Guna Hati
Saya pernah berpikir, terkadang yang
namanya perasaan itu hanya melemahkan. Ketika kita lebih menuruti perasaan dari
pada logika maka kita akan menjadi makhluk lemah—cap yang sering dialamatkan
pada kaum wanita. Saya sama sekali tidak senang dengan stigma itu, oleh
karenanya saya berusaha untuk dapat lebih memaksimalkan kegunaan otak dari pada
hati.
Tapi sepertinya saya harus meralat hal
ini. Setidaknya Tuhan bukannya tanpa alasan memberikan kita akal dan perasaan
sehingga harus digunakan secara seimbang, agar jangan sampai sekedar menjadi
manusia yang berakal namun tak berperasaan atau sebaliknya.
Saat saya menonton sebuah film
(lagi-lagi, hehe...), saya mendapati deskripsi yang membuat saya harus berpikir
ulang mengenai penggunaan hati. Yakni ketika terdapat kisah tentang seorang
pria yang berbuat kebaikan-kebaikan luar biasa terhadap seorang wanita namun
tanpa sepengetahuannya si wanita tersebut. Anehnya, padahal si wanita tersebut
kan tidak mendapati dengan inderanya mengenai kebaikan-kebaikan yang ia terima
dari sang pria, tapi ia merasa terikat dengan sang pria. Ia sendiri tidak
mengerti mengapa ia memiliki kesan yang dalam terhadap sang pria, merasa sang
pria adalah pria yang baik dan dapat dipercaya padahal belum lama saling
mengenal.
Awalnya saya menganggap film ini
adalah film yang tidak masuk akal. Lalu entah mengapa saya kemudian baru tersadar,
mungkin ini dia gunanya hati. Ada hal-hal yang tidak terjamah oleh indera, oleh
mata, hidung, bahkan akal sehat, namun dapat dirasa oleh hati. Dan sepertinya
hanya oleh hati. Hati bukan hanya dapat merasakan kesedihan atau kekecewaan,
tapi juga membuat kita entah mengapa dapat memaafkan orang lain meski secara
logika kita beranggapan ia tidak pantas dimaafkan, dapat merasakan kebahagiaan
dari ketulusan orang lain meski ‘terlihat’ tidak ada apa-apanya, mampu
merasakan kesedihan orang lain dan berempati meski secara fisik kita tidak
mengalami hal yang sama.
Ah..sepertinya saya harus lebih
mengasah hati.



Komentar
Posting Komentar