Asersi, not Agresi!
“Anak-anak harus diawasi dan bukan
didengar” “Selalu tunjukkan bibir atas yang tegas” “Dia tipe pendiam yang
keras”
Demikian hentakan kata yang sering
dilontarkan oleh kebanyakan orang ketika mendapati kita memiliki ekspresi,
kata-kata atau bahasa tubuh yang ‘terlepas’ namun tidak sesuai atau kurang
mengena di hati mereka. Seperti yang pernah saya sebutkan di tulisan sebelumnya,
dalam hidup bermsayarakat kita seolah dituntut untuk senantiasa mampu
memanipulasi ekspresi, kata-kata atau bahasa tubuh kita atas nama penyesuaian
diri dengan lingkungan. Jadinya, kalau sewaktu waktu kita tengah kesal terhadap
seseorang, dari pada ribut, ya mendingan dipendam aja. Jika kita punya karakter
pendiam, keras, emosional, telalu ekspresif, jika harus menggigit lidah atau
bagaimanapun caranya memaksakan diri, semua hal yang dianggap tidak begitu
sesuai dengan kehidupan sosial ideal, harus direduksi. Jika ada keinginan atau
kebutuhan yang urgen sekalipun, jika sepertinya kurang layak di mata publik,
diendapkan saja. Substansinya, kita tidak bisa sepenuhnya menjadi diri sendiri
saat kita berada di lingkungan sosial.
"Masyarakat kita umumnya tidak menghargai ekspresi dan keyakinan dan perasaan secara terbuka, dan sejauh ini orang sering kali harus berkorban secara emosional untuk menyembunyikan pemikiran dan perasaan-perasaannya" (Gerald C. Davison)
Efek buruknya apa? Bisa apa saja..
Emosi dan keinginan yang terpendam terlalu lama pada akhirnya akan menjadi bom
waktu yang ketika meledak dapat mendekstruksi diri dan orang-orang sekitar jauh
lebih parah, kita memendam perasaan demi menjaga hubungan baik dengan orang tertentu
tapi ketika amarah sudah memuncak kita pun jadi tidak segan-segan bermusuhan
dan memutuskan hubungan. Dampak lain? Kita menjadi luar biasa pasif dan
ekspressionless bahkan pada situasi yang menghendaki ekspresivitas. Tidak
sedikit orang yang kemudian menjadi pederita yang mengalami hambatan sosial
dalam mengekspresikan perasaannya kepada orang lain secara terbuka dan spontan.
Tak jarang tanpa sadar kita menjadi pencemas hingga taraf neurotik, ingin
menyampaikan salah namun takut orang lain tersinggung dan khawatir sesuatu yang
buruk akan terjadi, tidak disampaikan makan hati sendiri, bahkan sampai taraf
depresi.
Berbeda lagi dengan mereka yang tidak
segan-segan menyampaikan apapun yang berseliweran di alam pikiran dan perasaan
mereka, sampai-sampai terkadang mengabaikan perasaan orang lain. Yang penting
di kitanya plong, orang lain terserah. Dalam situasi ini, bisa-bisa keadaannya
berbalik, kita yang tidak memakai topeng tapi malah orang-orang di sekitar kita
yang bertopeng atas perilaku kita. Mereka baik hanya demi menjaga hubungan,
padahal dalam hati Subhanallah bencinya. Jadi ga enak juga kan. Lalu harus
bagaimana?
Saya sendiri sudah sejak lama merasa
bingung mengenai hal yang satu ini. Benarkah kita memang tidak boleh berlaku
ekpresif atas apapun yang kita pikirkan dan rasakan terhadap orang lain selain
yang baik-baik saja? Benarkah di saat kita marah, kecewa dan sedih atas
perilaku orang lain, kita sebaiknya diam saja dan berlalu tanpa harus diketahui
oleh orang yang bersangkutan bahwa ia telah bertindak salah? Haruskah kita berekspresi
hanya sesuai bagaiamana kebanyakan orang mestinya, tidak bolehkah kita
mengekspresikan diri sebagaimana ciri khas masing-masing yang kita memiliki,
bukankah setiap orang itu berbeda?
Untuk pertama kalinya saya mendengar
istilah asersi. Saya kutip saja ya
apa dicantumkan pada buku Psikologi Abnormal nya Gerald C. Davison, dkk
mengenai Asersi. Bagaimana kita mendefinisikan Asersi? Apakah mungkin tidak
pada tempatnya jika kita mendahulukan diri sendiri dan mengekspresikan
keyakinan dan perasan kita kepada orang lain? Bagaimana jika kita melukai
perasaan orang lain ketika kita melakukan hal tersebut. Banyak upaya yang
dilakukan untuk menjelaskan perbedaan perlaku Asersi dengan perilaku Agresi.
Seperti yang disampaikan oleh Jakubowski (1976):
“Asersi mencakup ekspresi pikiran,
perasaan dan keyakinan secara langsung, jujur dan pantas dengan menghargai
hak-hak orang lain. Sebaliknya, agresi merupakan ekspresi diri yang ditandai
dengan melanggar hak-hak orang lain dan merendahan orang lain dalam mencapai tujuan
pribadi.”
Oleh karenanya, terutama bagi yang
memiliki hambatan, ketakutan dan ketidakmampuan menjadi asersi dalam
mengekspresikan pikiran dan perasaan dengan baik kepada orang lain, kita harus
melatihnya baik secara verbal maupun non verbal. Secara verbal, kita harus
melatih diri untuk mengatakan kepada orang lain di saat kita merasa bahagia
atau sedih, marah atau tegas, juga secara nonverbal dengan senyum atau bermuka
masam, atau seprti yang disebut oleh Andrew Salter ‘kata-kata melalui wajah’.
Kita juga harus menentang orang-orang yang tidak kita setujui dengan cara yang
sesuai, menggunakan kata ‘saya’ sesering mungkin, menunjukkan rasa terima kasih
kepada orang-orang yang menuji kita, dsb.
Goldfried dan Davison (1994)
mengajukan beberapa kemungkinan penyebab perilaku tidak asertif:
- Kita tidak tau apa yang harus kita katakan. Beberapa orang yang tidak asertif kurang memiliki informasi tentang apa yang harus dikatakan dalam berbagai situasi yang menghendaki ekspresivitas
- Kita tidak mengetahui bagaimana cara berperilaku asertif. Kita mungkin kurang mampu menguasai nada bicara dan tinggi rendahnya suara, kelancaran berbicara, eksprsi wajah dan kontak mata, dan gerakan tubuh yang diperlukan dalam asertivitas.
- Kita mungkin takut bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi bila kita menyaakan diri. Atau asertivitas mungkin dihambat oleh pernyataan diri yang negatif, seperti “Jika saya menyatakan diri dan ditolak maka itu kan menjadi bencana besar.” Kita mungkin merasa bahwa menjadi asertif bukanlah hal yang pantas dan benar. Kita bahkan merasa bahwa kita akan melanggar nilai dan norma jika kita berperilaku asersi, —padahal belum tentu kan.
Semoga sedikit pembelajaran diri ini
dapat bermanfaat. Saya sendiri masih sering merasa kesulitan berperilaku
asersi, oleh karenanya sedari tadi saya bicara dengan sebutan ‘kita’. Yuk,
menjadi Asertif :)



Komentar
Posting Komentar