Catatan Mengenai Ujian Nasional
Pernah menonton berita di televisi
yang menceritakan mengenai peristiwa dan fenomena-fenomena aneh yang didapati
selama Ujian Nasional (UN) belangsung? Saya menyaksikannya sendiri! Jelas,
karena saya ikut menjadi salah satu guru pengawas UN di sekolah lain.
Kalau saya harus menumpahkan uneg-uneg
dan menceritakan berbagai fenomena yang saya anggap aneh, mungkin akan
panjang sekali jadinya tulisan yang satu ini. Tapi tak apalah, dari pada hanya
ditelan sendiri.
Bahwa UN yang berlangsung di Indonesia
telah menjadi perdebatan dan kontroversi, itu sudah menjadi rahasia umum.
Masyarakat Indonesia sudah hampir seluruhnya mengetahui bahwa pelaksanaan UN
itu sarat dengan kecurangan, yang dilakukan mulai dari penyelenggara oleh
aparatur negara, sampai pada peserta UN nya sendiri. Substansinya, UN ini
hanyalah evaluasi yang sifatnya sekedar formalitas belaka. Mau bagaimanapun
mati-matiannya belajar selama 3 tahun atau paling tidak 6 bulan terakhir,
ujung-ujungnya siswa hanya akan berpedoman pada kunci jawaban yang entah darimana
diperoleh—meski tidak semua. Memangnya siapa yang mau mengorbankan diri
dinyatakan tidak lulus hanya karena penentuan yang didasarkan pada evaluasi 3
hari semata? Inilah semboyan para siswa-siswa kita, “jangan sampai 3 hari
mengorbankan waktu 3 tahun sekolah selama ini.”
Sebagai pengawas, hal yang paling
menyebalkan yang saya dapati adalah, entahlah jika pedoman terhadap kunci
jawaban hanya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang tidak diketahui jawabannya
sama sekali dan hal tersebut berdampak pada kelulusan. Yang kerennya, begitu
lembar soal dibagikan, 15 menit kemudian lembar jawaban sudah terisi penuh dan
semua soal sudah selesai dikerjakan, bahkan tanpa harus membuka lembar soal. Apa
ini tidak berlebihan? Belum lagi tingkah para siswa yang sudah tidak segan
secara terang-terangan melihat kunci jawaban dan bertanya pada teman, padahal
ada pengawas yang memperhatikan. Salut saya.
Pada saat pertama kali menjadi
pengawas dulu, saya pernah diliputi perasaan dilematis. Dalam artian, saya juga
pernah menjadi siswa yang mengikuti UN, apakah saya tidak curang sama sekali,
jujur tidak. Karena memang ada beberapa pelajaran eksak tulen seperti
matematika dan fisika yang meski bagaimanapun dan sekeras apapun saya belajar,
tetap tidak bisa. Jika saya harus mengandalkan diri sendiri, saya pastikan saya
tidak akan lulus UN. Toh, saya ini kan sebenarnya anak IPS yang nyasar di
IPA, emang ga bakat gan.. Tapi ingat, dengan catatan: saya sudah berusaha belajar keras untuk itu. Setidaknya untuk
beberapa pelajaran lainnya saya tidak perlu sepenuhnya bergantung pada teman
atau kunci jawaban.
Saya juga berpikir yang sama kala itu.
Apakah saya harus mengawas dengan ketat sampai-sampai siswa tidak akan dapat
memiliki kesempatan untuk mencontek dan membiarkan mereka tidak lulus? Atau
dibiarkan saja? Ini juga tidak boleh kan. Hanya karena kita pernah mencuri, apa
kemudian itu dapat menjadi alasan untuk membiarkan orang lain untuk boleh mencuri?
Dan membenarkan pemikiran para siswa yang malas bahwa: “ga perlu belajar pun
tetap akan lulus UN?” Ooo..tidak bisaaaa. Siswa-siswa yang seperti ini tetap
harus mendapat efek jera, meski tidak sampai taraf tidak lulus.
Masalahnya, jika berpikir dan
menganalisa secara objektif, tidak bisa semua kesalahan yang terjadi pada UN
dilampiaskan pada siswa. Seorang pengawas UN menceritakan pada saya bahwa saat
ia mengikuti seminar pendidikan di Jakarta, pembicara yang kala itu bekerja di
Dept. Pendidikan Pusat berujar, “Soal-soal olimpiade memang dirancang
sedemikian sulitnya karena memang hanya siswa yang berbakat saja yang mampu
menjawabnya. Berbeda dengan soal UN yang dirancang sedemikian mudahnya karena
sudah disesuaikan dengan kemampuan siswa Indonesia pada umumnya.” Sang pengawas
tersebut juga menambahkan, pada dasarnya kurikulum dan buku panduan yang
digunakan di seluruh Indonesia kan sama. Jika kemudian siswa tidak paham,
artinya sang guru lah yang tidak mampu menjabarkan dengan baik kepada siswa.
Ujung-ujungnya apa? Rendahnya kualitas guru di Indonesia. Juga dengan
fasilitas, sarana dan prasarana yang belum memadai terutama di daerah-daerah
terpencil. Memang harus diakui, sistem pendidikan kita lah yang
kacau.
