Mengkompensasikan Kebaikan




Belakangan saya merasa effort saya untuk meningkatkan kapasitas diri mulai menurun. Di satu sisi mungkin bisa dianggap wajar, karena menjadi konstan sepanjang hidup juga rasanya tidak mungkin. Tapi rasa malas yang melanda tidak boleh juga dibiarkan hinggap terlalu lama. Rasanya terlalu disayangkan waktu yang terlewati begitu saja tanpa melakukan hal-hal yang bermanfaat. Saya sendiri bukannya tidak merasa terbeban. Oleh karenanya, harus segera dicari ‘obat’ untuk mengantisipasinya. 

Selama ini saya selalu mewajibkan diri untuk senantiasa membaca buku apapun untuk meningkatkan kapasitas keilmuan dan pengetahuan lainnya yang bermanfaat. Paling tidak, inilah hal paling sederhana yang harus saya lakukan demi peningkatan kapasitas diri, peningkatan profesionalitas kerja dan sebagai bekal untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Jika selama ini saya memiliki minat yang dalam terhadap ilmu politik, ditambah lagi saya ingin melanjutkan studi di bidang ilmu sosiologi (politik), dan saat ini saya pun tengah sangat tertarik-tertariknya dengan dunia psikologi demi peningkatan pemahaman dan perbaikan terhadap diri, maka berarti ada banyak bacaan yang harus saya tuntaskan. Tidak boleh ada hari tanpa membaca, meski terserah ingin memprioritaskan bacaan yang mana. Demikian harapan ideal saya terhadap diri sendiri.

Tapi apa hendak dikata, situasi nyata menujukkan hal yang berbeda. Intensitas membaca buku di dalam sehari sangat rendah, bahkan hampir tidak sama sekali. Sedangkan waiting list buku yang harus dibaca sudah menumpuk. Ingin membaca, rasanya malas. Tidak dibaca pun merasa bersalah. Entah megapa jadi serba salah begini. Ingin mengerjakan sesuatu yang baik dan benar saja mengapa sepertinya sulit sekali, padahal bukan hal yang rumit. Belum lagi godaan-godaan lainnya yang sering membisik, ‘bagaimana kalau menonton saja’, ‘bagaimana kalau hang-out saja’, ‘bagaimana kalau internetan saja’. Nah, masalahnya aktivitas-aktivitas barusan yang kesannya gak penting itu, kalau saya sudah terseret untuk menikmatinya, akan susah untuk keluar. Saya akan menghabiskan waktu berjam-berjam, setiap hari sampai puas, benar-benar lalai. Saat itu, saya tidak akan kenal lagi dengan buku. Bawaannya ingin have fun terus.

Belum lagi dengan aktivitas tulis menulis. Idealnya, saya harus menghasilkan essay yang dimuat di media masa secara berkala. Tapi sekarang, jangankan di media massa, di blog pun tidak. Padahal, kemampuan menulis, kalau tidak selalu diasah dan dibiasakan bisa-bisa pudar. Tentu ini sangat berbahaya.

Ketika ada di titik puncak beban dan rasa bersalah yang mulai tidak tertanggungkan, saya mulai mencari-cari cara agar dapat mengatasi situasi. Saya kembali teringat suatu ketika percakapan antara saya dengan saudara sepupusomeone that I respected. Kala itu saya menyatakan mengenai pola pikir dan perilaku saya, bahwa saya adalah orang yang tidak pernah mau melakukan segala sesuatu secara terpaksa. Apa yang saya lakukan adalah karena saya menginkannya atau paling tidak bersedia melakukannya. Melakukan sesuatu karena terpaksa adalah menyiksa. Segala resikonya akan saya tanggung, toh selama ini saya tidak pernah menyesal atas tindakan apapun yang saya lakukan. Termasuk melakukan kebaikan. Saya berpikir, jika pun saya ingin melakukan kebaikan, menjadi orang baik, maka saya akan melakukannya dengan penuh kesadaran, dengan penuh keikhlasan dan kemauan diri, dan paling tidak mau melakukan kebaikan sebagai kedok semata—melakukan kebaikan di luar namun ternyata berkebalikan dengan diri yang sebenarnya. Mungkin ini adalah efek dari kepribadian koleris saya. Lantas, apa respon beliau? Sepupu saya hanya menjawab dengan singkat, bahwa kebaikan itu ada kalanya memang harus dipaksakan. Tidak ada yang salah dengan memaksakan kebaikan, bahkan harus!

