We Are Precious
“No One is
Going To Love You, If You don’t Love Your Self”
Saya
yakin, bahwa kita sudah sangat sering mendengar kata-kata tersebut atau yang
sejenisnya. Kata-kata tersebut bahkan sudah menjadi jargon pada banyak acara
motivasi. Saya sendiri sudah tidak ingat kapan pertama kali mendengarnya, dan
yang jelas kita semua yang pernah mendengarnya tau benar apa maksud dan makna
dari pernyataan tersebut.
Namun
belakangan, saya menyadari bahwa mungkin kita memang memahami makna dan tujuan
dari kata-kata tersebut namun kebanyakan gagal mengintegrasikannya dalam diri
dan kehidupan yang dijalani. Jika tidak, lantas mengapa ada—bahkan tidak
sedikit—yang tanpa sadar telah ‘mengidap’ kodependensi,
despised self, split personality
dsb yang melah mengarah pada disorder personality, neurotik lainnya
bahkan yang fatalnya, psikotik?
Saya harus
mengakui bahwa saya masih sangat awam dalam hal ini, namun jujur sangat
tertegun rasanya di saat pertama kali membaca buku-buku Psikologi Kepribadian
yang membuat saya terpaksa menyelami diri sendiri. Selama ini, kita mungkin
merasa sudah sangat paham dengan keseluruhan diri sendiri, menganggap tepat dan
rasional atas sebagian besar tindakan dan kepribadian yang kita miliki,
menganggap bahwa diri dan kehidupan kita baik-baik saja. Namun ternyata semua
anggapan tersebut bisa dengan sekejap terbantahkan di saat kita sadar bahwa
kita ternyata tidak tau apa-apa tentang aspek-aspek psikologi kepribadian, mana
pribadi yang sesungguhnya sehat dan normal dan mana yang “sakit” namun berusaha
atau terlihat sehat dan normal.
Contohnya
saja, saat kita tak pernah tau mengenai mekanisme
pertahanan diri. Seperti teori yang
telah dikembangkan oleh Sigmund Freud, bahwa
“Tantangan dari luar dan dorongan dalam diri mengancam kita sehingga
menimbulkan kecemasan (anxiety).
Hal-hal ini dapat berupa konflik dengan mereka yang dekat dengan kita atau
mereka yang mengancam harga diri kita (rasa malu, rasa bersalah, mengecewakan
diri, dst). Ego—yakni struktur kepribadian yang berkembang untuk menghadapi dunia nyata—mencoba
menangani lingkungan secara realistis. Namun, terkadang kita harus
menyimpangkan kenyataan untuk melindungi diri kita dari dorongan-dorongan
menyakitkan atau mengancam yang ditimbulkan oleh id—struktur kepribadian dasar yang yang bekerja berdasarkan
tuntutan prinsip kesenangan dan dengan itu mengurangi ketegangan dalam diri.
Proses-proses yang digunakan ego untuk menyimpangkan kenyataan untuk melindungi
dirinya sendiri disebut mekanisme
pertahanan (defense mechanism).
Jika saya lampirkan daftar bentuk-bentuk pertahanan
diri, andai kita mau jujur, kita akan menyadari ternyata hal-hal tersebut
merupakan hal-hal yang selama ini—bahkan sepanjang hidup memang telah kita
lakukan demi melindungi diri, namun kita tidak pernah mengetahuinya sebagai
mekanisme pertahanan.
Berikut saya lampirkan daftar mekanisme pertahanan diri yang saya kutip dari Blog Veronika Hana.
Bentuk-bentuk self-defense yang positif sebagai berikut :
Bentuk-bentuk self-defense yang positif sebagai berikut :
- Indentifikasi : meniru figure yang diidolakan, sehingga merasa harga dirinya lebih tinggi
- Introjeksi : mengikuti norma norma sehingga banyak diterima oleh banyak kalangan.
- Kompensasi : Menonjolkan kelebihan untuk menutupi kelemahannya
- Rasionalisasi : mencari alas an seakan-akan rasional untuk membenarkan tingkah lakunya, sehingga harga dirinya terangkat
- Simbolisasi : melakukan kegiatan-kegiatan tertentu sebagai symbol penggantian suatu keadaan yang sebenarnya
- Sublimasi : Menyalurkan Tujuan yang tidak tercapai dengan cara yang normative
- Acting Out : langsung mengungkapkan perasaan tanpa ditutupi
- Represi : menekan perasaan dan ingatan yang mengganggu agar tidak muncul menjadi perilaku negatif
Bentuk-bentuk Self-defense secara negative
- Regresi : bertingkah negatif seperti mengamuk, meraung, atau merusak.