Saya bisa katakan demikian, saya dan
sang pengawas yang saya sebut barusan adalah guru yang bekerja di salah satu
sekolah swasta dengan kualitas pengajar, sistem pembelajaran dan fasilitas
terbaik di wilayah kami, meski kami mengajar di sekolah yang berbeda. Saya
mengajar di SMA Labschool, dan sang guru tadi adalah pengajar di SMA Fatih
bilingual School. Kami saling mengetahui sistem pembelajaran dan kualitas
didikan kami. Siswa-siswa di sekolah kami dapat lulus dengan baik meski tanpa
mencontek, karena selain kami yang selama ini berusaha mengajar seideal
mungkin, dengan rata-rata siswa yang memiliki motivasi belajar yang sangat tinggi,
dengan sistem pembelajaran standar Internasional yang diterapkan di sekolah.
Tentu kami tidak akan setuju dengan pembiaran bagi siswa-siswa untuk mencontek
di saat UN. Tapi bagaimana dengan sekolah lain yang kualitas dan sistem
pembelajarannya jauuuh sekali dari sekolah tempat kami mengajar? Kami juga agak
sedikit sulit untuk tutup mata.
Akhirnya, malah fenomena-fenomena aneh
yang terjadi di lapangan UN. Siswa yang tidur di kelas? Itu sih biasa.
Bayangkan saja siswa dapat menyelesaikan semua soal hanya dalam waktu 15 menit?
Istilah para siswa “Belum dibagi soal udah siap jawabannya”. Lantas mau dibawa
kemana sisa waktu 100 menit lagi? Jangankan siswa, para pengawas saja bisa
ngantuk dan suntuk setengah mati. Atau ada siswa yang belum apa-apa sudah tidur
duluan, nanti 15 menit menjelang waktu berakhir baru bangun dan seketika
langsung selesai semua soal. Jika kedapatan tidur atau mencontek tentu akan
tetap ditegur. Tapi saya yakin teman-teman pernah mendengar bahwa, semakin
tertekan, semakin ketat diawasi, maka siswa akan semakin pintar dalam mencari
cara untuk berbagi jawaban. Bahkan saking canggihnya nih, meski kita mengetahui
bahwa mereka sedang saling membagi jawaban namun kita tidak dapat menegur
karena kita belum tentu dapat mebuktikan bahwa bahasa tubuh yang mereka gunakan
adalah sebagai cara untuk mencontek.
Belum lagi ada kejadian masih
menyangkut tentang siswa yang tertidur di kelas. Siswa yang tertidur tanpa
sadar sampai mengences di LJK dan ketahuan justru hanya sekitar 20 menit
menjelang waktu berakhir. Sebagai pengawas , kami jadi ikutan panik karena
harus mencari-cari lembar soal lain, dan ini saja sudah menyita waktu. Sang
siswa sempat hampir menangis, tapi tetap saja, dalam seketika mampu menuntaskan
semua soal padahal dari paket soal yang berbeda. Hufft..
Bagaimana dengan siswa yang saking
tidak memperhatikan lembar soal sama sekali waktu menjawab, sampai-sampai salah
kode kunci jawaban? Ini juga ada. Pada saat waktu ujian berakhir dan semua siswa
telah keluar dari ruangan, tak lama kemudian terdapat seorang siswa yang
menghampiri saya yang kebetulan tengah bersiap-siap keluar kelas. Sang siswa
menyatakan bahwa ia yakin sekali telah salah menulis nomor peserta di LJK.
Terpaksa saya keluarkan kembali LJK di dalam amplop yang telah tersusun rapi.
Tapi yang ia perhatikan justru bukan kolom nomor peserta, namun kolom jawaban.
Lalu ia bergumam, “Aduh, salah!” dengan wajah masam. Sepertinya ia salah kode
kunci jawaban. Saya hanya bisa tersenyum kecil. Ga tau deh gimana nasih tuh
anak. Ada-adaaaaaa aja...
Oiya, bicara mengenai paket soal UN.
Beberap tahun ini Dept. Pendidikan merancang 20 soal paket sehingga setiap
siswa di dalam ruangan memperoleh paket soal yang berbeda, agar tidak dapat
saling berbagi jawaban sih katanya. Di tambah lagi, bahwa paket soal UN 2 tahun
ini tidak dinyatakan dalam bentuk angka atau simbol yang diketahui, tapi
melalui barcode, katanyaaaa begitu.
But what? Siswa-siswa kita itu jauh lebih pinter gan. Memang di halaman depan lembar
soal hanya terdapat barcode, tapi ternyata ada kode tersembunyi berupa
kombinasi angka dan huruf dengan ukuran yang luar biasa mini yang terdapat di
lembar soal, and they knew that!!
Saya pun jadi merasa ikut tertipu. Ini cerita tahun lalu. Nah tahun ini, saya
perhatikan tidak ada lagi kode seperti tahun lalu. Ini nih hal yang pertama
saya lakukan saat mengawas: nyari-nyari kode soal. Tapi ga dapet. Sudah saya
bolak balik, tetap tidak ada. Masalahnya, siswa tetap memiliki kunci jawaban.
Bagaimana caranya mereka melihat untuk menyesuaikan soal mereka diantara 20
kode kuci jawaban yang ada. I’m sure there should be
something. But how and where is it? Saya sempat berpikir bahwa tahun ini
kode soalnya benar-benar hanya berupa barcode.
Tapi saya tertipu kembali. KODE SOALNYA
EMANG ADA, sodara-sodara!! Ga maen angka dan huruf lagi, tapi simbol yang luar
biasa sederhana: (I), (II), (—),( /), dsb. Dan saya tertipu lagi. Bahkan ada
dua jenis kode, yang satunya lagi terdapat di LJK. Sumpah.. absurd banget!!!
Yah.. seperti inilah sistem pendidikan
negara tercinta kita..







Komentar
Posting Komentar