Manipulasi Ekspresi




Bagaimana caranya memanipulasi ekspresi? Bisakah tolong ajarkan kepada saya agar dapat melakukannya dengan baik. Mengapa harus demikian? Contohkan saja suatu ketika kita berada di dalam situasi yang luar biasa bad-mood, tengah bersedih, marah, galau, cemas, patah hati dan diliputi berbagai emosi negatif lainnya, dan pada saat yang bersamaan kita harus berinteraksi dengan orang lain bahkan harus berbaur di dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh banyak orang.

Haruskah kita menunjukkan wajah muram kita, memberi tau seisi dunia bahwa kita tengah bermasalah, lalu merusak suasana? Oh Tuhan, jangan sampai. Oleh karenanya saya salut sekali pada orang-orang yang meski tengah memiliki masalah yang rumit, kacau suasana hatinya namun tetap bisa tersenyum ramah dan berkomunikasi dengan baik dengan orang-orang di sekitarnya.

Memang sih, terkadang terkesan seolah sedang memakai topeng. Tetapi menyebarkan emosi negatif itu kan juga tidak perlu, menurut saya malah tidak boleh. Lalu, apakah di saat kita tengah diliputi awan gelap, sebaiknya mengasingkan diri atau sekalian mengurung diri saja di kamar? Menyedihkan sekali rasanya. Mengontrol diri dan ekspresi oleh karenanya menjadi kemampuan yang sepertinya harus kita miliki jika ingin tetap berinteraksi dengan pantas. 

Pernah mendengar teori sosiologi yang dipopulerkan oleh Erving Goffman mengenai ‘Dramaturgi’ yang menggambarkan dan menganalogikan interaksi sosial yang dilakukan manusia adalah ibarat aksi teatrikal, dimana terdapat aktor, front stage, back stage. Pada umumnya, orang akan mempertujukkan gambaran idealis mengenai diri mereka sendiri di depan umum, dan tanpa terelakkan mereka merasa bahwa mereka harus menyembunyikan sesuatu dalam perbuatan mereka. Goffman berasumsi hal ini dilakukan karena pada saat berinteraksi, aktor ingin menampilkan perasaan diri yang dapat diterima oleh orang lain. Oleh karenanya aktor harus memiliki kemampuan yang baik dalam mendefinisikan situasi sebelum menampilkan suatu tindakan dan ekspresi tertentu. Goffman juga menyatakan di dalam karyanya Presentation of Self in Daily Life mengenai seni mengelola kesan. Pada umumnya, pengelolaan kesan mengarah pada kehati-hatian terhadap serentetan tindakan yang tidak diharapkan, seperti gerak-isyarat yang tidak diharapkan, gangguan yang tidak menguntungkan dan kesalahan bicara atau bertindak maupun tindakan yang diharapkan seperti tengah membuat adegan. Dalam hal ini, penonton perlu untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh aktor dalam mengelola kesan yang berhasil (George Ritzer, 2004:298-302).

Dunia sosial memang kebanyakan seperti ini kan? Namun seperti yang dipaparkan oleh Kamanto Sunarto (2004:43) bahwa pendekatan Goffman sebenarnya mendapat kritik dari berbagai pihak karena Goffman menyajikan para pelaku dalam interaksi sebagai penipu (con artist), sebagai manipulator yang berusaha menipu atau memanipulasi peserta lain. Apakah manusia selalu bermain sandiwara? Apakah tindakan manusia tidak pernah jujur dan ikhlas ketika berhadapan dengan orang lain? Namun saya juga bertanya-tanya, apakah kita rela jika tidak diterima dan diasingkan oleh orang lain? Dan apakah semua orang yang kita hadapi pasti dapat menerima dan memahami kita dengan baik jika kita menampilkan diri apa adanya meskipun itu bertentangan dengan harapan dan situasi?

Lets just keep smile  :)

Komentar

Postingan Populer