Formula Politik
**Dimuat di Harian Serambi Indonesia (1 April 2014)
DUNIA politik tidak mesti melulu menyangkut persoalan kekuasaan, namun bagi mereka yang sudah melibatkan diri dalam politik praktis sepertinya tidak akan mudah untuk mengabaikan hasrat untuk memperoleh kekuasaan, meski hanya serpihan-serpihannya saja. Kekuasaan idealnya hanyalah alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Namun bagi sebagian orang, kekuasaan telah menjadi tujuan utama. Asalkan dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, cara apapun akan dilakukan, sekalipun melalui pengabaian terhadap kepantasan tindakan juga kepentingan khalayak ramai.
Hal ini menjadi penting untuk diwaspadai oleh masyarakat pada momentum politik tertentu seperti pada saat pemilu. Pemilu merupakan ajang pergantian elite dan sarana terbesar untuk memperoleh kekuasaan. Elite berlomba-lomba meraih dukungan masyarakat agar dapat menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam hal ini, tidak akan menjadi masalah jika terdapat elite yang beritikad buruk dan tidak berkualitas, apabila masyarakat telah memiliki kecerdasan politik dalam memilah-milih mana elite yang layak dan tidak layak untuk diberi wewenang sehingga masyarakat pun tidak akan menjadi korban dari salah pilih.
DUNIA politik tidak mesti melulu menyangkut persoalan kekuasaan, namun bagi mereka yang sudah melibatkan diri dalam politik praktis sepertinya tidak akan mudah untuk mengabaikan hasrat untuk memperoleh kekuasaan, meski hanya serpihan-serpihannya saja. Kekuasaan idealnya hanyalah alat untuk mencapai kepentingan tertentu. Namun bagi sebagian orang, kekuasaan telah menjadi tujuan utama. Asalkan dapat memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, cara apapun akan dilakukan, sekalipun melalui pengabaian terhadap kepantasan tindakan juga kepentingan khalayak ramai.
Dalam hal ini, senang-tidak senang, masyarakat
tak akan bisa melepaskan diri dari pengaruh proses politik yang dilakukan
individu maupun kelompok tersebut. Untuk memperoleh kekuasaan, kelompok masyarakat
yang diperintah harus terlebih dulu memberikan wewenang dan menunjukkan bentuk
kesediaan untuk diperintah melalui mekanisme legal seperti pemilu pada sistem
demokrasi, atau penerimaan masyarakat terhadap pola-pola perolehan kekuasaan
melalui penunjukan dan garis keturunan pada sistem otoriter dan kerajaan.
Tidak selesai sampai di situ, elite yang telah
berkuasa juga harus mencari cara agar kekuasaan yang telah diperolah tetap
dapat diterima secara wajar oleh masyarakat, dengan demikian mereka tidak dapat
dilengserkan begitu saja. Jika perlu tetap bertahan hingga beberapa periode
kekuasaan berikutnya. Oleh karenanya, dalam upaya tersebut, masyarakat akan
dijadikan objek politik bagi pihak yang berkepentingan.
Berbagai
cara
Bagi yang
cermat, tentu selama ini sudah melihat bahwa terdapat berbagai pola cara yang
dilakukan demi meraih kekuasaan. Kepentingan dan motif memiliki peran penting
dalam hal ini. Bagi sebagian elite yang berkuasa dengan memperhatikan
kepentingan masyarakat luas, tentu akan menjadikan kualitas kepribadian,
kinerja dan visi strategis sebagai senjata utama. Permasalahan timbul ketika
terdapat elite yang berkuasa demi kepentingan pribadi atau kelompok, namun
memiliki kemampuan memanipulasi masyarakat untuk memberikan dukungan pada
mereka sehingga mereka tetap mampu mencapai kekuasaan.
Hal ini menjadi penting untuk diwaspadai oleh masyarakat pada momentum politik tertentu seperti pada saat pemilu. Pemilu merupakan ajang pergantian elite dan sarana terbesar untuk memperoleh kekuasaan. Elite berlomba-lomba meraih dukungan masyarakat agar dapat menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam hal ini, tidak akan menjadi masalah jika terdapat elite yang beritikad buruk dan tidak berkualitas, apabila masyarakat telah memiliki kecerdasan politik dalam memilah-milih mana elite yang layak dan tidak layak untuk diberi wewenang sehingga masyarakat pun tidak akan menjadi korban dari salah pilih.