- Proyeksi : menimpakan kesalahan pada orang lain
- Reaction Formation : bertingkah laku berlebihan dan berseberangan untuk menutupi keinginan yang sebenarnya.
- Undoing : melakukan kebaikan berlebihan untuk menghapus suatu kesalahan yang perbuat.
- Displecement : mengalihkan emosi/tekanan keorang lain
- Denial : menolak untuk menghadapi kenyataan yang tidak mengenakan
- Fiksasi : berhenti pada tingkat perkembangan tertentu
- Disosiasi : memiliki 2 kepribadian yang disadari dan yang tidak disadari
- Konversi : menderita kelebihan fisik akibat tekanan psikis.
Pada dasarnya tidak ada yang salah dengan mekanisme
pertahanan diri selama itu positif. Namun hal pertama yang terlintas di benak
saya sendiri saat pertama kali mengetahui hal tersebut adalah, ternyata manusia
terkadang begitu sulit untuk benar-benar mampu menghadapi kenyataan dengan
bijak, kuat dan berani sehingga tanpa sadar kita selama ini cenderung untuk
menyimpangkan kenyataan sekedar dapat bertahan dan melindungi diri. Kita
ternyata tidak benar-benar kuat seperti yang kita kira di saat kita sebenarnya
tengah melarikan diri dari masalah, melampiaskan kesalahan pada orang lain,
bahkan di saat kita melakukan kebaikan yang berlebihan untk menutupi kesalahan
yang telah kita perbuat. Karena yang harus diketahui, mekanisme pertahanan diri
adalah kajian terhadap aspek ‘ketidaksadaran diri’ dalam psikologi kepribadian—psikoanalisa. Saking ga sadarnya, bahkan setelah membaca
daftar mekanisme pertahanan diri di atas, sebagian orang bisa-bisa masih tidak
dapat memahami atau mengakui bahwa dia
pernah atau bahkan sepanjang hidup telah melakukan salah satu saja dari
tindakan atas.
Saya sendiri setidaknya jadi mengetahui, kemana
perginya kenangan-kenangan buruk, dan mengerti mengapa saya cenderung
akan berusaha untuk menciptakan situasi seolah tidak terjadi apa-apa ketika
suatu hal buruk sedang terjadi dengan langsung mengalihkan diri pada
kegiatan-kegiatan yang dapat mengalihkan pikiran seperti menonton seharian,
keluar rumah seharian, dsb. Meski tindakan-tindakan tersebut bukan melulu
tindakan yang negatif, namun saya sendiri jadi menyadari ternyata saya sendiri
belum mampu bersikap ideal dalam menghadapi situasi dan kenyataan yang sulit.
Hal lain yang paling membuat saya absurd terhadap diri
sendiri adalah di saat saya mendapati teori Psikoanalisa Karen Horney yang
berfokus pada identitas dan perasaan akan diri. Horney menjelaskan aspek-aspek
yang berbeda dari self. Pertama, ada
yang disebut dengan Real Self, yakni
inti terdalam dari kepribadian yang membentuk kepribadian kita, termasuk
potensi yang dapat kita kembangkan—diri kita yang sebenarnya. Despised Self, persepsi
mengenai inferior dan kelemahan terhadap diri, kadang didasarkan pada evaluasi
negatif orang lain terhadap kita, perasaan tidak berdaya dan tidak berharga
muncul karenanya. Ideal Self, yang
orang liat sebagai bentuk kesempurnaan dari harapan yang harus dicapai, yang
dibentuk oleh rasa ketidakberdayaan. Dalam menggambarkan ideal self, Horney merujuk pada apa yang ia sebut sebagai “tyranny of should”, yakni sebuah daftar
panjang terhadap hal-hal yang seharusnya kita kerjakan dengan dengan cara yang
berbeda, yang membuat kita menyesali langkah-langkah yang telah kita ambil atas
tindakan yang telah kita perbuat.
Yang membuat saya tersentak ketika Horney menyatakan
bahwa tujuan psikoanalisis bukanlah untuk menolong seseorang meraih Ideal self-nya, namun lebih membuat
orang itu mampu menerima Real self-nya.
