Altruisme atau Egoisme?
Sebagai manusia, kita tentu
saling membutuhkan yang kemudian akan bermuara pada perilaku untuk saing tolong
menolong. Namun saya sedikit tercengang ketika membaca tulisan pada blog
Oktintia mengenai pengertian altruisme. Mengapa? Oktintia memaparkan bahwa
ternyata, perilaku kita yang menolong orang lain ternyata belum tentu
sepenuhnya didasarkan pada motiv yang benar-benar tulus demi kebaikan orang
lain. Kita memang menolong orang lain, membantu memenuhi kebutuhan orang lain,
namun kalau harus jujur, kita sebenarnya tengah menolong demi kepentingan siapa?
Benar-benar demi kebaikan dan kesejahteraan orang lain, atau jangan-jangan
hanya demi kepentingan diri sendiri? Menolong sih menolong, tapi atas dasar
altruisme atau egoisme?
Saya jadi penasaran dengan
istilah altruisme setelah mendapatinya pada salah satu buku Sosiologi, dan
berusaha memahami makna kata tersebut.
Altruisme berasal dari kata
“alter” yang artinya “orang lain”.Term ini pertama kali digunakan oleh sosiolog
ternama Auguste Comte (dalam Taufik, 2012). Comte (dalam Taufik, 2012)
membedakan antara perilaku menolong dengan perilaku menolong yang egois.
Menurutnya dalam memberikan pertolongan, manusia memiliki dua motif (dorongan),
yaitu altruis dan egois. Kedua dorongan tersebut sama-sama ditujukan untuk
memberikan pertolongan. Perilaku menolong yang egois tujuannya justru mencari
manfaat untuk diri si penolong atau dia mengambil manfaat dari orang yang
ditolong. Sedangkan perilaku menolong altruis yaitu perilaku menolong yang
ditujukan semata-mata untuk kebaikan orang yang ditolong, selanjutnya Comte
menyebut perilaku menolong ini dengan altruisme. Jika seseorang menolong orang
lain agar ia terkurangi atau terhindar dari penderitaan, maka itu disebut
altruisme. Jika seseorang menolong orang lain agar perasaannya lebih nyaman
atau agar terlihat bagus dimata orang lain, maka itu dinamakan
egoisme.Altruisme diartikan oleh Aronson, Wilson & Akert (dalam Taufik,
2012) sebagai pertolongan yang diberikan secara murni, tulus, tanpa
mengharap balasan (manfaat) apa pun dari orang lain dan tidak memberikan
manfaat apa pun untuk dirinya (ngutip dari sini).
Pernahkah (atau bahkan sering)
kita mendengar pernyataan yang juga dijadikan bahan sosialisasi baik di
lingkungan rumah, sekolah, maupun di lingkungan masyarakat bahwa, kita harus
senantiasa berusaha mengembangkan keterampilan sosial sebaik mungkin, menjadi
sekonformis mungkin, menjadi pribadi yang senantiasa berperilaku baik dan
menolong orang lain, karena suatu saat kita mungkin akan membutuhkan bantuan
dari orang lain juga. Kita tidak bisa hidup sendiri. Dan jika kita perhatikan
kembali konsep mengenai menolong antara egoisme dan altruisme di atas, rasanya
tak jarang perilaku menolong yang kita kembangkan kesannya lebih mengarah pada
egoisme: kita menolong orang lain karena takut suatu harap kita diabaikan jika
kita meminta bantuan pada orang tersebut. Bahkan kita selalu berusaha untuk
bersikap manis terhadap orang lain dan terkesan memakai topeng sekalipun di
dalam hati luar biasa kesal dan bencinya. Artinya, kita menjalin relationship yang tak jarang kurang
tulus. Tak heran kemudian sering kita dapati ketika terdapat seseorang yang
dperlakukan kurang baik dan tidak ditolong oleh orang tertentu, mereka akan
marah dan dendam, ditambah mengungkit semua kebaikan yang pernah ia lakukan. Di
sinilah tanda bahwa ternyata kita tidak benar-benar tulus, kita tetap mengharap
kompensasi tertentu meski tidak secara langsung dan pada saat itu juga. Belum
lagi yang memang baik dan menolong karena memang ada perlunya saja.
Saya tidak atau, apakah menolong
orang lain atas dasar egoisme dapat disebut sebagai sebuah kewajaran dan
kepantasan. Pada dasarnya, kita juga tidak bisa naif untuk menyatakan bahwa
‘saya tidak butuh bantuan orang lain’. Namun saya pribadi sedikit malu saat
berpikir bahwa kita menolong orang lain yang idealnya harus didasarkan pada
ketulusan, namun justru kita lakukan demi kepentingan diri sendiri. Di sisi
lain, altruisme yang berlebihan tanpa kenal batas juga dianggap sebagai sebuah
penyimpangan. Karena tidak wajar juga jika kita harus mengorbankan segala hal
demi orang lain sampai-sampai merugikan diri sendiri dan orang-orang di sekitar
kita. Apa lagi jika dilakukan secara terus menerus dan menjadi perilaku.
Codependen Personality Disorder nanti jadinya.
Saya jadi bertanya-tanya pada
diri, apakah saya selama ini adalah seorang altruis atau jangan-jangan seorang
egois? Setidaknya saya harus mulai berbenah diri agar memapu menjadi seorang
yang altruis yang wajar.



Komentar
Posting Komentar