Setelahnya saya tidak membantah, malah terdiam lalu berpikir panjang terhadap apa yang saya dengar. Ah, ternyata saya selama ini telah salah. Karena ternyata melakukan kebaikan, melakukan yang terbaik, memperbaiki diri dan segala hal lainnya menyangkut yang baik-baik tetap harus dilakukan sekalipun terpaksa. Karena, kalau di dunia ini tidak ada evil yang selalu berusaha membisikkan hal-hal buruk, tidak ada kemalasan dan hal-hal lainnya yang akan mendorong kita untuk melencengkan dari berbuat baik, mungkin tidak akan ada masalah. Lantas, apa harus diikuti dan dibiarkan begitu saja? Jika kita bertanya pada logika, tentu jawabannya tidak. Oleh karenanya, kita tetap harus senantiasa berbuat baik, termasuk meningkatkan kapasitas diri, meski harus sedikit dipaksakan. Kalau tidak, apa jadinya?

Di tengah kesadaran diri yang mulai membaik, namun belum pulih sepenuhnya ini, apa yang kemudian harus saya lakukan? Awal mulanya, karena saya tengah senang-senangnya menonton, saya memilih-milih tontonan yang meskipun bersifat hiburan namun terdapat muatan motivasi yang dapat memompa semangat diri. Tahap ini berhasil. Namun, saya belum dapat merubah arah aktivitas secara kontras, dan saya pun takut hal tersebut hanya akan bersifat sementara. Saya mencoba cara untuk memulai proses perubahan secara bertahap. Bagaimana caranya, di saat saya belum bisa memutus lingkaran setan yang bawaannya malas dan ingin have fun terus, namun saya juga sudah harus mengagendakan aktivitas-aktivitas bermanfaat seperti membaca dan menulis.

Akhirnya, saya melakukan tawar menawar terhadap diri sendiri. Di saat saya berpikir untuk mulai menonton sesuatu yang akan menyita banyak waktu misalnya, maka saya mengatakan pada diri sendiri “boleh, asalkan telah menuntaskan buku A”. Dalam hal ini, berarti saya akan tetap bisa have fun, namun dalam bentuk kompensasi. Ternyata hal ini juga dapat meningkatkan semangat saya dalam membaca. Karena, jika saya ingin secepatnya melakukan sesuatu yang menarik, saya juga harus secepatnya menuntaskan buku dan tulisan, sekalipun buku yang saya baca adalah berkisar 500 halaman, saya tidak boleh berhenti atau saya tidak akan memperoleh apa-apa. Saya mengkompensasikan sendiri kebaikan yang harus saya kerjakan, jika saya ingin mendapatkan A maka saya harus mengerjakan B, sesulit apapun B itu. 

Cara ini cukup ampuh, setidaknya saya mulai membaca buku lagi setiap hari kecuali jika memang tidak sempat sama sekali. Intensitas aktivitas-aktivitas yang  just waste the time pun sudah mulai berkurang. Dan yang lebih membahagiakan lagi, setelah hiatus selama satu tahun lebih, saya mulai menulis lagi, bahkan dalam waktu dua bulan ini tulisan saya sudah sebanyak dua buah yang dimuat di media masa, blog saya pun dalam seketika penuh dengan ‘corat-coret’.

Bahkan tulisan ini pun dibuat dengan mengkompensasikannya terhadap sesuatu, tidak boleh keluar rumah sebelum menuntaskan dua tulisan, termasuk yang satu ini. hehe...

Terkadang memang harus kita sendiri yang mencari cara agar dapat menyemangati dan memotivasi diri. Teman-teman mungkin dapat melakukan motivasi diri yang sama seperti yang saya terapkan. Semoga kita konsisten :D

Komentar

Postingan Populer