Seseorang yang merasa asing atau tak mampu menerima Real self-nya akan menjadi seorang neurotik—bentuk gangguan
kepribadian ringan—dan akan mengembangkan strategi penanggulangan interpersonal
untuk “menyelesaikan” konflik itu.
Horney lalu mengungkapkan serangkaian strategi yang
digunakan oleh orang neurotik dalam menghadapi orang lain.
==“Maju ke Depan
(Moving Toward)’’
Yaitu mereka yang selalu berusaha membuat orang lain
gembira, berusaha mendapatkan cinta dan perhatian, dan menjaga penerimaan
afeksi dari orang lain tersebut. Orang yang memiliki strategi ini terlalu besar
memiliki Despised self yang tanpa
sadar membuat diri mereka memandang diri sendiri tidak cukup berharga untuk
dicintai. Tindakan mereka untuk mendapatkan cinta, di satu sisi, merupakan
usaha untuk menyembunyikan apa yang mereka yakini benar tentang diri
mereka—yang tidak cukup berharga, dan di sisi lain, untuk membuat orang lain
yakin bahwa mereka patut disayangi. Hal terparah dari situasi ini adalah
terbentuknya keprbadian dan pola hubungan kodependensi.
Bagi saya, kodependensi adalah kepribadian yang
‘mengerikan’, kita pasti telah sangat banyak melihat orang yang entah mengapa
tetap mampu terlihat bahagia bahkan mencurahkan diri sepenuhnya terhadap orang-orang
yang malah mengeksploitasi mereka, mampu tetap membuat pihak yang telah mengeksploitasi
senang sehingga tetap mendapatkan perhatian orang tersebut. Hal ini sering
dialami oleh kaum hawa.
Seorang kodependen memiliki rasa percaya diri yang
rendah, untuk mengkompensasikannya, mereka mencari hal di luar diri mereka
untuk merasa lebih baik tentang dirinya sendiri, bahkan meskipun itu
menghancurkan diri sendiri karena tidak mampu bersikap tegas saat dibutuhkan
dan secar tak sadar mengikis rasa hormat orang terhadap mereka. Mereka
cenderung mengambil peran sebagai ‘martir’, walaupun mereka sebetulnya tertarik
pada kelemahan orang lain. Semakin lemah, semakin mereka bisa ‘berfungsi’
membereskan orang lain dan menjadi ‘pengurus’. Mereka menjadi magnet
orang-orang yang cenderung memanfaatkan mereka dan makin membuat orang tersebut
semakin tidak bertanggungjawab. Jarang mereka bisa bicara soal perasaan
pribadi, dan yang dibahas hanyalah orang lain. Para kodependen kian lama kian
tak tahu siapa diri mereka sendiri dan apa yang diinginkannya, namun akan
berusaha menunjukkan bahwa mereka tahu masalah semua orang. Karenanya, mereka
lebih senang berbicara tentang apa yang dipersepsikannya sebagai masalah orang
dengan gaya yang seolah-olah peduli (padahal tidak), dibandingkan melakukan
suatu hal yang konstruktif. Bicara dengan para kodependen bisa melelahkan
karena mereka tidak menyadari tindakan penyelamatan yang selalu dilakukannya
itulah yang membuat orang yang bermasalah disekitarnya semakin tak
bertanggungjawab. (Bagi yang ingin mengetahui lebih detail, silahkan kunjungi halaman Blog ini)
Contoh berikut
menunjukkan betapa sakitnya hubungan kodependen:
“Ya, memang
saya dipukul. Tapi saya yakin bukan karena maksudnya untuk memukul begitu. Itu
kan karena dia sedang sakaw jadi emosi tinggi. Saya juga tahu dia main dengan
perempuan lain. Tapi …saya masih
tidak bisa meninggalkan dia, karena dia juga masih kerja kok, jadi nggak
apalah, selama kebutuhan di rumah terpenuhi…”(38 tahun, istri pecandu shabu)
==“Bergerak
Melawan Arah (Moving Against)”
Yakni berusaha keras menjadi sosok ideal dan
sesempurna mungkin, agar mendapatkan kekuasaan, pengakuan, dan penghormatan
dari orang lain. Mereka terlalu mengidentifikasikan diri dengan Ideal self. Mereka meyakini bahwa semua
hal yang mereka inginkan tentang diri mereka adalah benar, usaha keras mereka untuk
mendapatkan pengakuan merupakan usaha mereka untuk menegaskan kebenaran akan
ilusi itu.
