat menjalani hubungan dengan orang yang baik dan menumbuhkan perasaan secara perlahan. Ga tau deh, konsep ini bener atau salah.

Berbicara konsep, kita sepertinya memang sering luput mengenai konsep dan cara menyikapi yang tepat dalam mencintai. Saya sering mendapati terdapat banyak pasangan yang meskipun saling mencintai namun malah terlalu sering berkonflik, saling menyakiti, possessive, berkorban untuk hal-hal yang tidak pantas, hingga taraf-taraf yang tidak wajar. Atau yang menyedihkannya yakni bagi mereka yang memiliki pasangan namun tetap merasa kesepian karena sering sekali diabaikan. Memiliki pasangan yang idealnya adalah demi mencapai kebahagiaan tertentu, malah jadinya mencapai penderitaan tertentu. Pasti ada yang salah bukan?

Saya ingin sedikit mengutip beberapa konsep Erich Fromm, seorang psikoanalis humanistik yang terkenal. Saya sempat tergugah ketika ia mengatakan bahwa “Cinta bukanlah keadaan yang seseorang alami ataupun sekedar fenomena semu yang tidak memiliki arti nyata. Cinta membutuhkan pengetahuan, usaha dan pengalaman. Kapasitas untuk mencintai harus dikembangkan dengan kerendahan hati dan disiplin. Cinta membuat kita mampu mengatasi keterasingan kita dengan orang lain, tetapi dengan tetap menjaga integritas individual kita. Fromm mengemukakan bahwa cinta tidak mungkin ada tanpa kepribadian yang dewasa dan produktif. Oleh karena itu, manusia yang sehat dan untuh digambarkan melalui ‘karakter produktif’, yang berusaha melampaui konteks biologis dan masyarakat, dan yang menggunakan otaknya untuk mencintai dan berkreasi dalam cara manusia yang unik.” (Fromm & Macoby, 1970)

Siapa saja dapat mengatakan bahwa betapa kita mencintai seseorang. Namun siapa-siapa saja yang mampu mencintai dengan pola pikir dan pola sikap seperti yang digambarkan oleh Fromm? Selama ini, kita cenderung menganggap cinta ibarat sesuatu yang asal dan sembarang, sehingga meskipun saling mencintai tetap saja tidak bahagia. Mencintai dengan tepat tidak semudah dan sesederhana yang kita bayangkan, saya yakin semua orang juga pada dasarnya mengetahui hal ini. Namun seringnya kita abai dan menganggap hal tersebut seagai hal yang tidak begitu penting.

Komentar

Postingan Populer