Don't Jugde
Pernah menonton film, serial,
drama dan tontonan yang sejenisnya? Pasti. Selain sebagai hiburan, tontonan
tersebut juga dapat memiliki fungsi yang berseberangan. Bagi tontonan yang ‘bergizi’
dan berkualitas, mungkin akan memberikan para penontonnya pengetahuan dan
pengalaman baru. Namun tidak sedikit juga tontonan sejenis ini yang bersifat
tidak mendidik dan hanya sekedar melalaikan, sebut saja sinetron dan fim-film
lainnya yang sarat nilai-nilai kekerasan, pornografi, dsb. Over all, bukan itu yang sesungguhnya ingin kita bahas di sini, setiap
orang memiliki selera dan pertimbangan masing-masing terhadap jenis tontonan
apa yang akan dipilih.
Yang menarik perhatian saya
adalah, di saat kita memperoleh pengalaman yang pasti pernah dialami dan
dirasakan oleh para penikmat film atau serial pada umumnya, namun mungkin kita
sering tidak menyadarinya. Saat suatu ketika saya tengah menonton film, sebagai
penonton, kita tentu akan dapat melihat seluruh kejadian melalui semua scene yang ditayangkan. Kita juga bisa
melihat seluruh aktivitas, bahkan mengetahui pikiran seluruh pemeran yang
ketika di dalam film tersebut tidak diketahui oleh para pemeran lainnya.
Misalkan saja seperti ini,
terdapat sebuah film yang mengisahkan family
life, dimana terdapat seorang nenek (ibu sang ayah), ayah, ibu, dua orang
anak laki-laki. Suatu ketika terdapat scene
yang mendeskripsikan bahwa ibu dari kedua anak tersebut meninggalkan rumah.
Kedua anak tersebut kemudian sangat membenci ayahnya karena yang mereka tau ibu
mereka meninggalkan rumah karena perilaku buruk sang ayah. Hingga dewasa, hubungan antara ayah
dan anak ini tidak harmonis, sang anak tak pernah menunjukkan sikap respect kepada ayahnya. Di sisi lain, kita akan disajikan scene yang menunjukkan bahwa ternyata ibu mereka meninggalkan sang ayah dikarenakan selingkuh
dengan pria lain, namun sang ayah sengaja menyembunyikannya agar jangan sampai kedua
anaknya terpukul karena mereka terlalu menyayangi ibu mereka. Sang ayah bahkan
masih menyimpan baju-baju sang ibu di lemari dan menangis ketika baju-baju
tersebut hendak dibuang oleh nenek. Dari sudut pandang penonton, bisa–bisa
kita kesal melihat ulah sang anak karena kita mengetahui mengenai adanya fakta
yang tersembunyi. Padahal, dari sudut pandang sang anak, wajar saja mereka
marah. Meski pada akhirnya sang nenek mengungkapkan fakta yang sebenarnya, dan terdapat
adegan penyesalan yang luar biasa tak tertanggungkan, bagaimanapun mereka tidak
dapat memutar waktu yang sudah berjalan berpuluh-puluh tahun yang diisi dengan
sikap yang tak pantas terhadap sang ayah.
Saya sendiri sering ikut-ikutan
merasa kesal dan terbawa emosi ketika mendapati kejadian-kejadian sejenis di
tengah asik-asiknya menonton. Apa lagi ketika kita menonton romance, menyaksikan konflik yang
berisikan pertengkaran, entah karena cemburu, salah paham hingga berakhir pada
perpisahan. Dari sudut pandang pemeran, mereka terkesan wajar merasa marah, cemburu
dan kecewa ketika melihat pasangan mereka melakukan sesuatu yang dianggap tak
pantas. Sedangkan dari sudut pandang penonton, kita akan dihadirkan berbagai scene lain yang menjelaskan adanya salah paham yang di dalamnya
terdapat unsur ketidaksengajaan, adanya pihak lain yang sengaja berbuat licik
untuk membuat pasangan tersebut berpisah, atau salah satu pihak tersebut
sengaja berbuat demikian demi kebaikan pasangannya, namun kesemuanya ini tidak
diketahui oleh sang pasangan tersebut. Sehingga tak jarang nantinya kita akan sering
bergumam sendiri, “aduh, kamu itu salah paham, kamu itu ga tau yang
sebenarnya.”
Pelajaran apa yang dapat kita
petik dari hal ini? Saya ingat sekali quote
dari sebuah film “Kita harus bisa menerima kebenaran-kebenaran yang tidak menyenangkan.
Karena apa yang kita lihat, bukan semua yang kita tau.”
Bayangkan bila kita ada di posisi
para pemain film yang saat ini menjalani dan mengalami berbagai peristiwa
kehidupan tertentu. Ada banyak hal yang kita lihat, termasuk hal-hal yang tidak
menyenangkan. Di saat kita merasa marah, kecewa terhadap orang-orang dan
peristiwa tertentu namun kita hanya mendasarkan penilaian kita hanya dari apa
yang tampak, bukankah kita pada akhirnya jadi sama terlihat bodohnya seperti
para pemain film yang menjustifikasi suatu hal terhadap sesuatu yang ternyata
tidak benar-benar mereka ketahui? Belum lagi keputusan yang kita ambil malah
membuat kita menyesal seumur hidup. Dan mungkin pada saat yang bersamaan akan
ada orang-orang yang juga kesal atau mungkin tertawa sambil mengatakan, “aduh,
kamu itu salah paham, kamu itu ga tau yang sebenarnya.”
Oleh karenanya, bukankah akan
lebih baik jika kita ingin menjustifikasi suatu hal, benar-benar diikuti oleh
suatu pertimbangan dan pengamatan yang lebih objektif, mencari tau lebih banyak
dan bersedia mendengar penjelasan yang bisa jadi benar ada adanya. Karena
sayangnya kehidupan kita tidak ada yang merekam seluruh detail kejadiannya
seperti di film. Hanya Tuhan yang memiliki kuasa monitoring semacam ini. Atau
selemah-lemah iman, bisakah kita jauh lebih positif dan lapang dada dalam
menyikapi berbagai hal, dari pada harus menyesali nanti? Semoga..



Komentar
Posting Komentar