Alfred Adler juga mengembangkan konsep yang sejenis.
Adler menyatakan bahwa seseorang yang memiliki Inferiority Complex seperti
rasa minder dapat menyebabkan berkembangnya Superiority Complex sebagai
cara untuk mempertahanan harga diri. Saat kita bertemu dengan orang-orang
seperti ini pertama kali, kita tidak akan menyadari bahwa ia memiliki
‘inferioritas’. Ia tampak memiliki opini dan pandangan yang sangat tinggi
mengenai diri sendiri—selalu menyombongkan diri dan cepat berargumen bahwa
solusi yang ia berikan terhadap suatu masalah adalah solusi yang benar. Akan
tetapi, jika kita melihat lebih dalam, kita akan melihat bahwa arogansinya yang
berlebihan itu benar-benar merupakan kompensasinya yang berlebihan akan apa
yang ia percaya sebagai kekurangan yang
ia miliki—ia mengembangkan kompleks superioritas sebagai cara untuk menetralkan
inferioritas yang ia rasakan. Ia tak sadar sedang mencoba meyakinkan orang
lain dan dirinya sendiri bahwa apapun
yang terjadi—ia berharga.
Konsep penting lainnya yakni apa yang disebut oleh
Adler sebagai usaha menuju kesempurnaan
(perfection striving) dan tujuan fiksi (fictional goal). Setiap manusia tentu memiliki tujuan hidup,
cita-cita, harapan, melakukan upaya–upaya untuk memiliki kualitas kehidupan
yang baik. Namun ternyata sebagian orang tidak menyadari bahwa ada tujuan dan
upaya mereka yang tergolong ke dalam tujuan fiksi, terutama ketika itu
ditujukan untuk mencapai kesempurnaan yang tidak mungkin dicapai dan berusaha
untuk menghapus kekurangan mereka. Hal signifikan yang kemudian terlihat adalah
mereka akan jatuh pada depresi luar biasa di saat mereka tak mampu mencapai
goal, padahal mereka sebenarnya telah melakukan upaya yang maksimal sampai
batas kemampuan maksimal.
==“Bergerak
Menjauh (Moving Away)” dari orang lain
Yaitu berusaha untuk tidak menanamkan emosi terhadap
hubungan interpersonal, sebagai usaha menghindari kemungkinan disakiti dalam
sebuah hubungan. Individu-individu yang ada pada situasi ini ingin mengatasi Despised Self, dan juga tidak merasa
mampu mencapai Ideal self mereka.
Mereka melihat diri mereka di waktu sekarang sebagai seseorang yang tidak cukup
berharga untuk dicintai dan diperhatikan orang lain, mereka juga merasa tidak
dapat meraih hal-hal yang lebih besar lagi. Lalu, untuk mencegah terciptanya
jurang pemisah antara kedua aspek diri tersebut, mereka bersembunyi di belakang
kemandirian dan kesendirian mereka.
Secara keseluruhan, strategi perlindangan diri—namun
bersifat neurotik—ini, dapat menjadi kebutuhan yang mendalam, dan mendominasi
kepribadian seseorang. Horney menyebutkan ada sepuluh macam perindungan diri
terhadap kecemasan semacam itu, yakni:
- Afeksi dan pengakuan (selalu berusaha menyenangkan orang lain)
- Pasangan yang mendominasi (terlalu dependen)
- Kekuasaan (kebutuhan untuk mengontrol orang lain dan memandang rendah kelemahan seseorang)
- Pegakuan dan prestise (mancari status yang lebih tinggi)
- Eksploitasi (takut dieksploitasi namun tidak takut mengeksploitasi)
- Penghormatan (mancari pujian, bahkan jika sebenarnya tidak pantas memperoleh pujian)
- Ambisi dan pencapaian (ingin menjadi yang terbaik, akibat dari kegelisahan diri)
- Merasa berkecukupan (tidak membutuhkan orang lain)
- Kesempuranaan (berusaha untuk tidak melakukan kesalahan atau tidak tampak cacat di hadapan orang lain)
- Batasan yang sempit (sudah senang dengan hanya memiliki sedikit saja, dan masih membagikannya kepada orang lain)
*Kebutuhan-kebutuhan tersebut adalah solusi irasional
terhadap tantangan yang dihadap oleh kita semua. Kebutuhan orang-orang neurotik
ini tidak akan pernah bias terpenuhi!!
