Labelling
Suatu ketika saat memasuki kelas dan hendak
memulai pembelajaran di kelas IPS, ternyata hanya sekitar sperdua dari jumlah
keseluruhan siswa yang kala itu ada di dalam kelas. Saat saya tanyakan, kemana
siswa yang lain, siswa yang berada di dalam kelas mengatakan bahwa siswa
lainnya sedang mengikuti turnamen pertandingan basket siswa antar-sekoah (yang
ini memang diberi izin oleh sekolah dan legal) dan sisanya menjadi supporter (nah, yang ini nih bersifat
illegal). Saya kemudian denan iseng bertanya, “Kenapa kalian ga ikut noton dan
jadi supporter?”, mereka menjawab
karena materi pelajaran hari ini penting, kalau tidak pasti udah ikutan. Saya
heran mereka menjawab demikian dengan entengnya, saya kira mereka tidak ikutan
karena memang termasuk siswa yang rajin yang berperilaku baik. Lalu saya menambahkan,
“Kok begitu? Bolos kan kebiasaan buruk. Kok malah dibiasakan”. Jawaban mereka
kemudian lah yang kemudia membuat saya merasa miris dan berpikir panjang,
“Siswa siswa yang ada di kelas IPS kan memang sudah dicap buruk, bu. Hal baik
pun yang kami lakukan, orang tetap menganggap kami buruk dan salah. Jadi ya
sekalian saja.” Yang saya tak paham, siswa yang menjawab tersebut adalah siswa
yang cukup pintar dan cenderung berperilaku baik. Namun mereka bahkan tetap
memiliki pandangan yang kurang menyenangkan yang mereka peroleh dari persepsi
orang lain?
Selain saya, mungkin yang lainnya juga
pernah memiliki pengalaman atau pernah mendengar statement yang sama. Saya pribadi benar-benar merasa tidak nyaman
mendengarnya, apa lagi saat keluar dari mulut seorang anak. Tidak tau berasal
dari mana budaya yang seperti ini. Masyarakat kita memang cenderung mencap atau
melabeli seseorang atau sekelompok orang ketika mendapati mereka melakukan
tindakan yang dianggap menyimpang. Dalam taraf yang lebih ekstrem, orang-orang
yang dianggap aneh atau bermasalah ini akan dijauhi, dimusuhi, bila perlu di
usir ke luar ‘kawasan’.
Benar, bahwa jika menilik melalui konteks
sosial dan hidup bermasyarakat, setiap individu pasti diharapkan untuk
berperilaku secara wajar dan bertindak sesuai dengan aturan dan harapan
masyarakat, melaksanakan apa yang dianjurkan dan menjauhi tindakan-tindakan
yang diangga kurang berkenan. Resiko terhadap
tindakan menyimpang dengan adalah seketika akan memperoleh ganjaran mulai dari
efek tafar rendah hingga yang paling ekstrem, biasanya dengan tujuan pelaku
perilaku menyimpang tersebut akan memperoleh efek jera dan sebagai pengontrol
bagi tindakan anggota masyarakat yang lainnya. Pertanyaannya, sudah tepatkah
perlakuan yang demikian seperti melabeli-mencap pelaku penyimpangan? Apa lagi
model pelabelan yang terkadang harus dibawa hingga ke liang lahat, mereka tetap
dianggap sebagai orang yang salah meski tak selamanya berperilaku demikian.
Dalam teori labelling yang dipelopori oleh Edwin M. Lemert dalam studi
Sosiologi dinyatakan bahwa, seseorang menjadi penyimpang karena proses labelling—pemberian julukan, cap,
etiket, merek—yang diberikan masyarakat kapadanya. Mula-mula seseorang
melakukan suatu penyimpangan, yang oleh Lemert dinamakan penyimpangan primer (primary deviation). Akibat dilakukannya
penyimpangan tersebut—misalnya pencurian, penipuan, pelanggaran susila,
perilaku aneh—si penyimpang lalu diberi cap pencuri, penipu, perempuan nakal,
orang gila. Sebagai tanggapan terhadap pemberian cap oleh orang lain maka si
pelaku penyimpangan primer kemudian mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang
dan mengulangi lagi perbuatan menyimpangnya—melakukan penyimpangan sekunder (secondary deviation)—sehingga mulai
menganut gaya hidup menyimpang (deviant
life style) yang menghasilkan suatu karier menyimpang (deviant career).
