Bukan Hak Kita
Pernahkah
teman-teman sesekali merasa kebingungan di saat entah mengapa tiba-tiba
keuangan kita menipis secara drastis dalam waktu singkat? Meskipun ada
pengeluaran yang memang kita tau kemana perginya, tapi pada akhirnya kita malah
keheranan sendiri mengapa kita dapat membelanjakan uang sebanyak itu untuk hal-hal
yang ternyata tidak begitu dibutuhkan dalam waktu sekejap saja. Belum lagi
uang-uang yang tak tau kemana perginya, entah ia berjalan sendiri keluar dari
kantong dan dompet atau bisa jadi hilang karena jatuh atau salah letak.
Jika
jumlahnya sedikit, mungkin bisa saja untuk tidak diambil pusing. Bagaimana jika
jumlahnya mampu membuat kita sampai tak bisa tidur di malam hari. Salah-salah
berujung stress. Diri sendiri tentu memegang andil terhadap kesalahan ini. Bentuk
pengelolaan keuangan yang salah, lost
control dalam membelanjakan sesuatu, kelalaian dan keteledoran. Namun bagaimana
jika ternyata di saat kita sudah berusaha sebaik mungkin untuk mengelola keuangan
dengan baik, namun entah mengapa tiba-tiba selalu saja ada pengeluaran—bahkan tidak
sedikit—yang di luar kuasa diri kita? Atau bagaimana jika tiba-tiba saja di
luar keteledoran kita, uang atau barang kita tiba-tiba hilang bahkan dengan
cara-cara yang terkesan tidak masuk akal?
Pertama
kali tersadar untuk dapat menyikapi situasi demikian secara lebih baik dan
bijak adalah saat pertama kali membaca sebuah buku sederhana namun bagi saya
pribadi merasa buku tersebut telah merubah diri dan cara pandang saya radically. Masalahnya saya lupa judul
buku tersebut, maklum saya membacanya saat masih di awal SMA dan meminjamnya
dari pustaka mushalla. Buku tersebut memiliki ukuran cukup mungil dan isi nya bersifat kisah fiksi, namun tujuan dari kisah-kisah fiksi yang
disajikan adalah untuk menyampaikan pesan moral dan religius yang sangat dalam. Buku tersebut merupakan kumpulan dari beberapa cerpen oleh
pengarang yang sama.
Salah
satu cerpen yang paling saya ingat adalah menyangkut tentang pelajaran, kemana
hilangnya hal-hal berharga seperti uang, barang dan lain sebagainya yang
terkadang membuat kita kebingungan sendiri, seperti yang saya gambarkan
sebelumnya. Di dalam cerpen itu, dikisahkan mengenai sebuah keluarga yang
sering kehilangan benda-benda di malam hari. Setiap mereka bangun di pagi hari,
pasti ada saja benda-benda yang hilang, terutama makanan-makanan yang tersaji
di atas meja maupun yang tersimpan. Mereka berpikir bahwa mereka kemalingan.
Oleh
karenanya, suatu malam keluarga yang terdiri dari seorang suami, istri dan
beberapa orang anak ini berencana untuk tidak tidur hingga pagi untuk
mengetahui dan sekaligus memergoki siapa yang telah membawa pergi benda-benda
yang hilang selama ini. Mereka berhasil. Suatu malam ketika mereka memang tengah
diam-diam menunggu, tiba-tiba mereka melihat bayangan dari dapur. Mereka bergegas
mengintip untuk melihat siapa gerangan dan apa yang tengah dilakukan. Setelahnya,
mereka keheranan dan kaget luar biasa, ternyata sosok yang mereka lihat adalah
seorang anak yang dpenuhi cahaya keemasan (penulis menggambarkan sosok ini
sebagai sosok fiksi dan imaginatif, bukan manusia biasa). Bukannya malah
memergoki, keluarga ini justru memperhatikan dengan seksama ketika anak emas ini
mengumpulkan makanan yang ada di dapur. Mereka bahkan membuntuti anak emas ini
secara diam-diam untuk mengetahui kemana akan dibawa makanan-makanan tersebut
dan akan dipergunakan untuk apa. Keluarga ini terus membuntuti hingga ke sebuah
rumah kecil yang tak begitu jauh dari rumah mereka, tempat dimana anak emas ini
berhenti melangkahkan kaki.
Apa
yang terjadi? Keluarga ini seketika terperangah menyaksikan kejadian yang
terpapar dengan terang di hadapan mereka. Anak emas ini ternyata membawakan
makanan tersebut pada sebuah keluarga miskin. Keluarga miskin tersebut memiliki
banyak anak yang kelihatan sangat kelaparan, sehingga ketika anak emas ini
membawakan makanan mereka pun memakan dengan lahap seolah mereka belum mengecap
makanan apapun seharian. Keesokan harinya, keluarga yang sebelumnya merasa
kemalingan inipun kembali membuntuti sang anak emas, ternyata ia melakukan hal
yang sama, membawakan makanan pada keluarga miskin tersebut. Melihat hal ini, sang ayah malah tanpa sadar menitikkan air mata dan mengatakan, “Ternyata
ada orang-orang disekitar kita yang kekuarangan namun mata kita buta
terhadapnya. Dan rezeki yang hilang dari kita tersebut ternyata adalah hak
mereka yang tidak kita salurkan, sehingga Tuhan menyalurkannya dengan cara-Nya
sendiri. Biarkan saja sang anak emas itu mengambil makanan dari rumah kita.”
Padahal
kita sudah sering mendengar bahwa di dalam harta kita terdapat hak orang lain—terutama
kaum dhuafa. Oleh karenanya, kita senantiasa dihimbau untuk mengeluarkan zakat,
sedekah, dsb. Namun ternyata, meskipun kita tidak menyalurkannya bukan berarti
harta itu benar-benar akan menjadi milik kita. Jika memang bukan harta kita,
maka tidak akan pernah menjadi milik kita. Sehingga Tuhan akan menjalankan
mekanisme penyaluran-Nya melalui cara-cara yang terkadang
kita tidak duga.
Jangan
heran jika kemudian kita merasa kehilangan benda atau uang meski sudah kita
jaga sedemikian rupa. Silahkan dicari, namun jika tidak kembali
sebaiknya jangan bersedih dan diikhlaskan saja. Tidak perlu sampai terlalu stress (walau
kadang sulit dihindari). Karena bisa jadi yang hilang itu memang
bukanlah hak kita. Saya sendiri sedang berusaha menyikapi kejadian-kejadian seperti ini
dengan bijak walaupun tidak mudah.
“Dan pada
harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapatkan bahagian”
(QS. Adz-Dzariyat: 19).



Komentar
Posting Komentar