Namun kenyataannya, banyak pihak yang menggunakan
formula-formula politik tertentu yang mampu membuat mereka tetap berkuasa dan
ketahuan berkualitas buruk justru ketika mereka telah sah memperoleh wewenang
kekuasaaan. Andai saja wewenang kekuasaan layaknya mainan bongkar-pasang, dapat
dilepaskan dan dipasang kembali kepada siapa pun dan kapan pun masyarakat
inginkan, tentu tidak akan menjadi masalah. Oleh karenanya, masyarakat selalu
diwanti-wanti agar dapat mencerdasi setiap keputusan politik sebelum memilih.
Dalam konsep pergantian elite yang dikembangkan
oleh Pareto, terdapat dua elite, yaitu mereka yang memerintah dengan kelicikan
dan yang memerintah dengan cara paksa. Dimana, di dalam usahanya untuk
mengabsahkan ataupun merasionalkan penggunaan kekuasaan mereka, para elite
tersebut melakukan derivation atau "penyerapan" yakni menggunakan mitos-mitos yang
mereka gunakan untuk mengelabui massa guna memperalatnya. Dengan kata lain,
“penyerapan” adalah cara-cara dimana tindakan yang dilakukan oleh elit untuk
mancapai kekuasaan, dirumuskan agar dapat dipahami oleh masyarakat sebagai tindakan-tindakan
yang logis.
Di sisi lain, Mosca menekankan pentingnya apa
yang disebut sebagai “formula politik”. Mosca meyakini bahwa di dalam setiap
masyarakat, elit yang memerintah pasti akan mencoba menemukan basis moral dan
hukum bagi keberadaannya dalam benteng kekuasaan, dan menjadikannya sebagai
konsekuensi logis terhadap doktrin-doktrin dan kepercayaan-kepercayaan yang
secara umum telah dikenal dan diterima di dalam masyarakat.
Bersebarangan dengan Pareto, Mosca mengemukakan
bahwa formula politik biasanya jarang berupa mitos-mitos yang tidak masuk akal,
artinya tidak mungkin formula politik adalah suatu nilai atau keyakinan yang
sifatnya sederhana dan dapat terlihat jelas, yang diatur oleh penguasa untuk
menipu massa ke dalam keragu-raguan. Kenyataan bahwa kebijakan-kebijakan kelas
penguasa, meskipun dirumuskan sesuai kepentingan mereka sendiri, pasti akan
dikemukakan dalam bentuk sebaliknya dengan maksud memberikan kepuasan moral dan
hukum yang terkemas di dalamnya (SP Varma, 2003:204).
Mengelabui
rakyat
Proses
pergantian elite pun akhirnya menjadi sesuatu yang ironis di saat elite-elite
politik menggunakan formula politik seperti penyebaran nilai, bahkan mitos
untuk mengelabui rakyat. Untuk konteks Indonesia, money politic dan politik
pencitraan bahkan menjadi trend yang digunakan elite untuk menghipnotis
masyarakat. Belum lagi upaya penyebaran isu dan nilai-nilai tertentu untuk
memobilisasi masyarakat agar bertindak sebagaimana kepentingan para elite.
Namun, tentu tidak semua elite memiliki pola perilaku
yang demikian. Sebagian elite telah berhasil membuktikan bahwa mereka mampu
mewujudkan upaya pencapaian terhadap aspek-aspek kesejahteraan masyarakat,
penerapan hukum dan keadilan melalui perumusan kebijakan-kebijakan dan
penganggaran yang prorakyat serta pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan
berkualitas. Sehingga tidak sulit bagi mereka untuk mencapai kekuasaan bahkan
terus mempertahankannya melalui simpati rakyat.
Di samping itu, tingkat kesadaran politik
masyarakat juga merupakan indikator penentu terhadap pertimbangan elite dalam
merumuskan formula politik. Masyarakat yang telah maju cenderung memiliki
kesadaran politik yang cukup baik, formula politik berupa kelicikan,
mitos-mitos dan penyebaran nilai-nilai yang bertujuan mengelabui tidak akan
‘laku’. Jenis masyarakat seperti ini pada dasarnya memang tidak memberikan
pilihan lain pada elite. Artinya, siapa pun yang ingin ingin berkuasa maka
harus memiliki kualitas dan kinerja yang baik. Jika tidak, sebaiknya jangan
terlalu berharap untuk dapat berkuasa.
Oleh karenanya, diharapkan kepada masyarakat agar
dapat mewaspadai dan tidak mudah terpengaruh terhadap elite politik yang
menggunakan formulasi politik berupa kelicikan dan cara-cara lainnya yang tak
pantas. Masyarakat harus lebih cerdas untuk memilih elite yang menggunakan
formula politik berupa kinerja dan kualitas yang dapat menghantarkan pemerintah
dan masyarakat pada kebaikan, keadilan dan kesejahteraan bersama.



Komentar
Posting Komentar