Sayangnya, ternyata tindakan labelling bukannya memberikan efek jera
dan membuat pelakunya sadar, namun justru membuat mereka semakin mempertahankan
perilaku menyimpangnya. Bahkan untuk kasus siswa IPS yang dinyatakan di awal,
siswa yang justru pada dasarnya bersikap konformis—berperilaku sesuai dengan
harapan dan tuntutan sosial—dan berprestasi malah jadi terdorong untuk ikut
berperilaku menyimpang dikarenakan komunitas tempat dimana menjadi anggotanya
dilabeli buruk dan negatif. Artinya, telah tertanam di dalam mindset mereka bahwa tidak ada gunanya
berbuat baik atau berubah, toh mereka sudah terlanjur di cap negatif. Sehingga,
hal urgen yang perlu mereka lakukan adalah tinggal membiasakan diri dengan
label-label yang dialamatkan pada mereka.
Suatu studi mengenai proses labelling ini pernah dilakukan oleh
William J. Chambliss terhadap pelaku kenakalan remaja yang menjadi siswa suatu
sekolah menengah atas di A.S. dalam penelitian selama dua tahun Chambliss
mengamati bahwa delapan orang siswa kulit putih
dari keluarga baik-baik kalangan kelas menengah secara terus-menerus
terlibat dalam kenakalan remaja, seperti melakukan perbuatab membolos dengan
jalan memakai berbagai alasan palsu untuk menipu guru, minum minuman keras di
bar di daerah lain, ngebut, melakukan pencurian, dan vandalisme berupa
perusakan tanda lalu lintas atau perlengkapan rumah penduduk yang kebetulan
kosong. Namun kenakalan para pemuda yang oleh Chambliss diberi julukan Saints ini kurang diketahui masyarakat,
sehingga mereka dianggap sebagai anak ‘baik-baik’. Mereka pun melakukan
kenakalan dengan hati-hati sehingga jarang ditindank oleh polisi.
Pada sekolah menengah atas yang sama,
terdaftar pula enam orang siswa dari kalangan kelas bawah yang oleh Chambliss
diberi julukan roughnecks. Meskipun
kenakalan yang dilakukan remaja yang kira-kira sebaya dengan para Saints ini tidak banyak berbeda dengan
kenakalan para Saints—bermabuk-mabukan,berkelahi,
mengganggu gadis di jalan, melakukan pencurian ringan—namun masyarakat setempat
menilai para roughnecks sebagai suatu
geng remaja yang bermasalah. Mereka sering berurusan dengan polisi. Di sini,
perbuatan yang hampir serupa dinilai secara berlainan; para Saints dinilai sebagai remaja yang baik
dengan masa depan cerah sedangkan para roughnecks
dinilai sebagai remaja nakal—bahkan penjahat remaja—yang menuju ke dunia
kejahatan. Menurut Chambliss, tanggapan komunitas memperkuat pola penyimpangan
para roughnecks, memperkuat
citra-diri mereka sebagai penyimpang. Akibatnya ialah bahwa sebagian besar dari
mereka akhirnya memang terjerat dalam dunia penyimpangan: ada yang meringkuk di
pernjara karena dipersalahkan melakukan pembunuhan, ada pula yang mengalami
nasib sama karena dipersalahkan mengakibatkan kematian orang lain, ada yang
menjadi penjudi, dan ada yang hilang tidak tentu rimbanya. Para Saints, di pihak lain, cenderung meraih
sukses: sebagian besar melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan menempati
posisi terhormat seperti manajer dan dokter setelah meraih gelar BA, Master
atau PhD. Dengan penelitian ini Chambliss ingin membuktikan bahwa labelling mendorong orang ke arah dunia
penyimpangan.