Anehnya, saya merasa sedikit kacau selama dua hari
setelah membaca dan mendalami teori-teori tersebut, terutama saat merefleksikan
teori-teori tersebut secara jujur dan terbuka pada diri sendiri serta
orang-orang yang ada di sekitar kita. Seperti yang saya sebutkan di awal, kita
menganggap diri kita normal dan sehat padahal ternyata tidak sedikit diantara
kita yang ternyata adalah orang-orang yang “sakit”, tidak menyadarinya.
Apalagi, bahkan setelah membaca teori ini, belum tentu orang-orang yang
sebenarnya nyata-nyata memiliki kecenderungan neurosis seperti yang telah
dijealskan panjang lebar diatas, dalam taraf yang paling ringan sekalipun, akan
menyadari dan mengakui bahwa ia memang adalah orang yang ‘sakit’. Psikolog
professional saja terkadang membutuhkan waktu yang tidak sedikit demi menyadarkan pasien untuk dapat memiliki insight
tentang ‘sakit’ yang dideritanya.
Namun satu hal, melalui refleksi terhadap teori-teori
psikologi di tas, setidaknya kita harus mampu menanamkan dalam-dalam sebuah
paradigma baru terhadap diri sendiri, bahwa setiap manusia, siapapun ia tanpa
terkecuali, dengan segala situasi, masa lalu, kesulitan dan berbagai situasi
paling buruk sekalipun yang pernah dihadapi, dengan segala kelebihan dan
kekurangannya, KITA ADALAH BERHARGA. Oleh
karenanya, kita harus menyadari dengan baik bahwa tidak ada alasan untuk
memandang rendah diri sendiri, merasa minder, tidak berharga hingga taraf
mengizinkan orang lain mengeksploitasi. Jika kita memiliki
kekurangan-kekurangan, terimalah dengan wajar karena kita memang manusia, belum
ada satu manusiapun yang terlahir tanpa kekurangan termasuk orang-orang yang
kita anggap sebagai sosok yang luar biasa sekalipun. Jikapun kita pernah
melakukan kesalahan-kesalahan, biasakan untuk dapat memaafkan diri sendiri,
berdamai dengan diri sendiri. Kita pun masih memiliki waktu panjang yang
disediakan Tuhan untuk dapat menjadi lebih baik di kemudian hari.
Dan tidak juga perlu memaksa diri menjadi sosok yang
sempurna, berusaha menjadi ‘malaikat’, kita tidak membutuhkan itu semua untuk
dapat dihargai oleh orang lain. Tidak perlu melakukan segala upaya untuk
menutupi kekurangan dan kesalahan yang kita miliki hingga taraf irasional dan
tak pantas. Karena dibalik semua kesalahan dan kekurangan tersebut, kita memang
telah dianugrahkan potensi dan kelebihan-kelebihan, serta hal-hal baik yang
pernah kita lakukan dalam hidup. Tuhan yang menciptakan kita saja tak pernah
menuntut agar kita menjadi sosok yang sempurna, lalu mengapa harus memaksakan
diri menjadi orang yang sempurna di mata manusia-manusia yang juga tidak
sempurna? Cukuplah puas dengan
diri sendiri sebagaimana adanya, sebagaimana diri kita yang sebenarnya, dengan
segala upaya terbaik yang telah kita lakukan dengan segala kemampuan maksimal
yang telah kita keluarkan meskipun terkadang harus gagal. Berusahalah untuk
lebih berani dan kuat menghadapi masalah dan kenyataan paling sulit sekalipun,
dari pada harus membangun tembok pertahanan diri yang tak wajar, apalagi jika
harus menyakiti diri sendiri dan orang-orang di sekitar kita.
Karena—sekali lagi—bagaimanapun, dengan segala
kelebihan dan kekurangan kita, dengan segala kebaikan dan kesalahan kita,
dengan segala masa-masa sulit dan bahagia yang pernah kita lalui, kita semua
adalah berharga, kita patut untuk dihargai dan menghargai orang-orang di sekitar
kita.
(Sumber Teori: Howard S. Friedman dan Miriam W. Schustack. 2008. Kepribadian: Teori Klasik dan Riset Modern. Jakarta: Erlangga.)




Komentar
Posting Komentar