Learn from Children
Hari ini adalah hari yang sedikit unik, terutama saat saya menyaksikan pola hubungan dan interaksi yang terjadi antara anak-anak dan peer group nya di sekitar rumah saya. Sebut saja namanya Fahri dan Dava. Mereka berusia sekitar 4 tahun, lagi unyu-unyunya. Mereka adalah teman dekat, karena selain rumah mereka berdekatan, mereka juga selalu bermain bersama.
Tiba-tiba saja, saya melihat mereka
tengah bertengkar tepat di depan rumah saya. Kebetulan rumah saya berada di
posisi tengah antara rumah Fahri dan Dava. Baik Fahri dan Dava sama-sama
berposisi tidak jauh dari rumah masing-masing. Mereka bertengkar mulut dari
kejauhan dan saling memprovokasi. “Kemari kamu kalau berani, dasar penakut”,
kalimat seperti itu sebentar-bentar terlontar oleh keduanya. Saya sampai
khawatir kalau-kalau mereka sampai bertengkar fisik, bisa repot. Saya pun
heran, ada apa dengan mereka, keduanya terlalu akrab untuk ribut sedemikiannya.
Anehnya, meski saling memprovokasi,
tidak ada yang bergerak dari posisi masing-masing—awalnya. Dalam hati saya jadi
iseng berpikir “ah, anak-anak ini cuma jago gertak saja”. Si Fahri malah
semakin melangkah mundur ke rumahnya meskipun tak berhenti memprovokasi, entah
apa maksudnya. Mulai lelah atau bosan mungkin. Sebaliknya, tak lama kemudian
Dava malah bergerak cepat ke arah Fahri, ia terlihat seperti akan menyerang
secara fisik. Saya mulai panik. Tapi ternyata Dava tidak benar-benar menyerang,
meski jarak mereka sudah sangat berdekatan. Bertengkar mulut pun bersambung.
Namun entah mengapa instens nya tidak seperti yang sebelumnya, nada suara mulai
melunak dan pemilihan kata dan topik pembicaraan tidak semengerikan pada
awalnya.
Saat saya masuk sesaat ke dalam rumah
dan keluar kembali untuk memperhatikan mereka, eh pemandangannya sudah terlalu
kontras. Fahri dan Dava sudah berdiri bersebelahan dan...berbaikan? Hasil akhir
yang berbeda dari yang saya prediksikan.
Saya lalu tersenyum pahit. Ternyata
seperti ini ya kalau kita tengah bertengkar dengan sahabat? Semarah apapun
kita, bahkan di saat ingin melampiaskan, kita tidak akan pernah benar-benar
membencinya dan tidak akan benar-benar tega untuk menyerang dan menyakitinya
mesti di saat emosi kita telah terpancing. Keributan itu hanya lah kebisingan
yang pada akhirnya membuat kita lelah dan bosan. Kita tidak benar-benar siap
untuk kehilangannya dan ‘bermain’ sendirian. Dan ternyata menyerangnya secara
langsung hanya lah cara untuk dapat mendekat dan berbaikan lagi.
Melihat Fahri dan Dava, rasanya jadi
malu kalau harus ribut lama-lama dengan sahabat, karena sebenarnya kita itu
saling butuh. Mungkin harus belajar seperti mereka untuk sedikit innocent dalam menyikapi pertengkaran. Lalu,
selama ini untuk apa kita buang-buang energi? Ah... tiba-tiba jadi rindu
"mereka".



Komentar
Posting Komentar