Tidak jauh berbeda dengan
kebiasaan-kebiasaan buruk yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat kita,
dimana ketika terdapat orang-orang yang dianggap melanggar norama agama,
masyarakat tidak akan lama-lama untuk mengecap mereka yahudi, kafir, atheis,
munafik, dsb. Bagi yang melanggar norma hukum, mereka akan dilabeli penjahat,
kriminal, sampah masyarakat. Proses labelling
ini kadang kala diikuti oleh anggota masyarakat lainnya yang terkadang tidak
tau-menau terhadap persoalan yang sebenarnya. Termasuk dalam dunia pendidikan,
siswa yang dianggap bermasalah akan dilabeli sebagai siswa nakal, bandel, dsb
bukannya mencari solusi melalui bimbingan-bimbingan dan pendekatan yang jauh
lebih bersahabat.
Bahwa kita semua sama, manusia, yang
sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan. Kita pernah melakukan hal-hal
baik, namun terkadang juga tidak luput dari kesalahan. Oleh karenanya, kita
tidak pantas sembarangan melabeli orang lain dengan stigma-stigma negatif, di
saat kita sendiri juga pasti pernah dan akan melakukan kesalahan. Orang yang
pernah melakukan kesalahan bukannya tidak bisa berubah, bukannya tidak akan
pernah berbuat baik dalam hidupnya. Kita tidak akan senang di saat orang lain
memperlakukan kita secara tidak pantas, namun terkadang kita lupa bahwa kita
justru memperlakukan orang lain dengan cara-cara yang tidak wajar dan kurang
menyenangkan. Apalagi, kita belum tentu lebih baik dari pada orang-orang yang
telah kita cap buruk.
Belum lagi, penyimpangan anggota
masyarakat pada dasarnya bukan sesuatu yang bersifat mutlak. Penyimpangan
terkadang sangat tergantung pada definisi sosial. Sesuatu yang buruk pada suatu
masyarakat tertentu atau pada situasi tertentu, belum tentu buruk pada
masyarakat tertentu atau pada situasi yang lainnya. Hal ini akan memberikan
kita suatu pengetahuan untuk senantiasa dapat menyesuaikan diri dengan tepat,
namun juga meminta kita untuk mempertimbangkan agar tidak sembarang mencap
orang yang dianggap melakukan penyimpangan. Buruk menurut kita belum tentu
buruk menurut orang lain, demikian juga sebaliknya. Apalagi jika sampai
mendramatisir dan melebih-lebihkan suatu hal yang sebenarnya tidak perlu.
Kita contohkan saja seperti kasus
laki-laki yang berambut panjang. Pada tahun 60-an di Amerika, gaya rambut
panjang dianggap sebagai penyimpangan karena laki-laki yang berambut panjang
dianggap melawan tradisi Amerika, tidak mencerminkan kejantanan, bahkan
bertentangan dengan ajaran Kitab Injil. Pada tahun 60-an di Indonesia pun, para
petugas keamanan di Jakarta secara berkala melakukan razia di jalan-jalan raya
untuk menahan laki-laki yang berambut panjang, dan kadang melakukan pemotongan
rambut secara paksa. Pendefinisian pemeliharaan rambut panjang oleh laki-laki
sebagai penyimpangan dilakukan oleh para penguasa yang tidak menyukai kebiasaan
tersebut yang menurut mereka merupakan pengaruh negatif kebudayaan Barat.
Padahal tidak ada sesuatu yang secara instrinsik terdapat pada rambut panjang
laki-laki yang membuatnya sebagai hal tercela atau berada di luar batas
toleransi. Di masa revolusi fisik kita, para pemuda yang berjuang melawan
Belanda banyak yang berambut panjang dan oleh warga masyarakat hal ini tidak dicela
melainkan dipuji. Agama Sikh bahkan mewajibkan kaum laki-laki di kalangan
umatnya untuk tetap memelihara rambutnya, dan pemotongan rambut dianggap
sebagai pelanggaran ajaran agama.
Semoga saja suatu saat nanti
masyarakat kita dapat lebih bijak.
(Sumber Teori: Kamanto Sunarto. 2004.
Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas
Indonesia)



Komentar
Posting Komentar